Setiap hari, kecuali Jumat dan Minggu, sosok Mamat bisa ditemui di tangga Masjid Istiqomah, Jalan Citarum. "Saat tidak punya pekerjaan, saya terinspirasi teman saya jadi tukang semir di mesjid. Jadi saya iseng-iseng datang ke Masjid Istiqomah dan menyemir sepatu," ujar pria yang sebelumnya bekerja di pabrik tekstil ini membuka obrolan.
Bermodalkan Rp 79 ribu untuk membeli semir sepatu, sikat semir, dan parfum semir, pria yang tinggal di kawasan Cibiru ini memulai profesinya. Meski merasa malu, Mamat pun harus menjalani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pelanggannya tak lain ialah jemaah Masjid Istiqomah. Seringkali, pengunjung yang hendak shalat menitipkan sepatunya pada Mamat sambil meminta disemir.
Bahkan tak perlu diminta pun Mamat berinisiatif menyemir sepatu yang berjejer di anak tangga. Dia tidak berharap banyak kalau kelak pemiliknya akan membayar. "Kalau mau bayar syukur. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa. Itung-itung amal," ujar Mamat.
Tapi biasanya, karena sudah mengkilapkan sepatu, akhirnya sebagai balas jasa, pemilik sepatu pun memberikan biaya jasa semir seikhlasnya. Mamat mengaku tidak menarifkan harga tertentu.
"Saya non tarif. Karena kalau ditarif kadang tidak ada kembalian atau malah ada yang kurang bayarnya," aku Mamat.
Tanpa tarif tak berarti Mamat merugi. Meski menyemir sepatu profesi yang dianggap rendah oleh kebanyakan orang, tapi penghasilan Mamat per harinya cukup untuk menghidupi istri dan anaknya. Dalam satu hari menurut dia bisa mendapatkan order 20-30 pesanan semir sepatu.
"Satu hari bisa dapat Rp 40-50 ribu," ujar Mamat. Bahkan Mamat mengaku pernah ada orang yang memberinya Rp 50 ribu dan Rp 70 ribu berkat jasa non tarifnya itu.
Tapi Mamat tetap punya cita-cita. Dia mengaku tidak akan berlama-lama jadi penyemir sepatu. Menurutnya profesi ini hanya menjadi batu loncatan menuju pekerjaan yang lebih baik lagi.
Ayo ngobrol seputar Kota Bandung di Forum Bandung.
(ema/bbn)