"Saya tidak menyamaratakan semua debt collector sama ya, tapi ini memang benar-benar saya alami. Harusnya kan urusan kartu kredit, urusan debitur dan kreditur saja. Tapi ini eksesnya kepala sekolah yang dimintai pertanggungjawaban," ujar Kepala Sekolah SMA 9 Bandung Asep Kurniawan saat berbincang dengan detikbandung, Selasa (12/4/2011).
Menurutnya cara debt collector saat menagih sangat tidak etis. Mereka menggunakan kalimat kasar dan merendahkan. Asep mengaku dalam empat bulan terakhir ditelepon lebih dari 18 kali oleh salah satu bank.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun para debt collector itu terus meneror dengan menelepon, bahkan saat di rumah. "Nah ini pun jadi masalah. Karena kalau pas di rumah yang menelepon perempuan dan mengatakan bahwa saya melindungi ibu guru anu dari kartu kredit karena ada affair. Ini membuat saya berantem dengan istri saya. Ini kan sudah di luar konteks," tuturnya.
Pengalaman yang sama pun dialami Wakil Kepala Sekolah SMA 9 Iwan Hermawan. Menurutnya ia pun menerima puluhan telepon dari debt collector. "Ya kalau kepala sekolahnya kebetulan tidak ada, otomatis saya yang terima teleponnya. Fax sekolah bahkan sampai rusak karena menerima hampir 50 fax dalam satu hari. Ini benar-benar menganggu pekerjaan kami," tandas Iwan.
Menurut Iwan pola penagihan yang dilakukan debt collector tersebut sudah sangat meresahkan, karena menimbulkan konflik. Iwan menduga para debt collector itu menginginkan atasan di sekolah atau kepala sekolah menekan sang guru dan juga sengaja membuat konflik dengan istri di rumah.
"Ini benar-benar sudah sangat meresahkan," keluh Iwan.
Iwan menduga kondisi ini tak hanya terjadi di SMA 9. Pola yang sama bisa saja terjadi di sekolah lainnya. Sebab nasabah kartu kredit dari kalangan guru menurutnya sangat banyak. "Kalau menurut saya 60 persen lah guru punya kartu kredit," kata Iwan.
(ern/ern)