Asep Suhendar (34), atau yang akrab disapa Kang Kuncung ini menuturkan jika komunitas ini terbentuk dari keprihatinan terhadapa budaya sunda yang semakin ditinggalkan.
"Kita berdiri dari kemauan, besar dengan keberanian dan bersinar dengan pengetahuan. Nilai-nilai inilah yang mendasari saya dan kawan-kawan komunitas untuk bangkit dari keterlupaan budaya," ujar Kuncung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di awal terbentuknya Galengan Sora Awi tidak langsung fokus menekuni dunia bambu. "Awalnya kami memanfaatkan limbah rumah tangga dan sampah di lingkungan yang kemudian disulap menjadi barang yang menurut kami berguna," kata Kuncung.
Kuncung dan kawan-kawan memanfaatkan sampah plastik seperti botol air mineral untuk dijadikan alat musik. "Awalnya memang coba-coba, kami buat alat musik dari botol dan galon, saat ini kami menamakan kelompok ini 'Kabedag' (terkejar, dalam bahasa Indonesia-red) dengan alasan kami bisa mengejar apa yang telah orang lain lakukan," tutur Kuncung.
Kemudian pada awal tahun 2006 nama Galengan Sora Awi mulai digunakan karena beralih dari media plastik ke media bambu. "Kebangkitan kembali musik bambulah yang mendasari kami meninggalkan plastik sebagai media bermusik," ujar Kuncung.
Kuncung yang merupakan salah satu alumni dari jurusan seni rupa di salah satu universitas swasta di Kota Bandung menyadari masih ada yang kurang saat ia bermusik.
"Jika hanya bermusik saja tanpa ada maksud yang jelas kami sama saja seperti dulu, akhirnya kami fokus untuk bermusik sekaligus memproduksi alat musik dari bambu," ujar Kuncung.
Kuncung dan kawan-kawan memilih memproduksi alat musik bambu karena keberadaannya yang semakin sulit untuk ditemukan. "Jadi secara tidak langsung saya dan kawan kawan mengisi hari hari tua dengan melestarikan budaya sunda," ujarnya bangga.
Tak hanya membuat alat musik bambu, Komunitas Galengan Sora Awi juga membuat kreativitas melalui gambar. "Pada akhirnya, 8 orang kawan saya fokus di musik bambu dan saya bersama 3 kawan lainnya mendalami seni rupa dan kriya," ujarnya.
Kuncung dan kawan-kawannya membuat karinding, celempung, dog-dog bahkan memahat akar bambu menjadi patung tokoh pewayangan. Kuncung menjual produk komunitasnya dengan kisaran harga Rp 10 ribu hingga Rp 5 juta.
"Untuk yang paling murah adalah kalung muncang dan paling mahal itu gambang dari bambu, keuntungannya sebagian kita simpan sendiri sebagian lagi untuk hidup komunitas," tutur Kuncung.
(ern/ern)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini