Koordinator Forum Tuna Netra Menggugat Suhendar mengatakan SK tersebut merupakan sebuah kemunduran KPU dari tahun 2014 yang meniadakan alat bantu kini menjadi menghilangkan hak warga disabilitas.
"Ternyata dengan munculnya SK ini tuna netra dianggap tidak mampu untuk menjadi pemimpin. Kedua, KPU telah melakukan pelanggaran HAM dalam konteks hukum internasional," katanya kepada wartawan di Wyata Guna Kota Bandung, Jumat (26/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka (KPU) tidak pernah membaca, melihat dan mengabaikan UU yang ada. Sehingga sikap minta maaf silakan saja, tapi secara moral KPU sudah membunuh karakter penyandang disabilitas dan membunuh hak disabilitas. Itu adalah sebuah pelanggaran HAM tertinggi," tegas Suhendar.
Namun jika SK tersebut tidak dihapus atau direvisi warga disabilitas telah sepakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada serentak 2018 ini. "Itu (golput) adalah pilihan terakhir. Ini adalah pesta demokrasi, tapi ternyata KPU telah menghilangkan hak kaum disabilitas. Artinya buat apa kita ikut di sini? Kita akan tarik diri dari pesta demokrasi," katanya.
"Artinya golput sudah jelas. Itu pilihan terpahit, terpaksa kita lakukan. Karena ternyata KPU sudah membuat preseden buruk bahkan menghilangkan hak disabilitas. Kita tahu yang tidak untuk dipilih (menjdai kepada daerah) adalah narapidana, sekarang diberlakukan untuk penyandang disabilitas. Artinya mereka menganggap kita narapidana," lanjut Suhendar.
Suhendar berharap SK tersebut bisa segera direvisi atau dicabut mengingat dalam waktu tidak lama lagi akan ada Pemilu Legislatif (Pileg). Sehingga warga disabilitas yang berniat maju dalam Pileg 2019 tidak akan terganjal oleh permasalahan SK tersebut.
"Kalau ini tidak dicabut saya khawatirkan akan menjadi analogi atau dasar hukum untuk mengeliminir hak-hak kaum disabilitas. Artinya cabut SK ini dan minta maaf di media," tandas Suhendar. (avi/avi)