Waktu tepat menunjukkan pukul 20.00 WIB saat itu, suasana tempat pertunjukan dibuat gelap, kemudian dari balik tirai putih, sekelompok pemain musik memainkan overture bertajuk 'Guantanamera' bertajuk 'Guantanamera', 'Kuda Putih' dan 'Oho'.
Hampir 10 menit, sang penyanyi dan musik membuai penonton. Hingga kemudian tokoh Jose Karosta yang diperankan oleh Totenk Mahdasi Tatang muncul membawakan sajak milik Rendra bertajuk 'Burung-burung Kondor'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tokoh yang cukup mencolok pada pertunjukan ini adalah Max Carlos yang diperankan Awan Sanwani. Ia adalah penguasa yang sedang di puncak kepemimpinan yang sedag merasa terganggu oleh sosok Jose.
Di sisi lain, Juan Frederico yang diperankan oleh Angin Kamajaya, adalah seorang mahasiswa yang memiliki kegelisahan yang sama dengan Jose Karosta terharap pimpinan Max Carlos. Namun ia menilai apa yg dilakukan Karosta butuh proses panjang. Maka itu, ia bersama teman-temannya memimpin mahasiswa dan merangsek pemerintahan Max Carlos dengan siasat Revolusi Semesta Berencana dari Profesor Topaz.
Seting panggung pertunjukan teater ini cukup sederhana, hanya ada beton bangunan buatan yang menjadi latar belakang. Tata lampu juga tidak terlalu megah, demikian pula dengan kostum. Semua dibuat sederhana. Namun masing-masing tokoh memiliki karakter yang kuat.
Mastodon dan Burung kondor adalah salah satu karya drama masterpiece Rendra yang ditulisnya dalam rentang waktu 1971-1973. Saat dipentaskan di Jogja pada tahun 1973, karya ini sempat dicekal karena dinilai kontroversial dan berani menyinggung kekuasaan pemerintahan saat itu.
Setelah itu, naskah 'Mastodon dan Burung Kondor tidak pernah dipanggungkan oleh siapapun. Naskahnya tertidur selama 38 tahun. Namun sebagai bakti kepada mendiang suaminya, Ken mencoba membangunkan kembali karya suaminya, untuk dinikmati masyarakat luas.
(avi/avi)