Demikian disampaikan Staf Ahli Museum KAA Boedy S Porwo Hadikusumo ketika ditemui Selasa (20/4/2010). Dengan pembongkaran ini, diakui Boedy Museum KAA sudah kecolongan duaΒ kali oleh Pemprov.
Dipaparkannya, terowongan tersebut dulu digunakan sebagai tempat persiapan para penari atau penampil di zaman dulu. Namun di tahun 1992, bertepatan dengan KTT Non Blok, lorong tersebut ditutup oleh Pemprov dengan alasan untuk menjaga keamanan saat dilakukannya foto session kepala negara peserta KTT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
dinilainya mengada-ngada," ujarnya.
Protes dari Kepala Museum KAA saat itu almarhum Edi S Ekajati juga tidak ditanggapi.
Dan sejak dua minggu lalu, terowongan tersebut kembali dibongkar. Cukup disayangkan karena ternyata pembongkaran tersebut tidak mengembalikan lorong pada fungsinya semula.
Terowongan hanya dibuka selebar dua meter untuk dibuat tangga menuju panggung. Sekitar 12 anak tangga sudah selesai dibuat.
Dituturkan Budi, pembongkaran lorong tersebut menyalahi aturan UU NO 5 Tahun 1992 tentang cagar budaya. "Sejak ditutup dan sekarang dibongkar kembali sudah melanggar undang-undang," ujarnya.
"Kalau memang mau direnovasi kan tidak perlu mengubah bentuk aslinya. Kalau sekarang fungsinya apa? Tidak ada nilai sejarahnya," tambah Boedy.
Apalagi pembongkaran yang dilakukan bukan hanya terowongan di bawah panggung tapi juga ruang-ruang lain di bawah tanah terlihat direnovasi. Hal itu terpantau dengan banyaknya sejumlah pekerja yang sedang melakukan renovasi antara lain
mengganti lantai ruang bawah tanah dengan menggunakan keramik.
Menurut Boedy, pengelolaan Gedung merdeka dikelola oleh Pemprov dan Kemenlu. Dirinya menduga ada miss koordinasi antara pemprov dan Kemenlu. "Kita sudah kecolongan dua kali tahun 1992 dan sekarang," ujar Boedy kecewa.
Boedy berharap renovasi yang sedang dilakukan kali ini lebih kepada mengembalikan terowongan tersebut kepada fungsinya semula.
(ema/dip)