Penyandang disabilitas ini begitu mudah beradaptasi dengan perangkat teknologi yang kian mutakhir. "Sekarang sudah canggih-canggih aplikasinya," kata Riza saat ditemui di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyta Guna, Jalan Pajajaran, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu 8 Agustus 2018.
Riza salah satu tunanetra yang bersekolah sekaligus mondok di Panti Wyata Guna. Lelaki berusia 21 tahun ini duduk di bangku kelas tiga SMA. "Usia saya telat waktu dulu masuk sekolah," katanya sambil tersenyum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini nih banyak grup WA (WhatsApp). Kalau mau tahu siapa yang kirim pesan tulisan, tinggal didengerin aja suaranya ke telinga," ucap Riza yang tampil berkemeja.
Riza memanfaatkan aplikasi pembaca huruf berlabel TalkBack rancangan Google. Teks berupa tulisan pendek atau panjang, serta alpabet ikon aplikasi yang terpasang di dinding layar ponselnya otomatis merespons dengan kemunculan mesin suara.
Riza mencoba mempraktikkannya membuka aplikasi ojek online. Logo perusahaan layanan ojek online itu terletak paling ujung bawah di antara barisan ikon aplikasi lainnya yang tampil di layar.
Saat tangan bergeser, satu per satu identitas program aplikasi yang tersentuh secara otomatis itu memunculkan suara yang selanjutnya bergerak ke logo yang Riza tuju.
"Nah ini saya bisa langsung pesan ojek online-nya. Heheheh...," ujar pria yang bercita-cita dosen ini.
Serupa dengan Riza. Tunanetra lainnya, Miptahul Hadi, tak mau ketinggalan zaman. Ponsel Android merek ternama yang didukung layanan aksesbilitas ini saban hari menemani remaja usia 15 tahun ini.
"Kalau cari-cari bahan untuk belajar buat sekolah, tinggal buka internet saja di handphone," ucap Miptahul, siswa SMP Wyta Guna Bandung.
Inovasi Anak Negeri Peduli Tunanetra
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di generasi milenial disabilitas terus menggeliat. Penggalan kisah Riza dan Miptahul, salah satu buktinya.
Banyak orang berlomba-lomba membuat karya demi kepeduliannya kepada kalangan disabilitas. Tentu saja, sangat ramah difabel.
Di Bandung, misalnya. Sekelompok mahasiswa merancang sebuah alat bantu penyandang tunanetra. Inovasinya bernama PiCirclet yang dibesut tiga mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB).
![]() |
Mereka merancang alat tersebut sekitar 1,5 bulan melalui riset independen. Butuh waktu sekitar dua minggu tim ini mengimplementasi pembuatan prototipenya.
"Kami bertiga bekerja sama sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Evan berfokus pada perancangan elektrikal, Hilmi pada algoritma, dan saya pada modeling serta desain alatnya," ucap Gunanda saat berbincang dengan detikcom via telepon, Jumat (10/8/2018).
Selama proses merakit prototipe PiCirclet, menurut Gunanda, sumber dananya dari SDF selaku penyelenggara lomba. "Dana yang dihabiskan sekitar Rp 2,4 juta," ucap Gunanda.
Hasilnya, SDF menempatkan karya mereka sebagai juara Lomba Desain Alat Bandu Disabilitas Netra (LDABDN) pada peringatan World Sight Day (WSD) 2017. Lalu bagaimana proses kerja PiCirclet ini?
"Alat ini terdiri dari tiga bagian utama di antaranya headband, headset, dan alat komputasi. Di dalam headband terdapat kamera sebagai penangkap citra teks yang kemudian akan diolah oleh algoritma (neural network) menjadi suara yang dikeluarkan melalui headset. Sehingga para disabilitas netra dapat dengan mudah membaca sebuah tulisan," tuturnya.
![]() |
Lahirnya alat PiCriclet didasari kepedulian tiga mahasiswa ITB lantaran banyaknya tunanetra yang kesulitan membaca. Ilmu yang mereka peroleh selama studi diaplikasikan dengan karya nyata.
"Kami pun akhirnya mempunyai ide untuk menciptakan alat bantunya. Salah satu konsep cara kerjanya yaitu mengubah teks menjadi suara. Design requirements lainnya yaitu mudah digunakan oleh disabilitas netra dan ringan saat dibawa mobilisasi," tutur Gunanda.
PiCriclet satu dari sekian inovasi anak negeri yang muncul ke permukaan publik. Menengok di jagat maya ternyata banyak soal aneka alat-alat memudahkan penyandang difabel yang diciptakan masyarakat Indonesia.
Hak Disabilitas
Penyandang disabilitas di Indonesia memiliki hak dan perlakuan yang sama sebagai warga negara. Regulasinya sesuai amanat Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Dijelaskan dalam Pasal 24 huruf B, disabilitas dijamin haknya untuk berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi. Artinya kalangan difabel berhak mendapat informasi dan berkomunikasi via media yang gampang diakses.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012 mencatat populasi penyandang disabilitas di Indonesia berjumlah 6.008.661 jiwa.
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) selama ini berupaya memerhatikan disabilitas. Kemenristek Dikti meminta semua pihak berkolaborasi untuk membangun aksesibilitas bagi difabel.
Kolaborasi tersebut digulirkan oleh peran Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) yang bermarkas di Tangerang, Banten. Tentu semangat pengembangan teknologi dan inovasi karya bangsa ini sejalan dengan program Nawa Cita pemerintahan Presiden Jokowi.
Kemenkominfo bahkan menggelar Jambore Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) Disabilitas. Wawasan TIK bertujuan menstimulus difabel mengembangkan potensinya sehingga mandiri dan produktif. Selain itu, poin penting lainnya ialah orang-orang berkebutuhan khusus ini dapat mengakses dan menikmati langsung perkembangan TIK.
Presiden Jokowi pada 2017 lalu menyampaikan ucapan selamat Hari Disabilitas Indonesia. Jokowi berharap ke depan para penyandang disabilitas dapat berpartisipasi lebih banyak di masyarakat.
"Indonesia berkomitmen penuh dalam konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas yang telah menjadi UU No. 19/2011. Mari bekerja sama agar penyandang disabilitas mendapatkan hak berpartisipasi lebih luas di masyarakat," tulis Jokowi pada akun Twitternya, 2 Desember 2017.
![]() |
Miptahul mencontohkan revolusi layanan transportasi berbasis aplikasi di Indonesia. Kehadiran driver ojek online telah membuatnya tak takut lagi keluar panti sambil jalan-jalan ke tempat tujuan.
"Saya bisa lebih mandiri dan jadi berani. Mau pergi ke toko buku, tinggal pakai ojek online," kata Miptahul.
Selama ini, Miptahul mengaku tak pernah mendapat perlakuan diskriminasi oleh para driver online. Dia pun selalu menyampaikan kondisi dirinya sebelum naik motor ojek online.
"Tentu selalu bilang kalau saya ini tunanetra. Mereka (ojek online) mengerti kok dan mengantar saya sampai tempat tujuan," ucap Miptahul.
Cerita serupa diungkapkan Riza. "Sekarang kalau mau makanan favorit, ya tinggal pesan saja lewat ojek online. Sangat membantu dengan kehadiran teknologi yang memudahkan buat kami ini," kata Riza.
Kedua generasi milenial tersebut berharap di era digital ini semakin beragam aplikasi yang berguna bagi disabilitas. Bukan hanya menjadi pengguna, ke depan para difabel di Nusantara ini kelak bisa berkontribusi nyata menyongsong revolusi industri generasi ke-empat atau industri 4.0 dengan membuat karya dan penciptaan lapangan kerja berbasis teknologi. (bbn/ern)