Dalam pasal 66 UU 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa outsourcing tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Jenis pekerjaan tersebut yaitu cleaning service, catering, security, transportasi, dan pertambangan serta perminyakan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak pengusaha berdalih outsourcing yang dipekerjakan di perusahaannya tak menyalahi aturan karena tidak ditempatkan di proses produksi utama. Sementara buruh menganggap outsorcing hanya boleh ditemmpatkan di 5 jenis pekerjaan.
"Pengusaha beralasan bahwa perusahaannya hanya vendor, bukannya core business. Jadi boleh menggunakan tenaga outsourcing," jelasnya.
Sebagai contoh, perusahaan pembuat layar laptop bisa mempekerjakan tenaga outsoucing dengan dalih mereka hanya mengerjakan sebagian pekerjaan dari perusahaan utama (principal).
Hasil penelitian dari Akatiga dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang dilakukan pada Februari hingga Agustus 2010, dari 598 buruh yang disurvei, 60,7 persen di antaranya adalah karyawan tidak tetap, yang terdiri dari 37,1 persen pekerja kontrak dan 23,6 persen.
Penelitian dilakukan di 3 provinsi yaitu di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jabar dan juga Provinsi Jatim. Berdasarkan penelitian, jumlah tenaga outsourcing terbesar berada di Riau, dimana 80 persen dari total karyawan kebanyakan adalah tenaga kontrak dan outsourcing. Sementara di Jabar tenaga kontrak dan outsoucing 55 persen serta di Jatim 35 persen.
(tya/ern)