"Masih banyak yang belum terjual," ujar Agus (28), salah satu perajin mebel di kawasan tersebut.
Agus ingat, sembilan tahun lalu, ia memulai usaha membuat mebel di kawasan ini. Bisnis yang digelutinya telah berubah, terutama dari sisi penjualan. Dulu, tak pernah ia melihat mebel yang menumpuk di depan kiosnya, maupun kios-kios lain di sekitarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu mah enggak pernah numpuk kaya gini. Barang mentah sudah dibayar," kenangnya.
Dari pemasukan, uang bersih yang ia terima kini sekitar Rp 2 juta. Sedangkan dulu bisa sampai tiga kali lipatnya. "Ya, sama gaji karyawan, total paling 3 juta rupiah sebulan," ujar pria asal Garut ini.
Pengurangan jumlah uang yang masuk ke kantongnya pun diikuti oleh pengurangan jumlah karyawan yang bekerja padanya. 4 orang karyawan yang masih terhitung kerabat, dulu membuat mebel bersamanya. Kini, hanya tinggal 2 orang yang sanggup dia bayar.
Hal yang tak jauh beda dialami Peni (42). Pada 2002, adalah tahun keemasan yang dalam bisnis yang digelutinya. Orang-orang berbondong mendatangi kiosnya, membuat ia kewalahan. Bahkan, beberapa konsumen terpaksa harus ia kecewakan karena barangnya telah habis diambil orang lain.
"Sekarang mah boro-boro kayak gitu," ujar Peni.
Wajar bila Peni, Agus, dan puluhan perajn mebel lain di tempat ini ingin merasakan kembali semaraknya pembeli di tempat mereka. Seperti bulan Juli sampai September di awal milenium ini, saat ratusan mahasiswa yang merupakan pembeli utama, mengucurkan rupiah ke kantong mereka.
Mereka berharap bantuan pemerintah untuk membantu berdiri kembali. Apa lagi persaingan dengan mebel-mebel rakitan modern produksi perusahaan besar yang banyak dicari pembeli. Memang persaingan mebel makin mencekik mereka, apa lagi dengan ancaman produk-produk China yang harganya murah.
"Dulu pemerintah memberi bantuan modal untuk usaha kecil, tapi kita harus bikin proposal. Nah bantuannya sedikit sehingga persaingan untuk dapet bantuannya susah banget," keluh Agus yang sebelumnya pernah melanglang di Jakarta ini. (bbn/bbn)