Pada Februari lalu masyarakat AKUR Sunda Wiwitan Cigugur melayangkan gugatan perlawanan terhadap pihak ketiga. Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan menginginkan pelaksanaan eksekusi tanah pada objek sengketa perkara perdata No.07/Pdt.G/2009/Pn.KNG dibatalkan.
Salah seorang penghayat Sunda Wiwitan, Dewi Kanti mengatakan, masyarakat Sunda Wiwitan merasakan intimidasi dan kejanggalan dalam setiap perjuangan untuk mempertahankan tanah adatnya secara konstitusional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca Juga: Masyarakat Sunda Wiwitan Gagalkan Eksekusi Tanah Adat di Kuningan
Selain kejanggalan itu, diakui Dewi, pihaknya juga mendapatkan intimidasi yang mengarah pada isu SARA. Dewi mengatakan, disetiap masa persidangan ormas intoleran hadir untuk memberikan stigma buruk kepada Sunda Wiwitan.
"Senin (4/9/2017) besok kita ajukan kembali gugatan perlawanan dengan didampingi teman-teman dari perhimpunan adat lain dan berbagai ahli," ucapnya.
Ia berharap, perjuangan atas tanah adat tersebut segera tuntas. Pihaknya tetap akan mengundang sejumlah ahli, seperti ahli agraria, antropologi, filologi, dan lainnya untuk mengkaji manuskrip tentang tanah waris yang diperuntukan secara komunal bagi masyarakat adat.
"Padahal, semua ahli itu menyatakan bahwa kertas manuskrip yang ada ini memiliki usia ratusan tahun. Artinya, bukan buatan generasi saat ini," tandasnya.
Sementara itu, Sesepuh Adat Sunda Wiwitan, Subrata mengatakan, masyarakat Sunda Wiwitan merasa dikucilkan oleh negara. Subrata menegaskan, kendati kondisi saat ini Sunda Wiwitan terus dipojokan, Sunda Wiwiran akan terus 'tapa negara', bergaul sebagai warga negara.
"Kami ini tidak jauh beda dengan KEnekes Baduy. Mereka (Kenekes Baduy) memilih mengasingkan diri. Nyatanya, keadaan tetap sepert ini (dikucilkan) hingga usia Indonesia 72 tahun, tegasnya. (avi/avi)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini