Putusan Pengadilan Narkotika Tebang Pilih, Pesohor Rehabilitasi Orang Biasa Penjara

Putusan Pengadilan Narkotika Tebang Pilih, Pesohor Rehabilitasi Orang Biasa Penjara

Avitia Nurmatari - detikNews
Jumat, 23 Sep 2016 19:48 WIB
Foto: Hasan Al Habshy
Bandung - Putusan pengadilan terkait penyalahgunaan narkotika dinilai masih tebang pilih. Perlakuan terhadap para pesohor dan masyarakat biasa dinilai tak seimbang.

Hal itu terungkap dalam diskusi dengan tema 'Putusan Rehabilitasi Narkotika: Putusan Hukum Tebang Pilih?'. Diskusi yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat ini digelar di Kaka Kafe, Jalan Tirtayasa Kota Bandung, Jumat (23/9/2016).

Pakar Hukum Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menjelaskan, ada dua makna tebang pilih dalam kasus narkotika maupun korupsi, yakni diskriminatif dan perkara yang memang seharusnya dijadikan perkara yang diangkat ke pengadilan.

"Tebang pilih di sini adalah yang diskriminatif di mana para pesohor seperti pejabat, artis atau lainnya hampir selalu diarahkan ke rehabilitasi sedangkan orang yang tidak mampu diarahkan ke hukuman penjara," kata Yesmil.

Seharusnya, lanjut Yesmil, hakim lebih objektif dengan melihat perkara dari sisi hukum, kesehatan maupun sosial.

"Seharusnya hakim bisa lebih objektif. Secara kasat mata sekarang seperti itu (tebang pilih). Tapi tidak menutup kemungkinan juga karena memang kebenarannya seperti itu," ujar Yesmil.

Seperti dalam kasus Bupati Ogan Ilir yang divonis enam bulan rehabilitasi. Menurut Yesmil, secara perundang-undangan lama waktu penahahan dan vonis yang dijatuhkan memang pas. Sehingga putusan yang dijatuhkan majelis hakim untuk membebaskannya itu tepat.

"Tapi bisa saja pesohor itu memang punya hak untuk direhab tapi banyak juga yang seharusnya dihukum tapi tidak. Sementara masyarakat yang tidak punya hampir selalu diarahkan hukum penjara," jelasnya.

Masyarakat bawah, terang Yesmil terkadang menjadi korban putusan yang tidak adil karena ketidaktahuan hukum dan ketidakmampuan mendapat bantuan hukum. Akses untuk bisa mendapatkan bantuan hukum kebanyakan didapat oleh orang yang mempunyai uang atau jabatan.

"Karena orang yang punya akses bantuan hukum bisa memanipulasi hukum itu sendiri," ungkap Yesmil.

Sementara itu, Program Manager Rumah Cemara Ardhany Suryadharma menyarankan agar dalam putusan perkara kasus narkotika juga memperhatikan berat barang haram yang dijadikan bukti. Dengan begitu, bisa mengetahui apakah seseorang itu merupakan pengguna atau pengedar.

"Usulan lain yakni memasukkan aturan gramatur ke dalam undang-undang, bukan seperti sekarang yang adanya di SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) dan SEJA (Surat Edaran keJaksaan Agung). Gramatur ini membedakan apakah seseorang itu merupakan pengguna atau pengedar. Dengan begitu enggak akan ada lagi peluang penegak hukum untuk kong kalikong," kata pria yang karib disapa Acil tersebut. (avi/ern)




Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads