Kelompok yang piawai berkreasi mengolah bambu ini bernaung dalam Indonesian Bamboo Community (IBC). Komunitas tersebut berdiri sejak 2014.
Adang Muhidin, pendiri IBC, berkisah usaha bambu yang dirintisnya ini bermula dari rentetan kegagalan yang pernah dialami sebelumnya. Dia pernah mempunyai tiga usaha yang terpaksa gulung tikar pada 2009.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Ia asah otak untuk berinovasi meracik karya berbahan bambu. Singkat cerita, Adang berkenalan dengan pemain biola bernama Abah Yudi pada 2011 dan berpikir membuat biola bambu.
"Saya sendiri tidak bisa bermain biola. Pertama kali membuat, biolanya tanpa suara. Jadi, walau pun digesek bagaimana juga tetap tidak ke luar suaranya," ucap Adang disusul tawa.
Sejak itu, Adang mengolah bambu menjadi alat musik di antaranya gitar dan bas. Lalu, ia mengunggah hasil karyanya di YouTube. Tanpa disangka olehnya, Kementerian Perdagangan mengundangnya untuk mengikuti pameran Java Jazz Festival pada 2012.
Adang mengaku kalau niatnya datang ke pameran itu sekadar iseng saja, bukan menjual produk. Namun, ternyata karyanya mendapat perhatian dari berbagai kalangan.
"Waktu itu kita ikutan festival itu dengan membuat gitar, bass, dan biola tapi bentuknya masih berantakan. Kita bermodalkan keberanian saja karena belum ada yang bikin. Sama sekali tidak punya niat untuk menjual," tuturnya.
"Pas datang ke sana, lihat yang lain pada bagus, sedangkan kita jelek. Tapi justru mereka ternyata tertarik Bahkan, media asing pun hingga meliput. Di sana ternyata kita paling ramai dan banyak yang nawar," ungkapnya mengenang.
![]() |
"Mulai dari sanalah kita bekerja sama dengan kampus-kampus ketika sadar kalau apa yang dibuat itu punya harganya. Kita mulai kerja sama dengan ITB karena membutuhkan pengujian-pengujian. Setelah diuji, kita baru berani menjual pada tahun 2014 dan pada tahun 2014 pula IBC terbentuk," ujar Adang.
Saat ini, anggota IBC yang berasal dari Cimahi berjumlah 40 orang. Sekretariat IBC bukan hanya terpusat di Cimahi, namun tersebar di tiga wilayah, yakni Kalimantan, Lampung, dan Bangka Selatan. Kini barang-barang bambu karya mereka diminati pasar dunia.
"Kalau barangnya sudah diekspor ke Malaysia, Jepang, Filipina, Rumania, Belgia, Jerman, Meksiko, dan Brasil," kata pria yang sempat mengenyam pendidikan S2 bidang studi teknik di Jerman ini.
Menurutnya, hingga saat ini ia bersama rekan-rekannya mempunyai 120 inovasi berbeda berbahan dasar bambu yang akan dipasarkan secara bertahap dan sedang melalui serangkaian uji coba.
"Sekarang kita mulai ke peralatan-peralatan yang lain seperti casing handphone sampai ke casing flashdisk," ucapnya.
![]() |
"Pengerjaannya kalau biola tiga hari. Kalau gitar sampai seminggu. Kalau drum sampai tiga mingguan lah. Kalau tahun 2018 kita sudah nemu cara pengerjaan yang lebih efisien. Untuk alat, yang dibeli kita modifikasi. Ada juga alat yang dibuat," terangnya.
Pada 2017 lalu, ia memproduksi barang berupa jam berbahan bambu yang kini sedang laris. Sebelumnya, Adang menjual barang seperti alat musik biola, gitar, drum, bas, alat musik tradisional, dan lainnya. Kisaran harga Rp 400 ribu hingga Rp 40 juta. Dari hasil dagangannya, ia bersama rekan-rekannya mengaku mengantongi Rp 60 juta hingga Rp 70 juta dalam satu bulan.
"Sekarang lagi ramai, sehari bisa laku lah yang gini (jam tangan). Lima biji dikalikan dua juta jadi sepuluh juta. Paling laris sekarang jam," ungkapnya.
![]() |
Selain menjual barang berbahan dasar bambu, Adang mewakili teman-temannya kerap mendatangi berbagai pusat pelatihan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat soal bambu. Ia berharap, masyarakat Indonesia mau mengolah bambu jadi produk yang dapat mendatangkan keuntungan.
"Intinya, kami ingin mengedukasi pada masyarakat kalau bambu ini punya nilai jual kalau diolah," kata Adang. (bbn/bbn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini