Perempuan berusia 71 tahun ini berjalan ringkih meraih sampah berupa gelas plastik dan botol minuman kemasan di sekitar gang tempat tinggalnya. Emak Isur berdomisili di Kampung Bojongasih 07/05, Desa Dayeuhkolot, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Rumahnya berjarak 20 meter dari kantor Desa Dayeuhkolot.
Tetangga setempat turut membantu mengumpulkan atau memberikan barang bekas bernilai jual. Tumpukan gelas dan botol plastik dikumpulkan di halaman rumah Emak Isur guna diangkut bandar rongsokan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sore jelang petang, Rabu (12/7) kemarin, detikcom bertamu ke kediaman Emak Isur. Sudah puluhan tahun ia menempati rumah berukuran 6 x 8 meter. Semula kokoh, kini huniannya sangat memprihatinkan.
Kabar Emak Isur mendiami rumah butut itu menyebar di media sosial (medsos). Ada warganet yang mengunggah informasi singkat kondisi tempat tinggal sang nenek tersebut.
Benar saja. Plafon rumahnya bolong-bolong. Pintu menuju ruangan belakang ditutup menggunakan selembar triplek. Tidak ada kamar mandi atau dapur. Hanya tikar yang tergelar, sebuah lemari kayu dan ranjang yang berada di salah satu ruangan.
Rumah itu rusak akibat banjir yang melanda wilayah Dayeuhkolot, pada tahun 2010. "Rumahnya rusak pas banjir besar. Semenjak itu kamar mandinya tidak bisa digunakan," kata Carman.
Selain terkesan kumuh, bau pesing dan anyir tercium menyengat hidung. Terutama di ruangan yang dijadikan kamar.
"Pipis dan BAB dimana saja," ucap Carman.
Emak Isur selalu menolak tawaran sejumlah pihak yang mengajaknya pindah ke panti jompo. Dia kadung nyaman meski menghuni rumah yang fisik bangunannya dapat mengancam keselamatan jiwa dan jauh dari kategori sehat.
"Betah nyalira oge. Alim ngalih, Emak alim ririwit. Emak paeh sareng hirup oge dideu we. (Betah sendirian juga. Enggak mau pindah. Emak tidak mau ribet. Emak meninggal dan hidup juga disini saja," tutur Emak Isur.
Masa Senja Sebatang Kara
Lantaran usia lanjut, ingatan Emak Isur melemah. Kemampuan berkomunikasinya terbatas. Perilakunya berubah drastis.
"Emak sudah pikun. Kadang uang pemberian dari orang suka disimpan seenaknya," kata Carman.
Kini Emak Isur hidup sebatang kara di rumah butut. Di dalam rumah, ia masih menyimpan foto ukuran 2x3 milik suaminya.
"Salaki Emak tos ngantunkeung (suami emak sudah meninggal)," ucap Emak Isur.
Sahri (75), suami Emak, meninggal tujuh tahun silam. Menyusul anak semata wayangnya, Nawangsih (45), yang tutup usia karena sakit. Nenek ini tidak memiliki cucu.
Kisah kehidupan pilu nenak tanpa sanak saudara ini telah mengetuk iba para tetangga. Mereka silih berganti membagi rezeki berupa uang serta makanan untuk Emak Isur.
Carman salah satu tetangga yang sejak tujuh tahun ini ikut andil memberikan perhatian untuk Emak Isur.
"Bajunya kadang enggak dicuci, cuma Emak jemur saja. Saya juga suka ngomelin Emak untuk mengganti bajunya dan kadang juga bajunya dicuci oleh istri saya," tutur Carman.
Soal urusan kesehatan Emah Isur, Carman tak bisa sepenuhnya memantau saban hari. "Karena saya juga punya keluarga yang sama-sama harus diperhatikan," kata Carman.
Ia dan warga lainnya berharap Pemkab Bandung bisa menangani Emak Isur. "Kalau keinginan saya, pemkab jemput bola (menengok langsung). Soalnya saya tidak bisa mengawasi Emak setiap hari, karena kami juga memiliki keluarga," ujar Carman. (ern/ern)