Dituturkan Raden Emas Subagdja (78), penduduk asli dan tokoh masyarakat Ujungberung, pada 1959 pabrik milik JB Heyne dinasionalisasi dan berubah nama menjadi PT Nila Bandung. Genting pun terus diproduksi. Namun pada Tahun 1980-an, material genting berupa tanah lempung atau biasa disebut taneuh angir oleh orang Sunda di daerah Ujungberung sudah mulai habis. Produksi pun menurun.
"Akhirnya PT Nila melakukan survey ke beberapa daerah untuk nyari taneuh angir yang sama kaya di Ujungberung. Nah ditemukan di kawasan Jatiwangi Majalengka, meski kualitas tanahnya tak sebagus dengan di Ujungberung," tutur Emas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak dari yang dari Jatiwangi belajar ke Ujungberung. Akhirnya orang-orang di Jatiwangi memproduksi genting di daerah mereka sendiri," tutur Emas.
Pada waktu bersamaan, nasib PT Nila makin terpuruk. Apalagi setelah pemilik PT Nila meninggal dan tak ada penerusnya. PT Nila pun akhirnya berhenti beroperasi. Namun Emas tak ingat kapan pabrik itu benar-benar tutup. Semua aset PT Nila, yang merupakan peninggalan JB Heyne pun dilelang.
"Ya seperti mesin pres, tungku raksasa, rel lori, dan kereta gantung dilelang. Katanya sih nilai lelangnya sampai Rp 7 miliar," tutur Emas.
Lalu pada tahun 1991, bangunan pabrik PT Nila dirubuhkan dan tanahnya menjadi terbengkalai hingga saat ini. Kini tanah bekas pabrik Heyne pun menjadi tanah sengketa karena menurut Emas, tanahnya masih berstatus eigendom.
Genting Heyne atau PT Nila pun kini hanya jadi sejarah. Sementara genting Jatiwangi makin 'wangi' hingga sekarang.
(ern/ern)