Harapan soal jembatan itu diyakini menjadi jawaban atas semangat anak-anak yang nekat menerobos aliran Sungai Citalahab untuk sampai ke sekolah mereka. Bukan hanya jembatan, buruknya infrastruktur juga jadi persoalan tersendiri.
"Solusinya memang jembatan gantung, kalau sekarang mungkin aliran sungai hanya 50 meter lebarnya. Kalau musim hujan bisa lebih, kalau warga bangun sendiri jembatan darurat malah mubazir," kata Suanta, ketua RT setempat, kepada detikcom, Rabu (1/8/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suanta mengaku kerap bergantian dengan warga ketika menyeberangkan anak saat melintasi sungai, tidak adanya akses jalan lain membuat lintasan tersebut menjadi satu-satunya solusi untuk menuju ke desa seberang.
"Anak-anak menempuh jarak 1,5 kilometer setiap hari untuk menuju sekolah, mereka melewati pematang sawah lalu hutan di pinggiran kampung. Jalan yang ditempuh menuju sungai hanya batu, kalau hujan licin ini berbahaya untuk keselamatan mereka," jelasnya.
"Sungai yang sekarang dilintasi pernah memakan korban pada 2010 lalu. Suami-istri, Aah (60) dan kokom (50), tewas terbawa air deras. Makanya sekarang saya hati-hati ngawasin anak-anak dan warga yang melintas, kadang saya bantu gendong siswa saat menyeberang, karena sungai tersebut sudah pernah ada korban," tutur Suanta.
Syamsiah (29), salah satu orang tua murid, mengaku putrinya, Zahra (7), pernah beberapa kali terpeleset saat melintasi sungai. "Saya sudah ngingetin hati-hati, tapi karena memang sungainya licin mau bagaimana lagi. Dia pulang-pulang seragam sekolah dan tas basah, ini sudah beberapa kali kejadian," ujar Syamsiah.
Dia berharap pemerintah mau membuatkan jembatan gantung untuk warga. "Pemerintah, tolong buatkan jembatan gantung itu harapan semua warga di sini. Mungkin kalau ada jembatan gantung, saya tidak waswas akan keselamatan anak saya ketika berangkat sekolah," kata Syamsiah. (sya/bbn)