Korban Gusuran Bandara Kertajati Tolak 'Reward' Pembuatan Hall of Fame

Korban Gusuran Bandara Kertajati Tolak 'Reward' Pembuatan Hall of Fame

Tri Ispranoto - detikNews
Senin, 20 Mar 2017 22:30 WIB
Foto: Tri Ispranoto
Cirebon - Pasca penggusuran yang berujung bentrok pada 17 November 2017 lalu, warga yang terkena imbas pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Kabupaten Majalengka, masih belum bisa menentukan nasib mereka.

Sekjen Front Perjuangan Rakyat Sukamulya (FPRS), Bambang Nurdiansyah, mengaku hingga kini 90 persen warga yang berprofesi sebagai petani tidak lagi memiliki pekerjaan. Hal tersebut lantaran lahan yang digunakan dan digusur untuk pembangunan bandara merupakan lahan pertanian aktif tempat mereka mencari nafkah.

Bahkan saat Asda II Pemprov Jabar, Denny Djuanda, datang ke Kertajati pada awal Januari lalu, kata dia, tidak bisa mengungkapkan secara gamblang green desaign untuk warga terkena dampak setelah bandara yang diklaim terbesar kedua di Indonesia itu selesai dibangun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya tanya green desaign-nya seperti apa, dibilangnya tidak punya," jelas Bambang saat ditemui di acara diskusi di IAIN Syekh Nurjati, Kota Cirebon, Senin (20/3/2017).

Pemprov Jabar menjanjikan nama warga yang tergusur akan dibuat dan dicantumkan dalam sebuah monumen lengkap dengan luas tanahnya karena dianggap sebagai pahlawan pembangunan. "Katanya mau dibuat semacam hall of fame. Mungkin jawaban itu menurut saya hanya untuk menyenangkan kita. Tentu kita tolak," katanya.

Bambang mengatakan, yang dibutuhkan saat ini bukan hal seperti itu namun lebih pada penyelesaian terhadap lahan warga yang akan segera tergusur. Termasuk rencana pemerintah setelah bandara selesai karena warga tidak bisa lagi bertani.

Lebih lanjut Bambang pun mengungkapkan, awalnya tanah warga hanya dihargai Rp 23ribu/meter hingga akhirnya naik Rp 80ribu/meter. Uang pengganti tersebut menurutnya tidak sesuai karena saat warga akan mencari tanah baru harga sudah mulai melonjak hingga Rp 500ribu/meter.

"Hampir 100 persen warga kami itu petani. Sekaran karena lahan sudah tidak ada pacul pun sudah mulai berkarat. Kalau petani tanpa tanah, ya gimana?," keluh Bambang.

"Nenek moyang kami dulu mati-matian membela NKRI dengan berperan sebagai benteng hidup melawan DI/TII. Tapi kini NKRI yang mengusir kami dari tanah nenek moyang," pungkas Bambang.

Ia juga menyoroti 'rumah hantu', yang sengaja dibuat oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan berlipat. "Rumah itu dibangun oleh orang yang mencoba cari untung. Kebanyakan atau 90 persen orang luar bukan penduduk lokal yang buat," jelasnya.

Bambang mencontohkan, dari modal membuat rumah yang hanya Rp 20 juta oknum tersebut bisa mendapat keuntungan berlipat hingga dihargai Rp 80 juta. Awalnya rumah hantu tersebut hanya berjumlah 522 unit, sementara data terakhir menyebut jumlahnya sudah bertambah hingga tiga kali lipat.

"Bisa dibayangkan berapa miliar uang yang dipakai pemerintah untuk membeli rumah hantu?" ucapnya.

Pihaknya berharap pemerintah bisa lebih selektif dan memprioritaskan uang-uang tersebut bagi warga asli. Pasalnya dari 700 hektar lahan yang akan digunakan baru 70 hektar yang sudah dibebaskan. Sementara pemerintah sudah menargetkan BIJB Kertajati bisa beroperasi pada pertengahan tahun 2018 mendatang.


(ern/ern)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads