Puluhan warga yang datang mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan petani. Mereka geram dengan pihak tambang yang menggeser aktivitas mereka sehari-hari. Mereka menempuh perjalanan hingga ratusan kilometer untuk menyampaikan aspirasi.
"Diajak oleh anggota Gerakan Bersama Penyelamatan Asset Pesisir (Geber Pasir), karena memang ada rapat tentang tambang," kata Tarno Asobar (50) warga Kampung Cibereum, Desa Buniasih, Kecamatan Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi, kepada detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sembilan tahun kami tak lagi panen impun, sawah pun tidak sebagus dulu. Ikan takut karena mesin tambang mengeluarkan getaran, sawah juga bulir padinya banyak yang hapa (kosong) air mengering karena tambang membuat lubang besar sampai 20 meter padahal itu areal pesawahan," lanjutnya.
Tarno bercerita aktivitas pertambangan pasir disebut terjadi sejak tahun 2008. "Jangankan untuk beraktivitas di pantai untuk melihat pantainya saja sudah tidak bisa karena terpasang tembok tinggi membentengi lokasi tambang yang mengarah langsung ke pantai," ucap dia.
Pernyataan Tarno dibenarkan anggota LSM Angkatan Muda Pemberdayaan dan Pembangunan Wilayah Strategis (Amplas). Data yang dihimpun LSM Amplas terjadi penyusutan hasil pertanian hingga ratusan ton.
"Satu patok sawah dulu bisa menghasilkan 4 sampai 5 kuintal total hingga 500 ton sekarang menyusut hanya 2 hingga 2,5 kuintal. Dulu wilayah itu dikenal sebagai penghasil padi yang baik, sementara sekarang tanya ke orang tambang berapa banyak lubang mereka buat untuk menggali pasir besi," kata Sukma anggota LSM Amplas.
"Sekarang beras raskin yang jadi rebutan karena buruknya kualitas padi di tempat itu. Ini kan miris. Kami minta kembalikan pantai biar nyaman, jadikan sarana wisata, jangan dirusak lingkungan kami. Saya lebih sayang anak cucu untuk ke depan," sambungnya seraya menyebut LSM nya sudah aktif sejak tahun 2006 lalu ketika pertambangan masih dalam tahap pembebasan
(ern/ern)