Mereka tak bisa bisa pulang karena dicabut kewarganegaraannya. Padahal, meski sudah berada lama di luar negeri, mereka masih merasa sebagai orang Indonesia, dan masih ingin menginjakkan kakinya di tanah air.
Kasus kaum Eksil itu diangkat Ari Junaedi, dalam disertasinya yang berjudul "Transformasi Identitas dan Pola Komunikasi Para Pelarian Politik di Mancanegara".
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah harus bisa menyelesaikan masalah Eksil tahun 1965, karena hingga saat ini, mereka masih berada di luar negeri. Mereka tidak bisa pulang, karena status kewarganegaraannya dicabut rezim Soeharto. Dari penelitian saya, ada sekitar 1.500 yang tersebar di banyak negara," ungkap Ari setelah sidang doktornya di Gedung Pasca Sarjana Unpad, Jalan Dipatiukur, Selasa (3/8/2010). Ia dinyatakan lulus.
Dia menambahkan ribuan kaum eksil itu tersebar di beberapa negara Eropa seperti Belanda, Jerman, Prancis, Swedia, hingga negara-negara pecahan Uni Soviet.
Menurut Ari, banyak eksil yang bukan komunis. Mereka ada yang berasal dari golongan Muslim, Muhammadiyah, NU, hingga Nasionalis.
Untuk menuntaskan masalah ini, kata dia, diperlukan rekonsiliasi antara pemerintah dengan para eksil tersebut. Ari mengatakan perlu adanya duduk bersama untuk membicarakan masalah ini untuk meluruskan sejarah masa lalu, sehingga tidak ada kebencian masa lalu yang menumpuk.
"Sebenarnya mereka ini hanya ingin nama baik mereka dipulihkan, karena selama ini mereka dicap PKI, dicap melawan pemerintah. Tapi saya yakin dalam hari kecil mereka masih berjiwa Indonesia. Kita harus bisa mencontoh negara Afrika Selatan dalam melakukan rekonsiliasi dalam kasus apartheid. Mereka bisa melakukannya, sehingga dapat menghapus kenangan buruk masa lalu," tutur Ari.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua DPR RI dari PDIP Pramono Anung sependapat. Menurutnya penyelesaian masalah dengan cara rekonsiliasi seperti di Afrika Selatan itu lebih baik, dibandingkan dengan cara politik.
"Sebenarnya di zaman Presiden Gus Dur dan Presiden Megawati mereka sudah bisa kembali ke Indonesia. Tetapi persoalannya mereka sudah punya standard living, alias standar hidup yang berbeda dengan kita. Sehingga banyak yang kembali tetapi merasa tidak nyaman, jadi kembali ke negara mereka tinggal selama ini. Yang jelas tidak ada keberatan mereka kembali ke negeri ini," ujarnya.
(ern/ern)