Ia menuturkan majunya Anne dengan pasangannya Aming memang belum bisa dikatakan sebagai dinasti politik. Sebab, sambung dia, dinasti politik berlaku apabila dilanjutkan oleh anak atau adik dari petahana.
"Biasanya dinasti itu kalau levelnya sudah tahap kedua. Bapak ke istri masih satu tahap, kalau ke anak atau adik baru dinastinya kerasa. Ini baru indikasi ke sana. Kata dinasti satu kelompok keluarga besar," kata Asep saat dihubungi via telepon genggam, Jumat (12/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dinasti poltik itu dalam bahasa hukum sah-sah saja. MK dulu pernah menyatakan suami istri ke bawah tidak boleh ikut pilkada saat petahana berakhir, nah itu dibatalkan oleh MK. Jadi dinasti secara hukum boleh," ungkap dia.
Ia mengatakan dinasti politik akan menjadi persoalan apabila dilihat dalam pendekatan demokrasi. Sebab, sambung dia, dinasti politik akan membatasi partisipasi dan kaderisasi dari putra daerah tersebut maupun kader partai politik.
"Budaya politik dinasti harus dihindari, karena kalau gagal, kegagalan itu akan berlarut-larut tidak memuaskan rakyat. Ada upaya untuk menutup demokratisasi di daerah itu, tidak partisipasi dan kaderisasi karena dikungkung oleh dinasti," kata Asep.
Ia mengatakan Dedi Mulyadi yang berkuasa hampir 15 tahun di Purwakarta tidak menjamin Anne bisa menang dengan mudah. Pasalnya, sambung dia, pilkada serentak akan mempersulit dukungan langsung dari Dedi Mulyadi yang juga maju di Pilgub Jabar.
"Ini unik karena serentak mereka bersama-sama terjun kampanye di waktu yang sama. Kampanye harus menej dengan baik, karena tujuan mereka (Dedi - Anne) beda. Bisa produktif dan kontra produktif kalau suami istri bersamaan," kata Asep.
Pasangan Anne - Aming mendapat dukungan dari enam partai yakni Golkar, Demokrat, PKB, Hanura, Nasdem dan PAN. Sedangkan Dedi Mulyadi maju bersama Deddy Mizwar (Dua DM) di Pilgub Jabar diusung Golkar dan Demokrat. (ern/ern)