Apakah Pengakuan dari Banyak Negara Berpengaruh Bagi Palestina?

Apakah Pengakuan dari Banyak Negara Berpengaruh Bagi Palestina?

BBC Indonesia - detikNews
Selasa, 23 Sep 2025 12:53 WIB
BBC
Jakarta -

Prancis menjadi negara terkini yang secara resmi mengakui negara Palestina.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengatakan, "Waktunya untuk perdamaian telah tiba" dan "tidak ada yang membenarkan perang yang sedang berlangsung di Gaza".

Prancis dan Arab Saudi menjadi tuan rumah pertemuan puncak satu hari di Majelis Umum PBB yang berfokus pada rencana solusi dua negara untuk konflik tersebut. Negara-negara G7, Jerman, Italia, dan AS, tidak hadir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Macron mengonfirmasi bahwa Belgia, Luksemburg, Malta, Andorra, dan San Marino juga akan mengakui negara Palestina, setelah UK, Kanada, Australia, dan Portugal mengumumkan pengakuan tersebut pada Minggu (21/09).

Macron mengatakan kepada konferensi tersebut bahwa waktunya telah tiba untuk menghentikan perang dan membebaskan sisa sandera Israel yang ditawan oleh Hamas.

ADVERTISEMENT

Ia memperingatkan tentang "bahaya perang tanpa akhir" seraya menegaskan "kebenaran harus selalu menang atas kekuatan".

Menurutnya, komunitas internasional telah gagal membangun perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah sehingga "kita harus melakukan segala daya upaya untuk menjaga kemungkinan solusi dua negara" yang akan mempertemukan "Israel dan Palestina dalam damai dan aman".

Macron mengatakan Prancis siap berkontribusi pada "misi stabilisasi" di Gaza dan menyerukan pembentukan pemerintahan transisi yang melibatkan Otoritas Palestina (PA) dalam mengawasi pembubaran Hamas.

Ia mengatakan Prancis hanya akan membuka kedutaan untuk negara Palestina ketika semua sandera yang ditahan Hamas dibebaskan dan gencatan senjata telah disepakati.

Menjelang pengumuman Macron, bendera Palestina dan Israel dipajang di Menara Eiffel pada Minggu (21/09) malam.

Sejumlah balai kota di Prancis juga mengibarkan bendera Palestina pada Senin (22/09), meski pemerintah Prancis mengimbau kepada para wali kota untuk menjaga netralitas.

Bendera Palestina dipajang di bagian depan Balai Kota Paris, Prancis, Senin (22/09).AFP via Getty ImagesBendera Palestina dipajang di bagian depan Balai Kota Paris, Prancis, Senin (22/09).

Pengakuan negara Palestina oleh Prancis, Kerajaan Bersatu (UK), Kanada, dan Australia, merupakan momen penting.

"Palestina tidak pernah sekuat ini di seluruh dunia dibanding sekarang," kata Xavier Abu Eid, mantan pejabat Palestina.

"Dunia kini bergerak untuk Palestina."

Diplomat Palestina, Huzam Zomlot, pada awal bulan ini menyatakan pengakuan tersebut menjadi momen krusial.

"Apa yang akan dilihat di New York, mungkin adalah upaya terakhir untuk mengimplementasikan solusi dua-negara. Jangan sampai itu gagal" kata Zomlot memperingatkan.

"Itu berarti Israel hidup berdampingan dengan negara Palestina yang layak. Saat ini, keduanya tidak terwujud," ujar Zomlot yang merupakan Kepala Misi Palestina untuk UK.

Persoalannya kini: Apakah pengakuan simbolis dari banyak negara ini berpengaruh? Kemudian, siapa kelak pemimpinnya ketika negara ini kembali berdiri?

Akankah cukup pengakuan simbolis?

Saat ini, Palestina menghadapi berbagai krisis, salah satunya terkait kepemimpinan. Mahmoud Abbas kini berusia hampir 90 tahun.

Sementara Marwan Baghouti yang diprediksi berpotensi menjadi pemimpin, kini tengah dipenjara.

Hamas yang "dihancurkan" dan wilayah Tepi Barat yang mulai "terpecah" juga menambah genting krisis kepemimpinan di Palestina.

Akan tetapi, pengakuan internasional yang berdatangan tetap berarti.

"Itu bisa sangat berharga. Meski tergantung juga mengapa negara-negara ini melakukannya dan apa sebenarnya niat mereka," kata pengacara Palestina, Diana Buttu.

Seorang pejabat pemerintah UK, yang tidak ingin disebutkan namanya, berkata pengakuan simbolis saja tidak cukup.

"Pertanyaannya adalah apakah kita bisa mendapatkan kemajuan menuju sesuatu yang bermakna sehingga Majelis Umum PBB tidak hanya menjadi pesta pengakuan," ujarnya.

Deklarasi New York yang diumumkan akhir Juli 2025 berisi penegasan terhadap solusi dua negara dengan sejumlah syarat seperti:

  • Gencatan senjata
  • Pengakuan kenegaraan Palestina dengan dukungan bagi Otoritas Palestina (PA)
  • Pelucutan senjata Hamas
  • Membuka akses bantuan kemanusiaan, rekonstruksi dan pemulihan di Gaza dan Tepi Barat
  • Penyatuan Gaza dan Tepi Barat
  • Pemilihan umum Palestina
  • Normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab.

Deklarasi ini disebut mengikat para penandatangan, termasuk UK, untuk mengambil "langkah-langkah konkret, terikat waktu, dan tidak dapat dibatalkan untuk penyelesaian damai masalah Palestina."

Dua gambar: Di sebelah kiri, Marwan Barghouti, yang diborgol, memperlihatkan tanda V, dan di sebelah kanan, seorang pria Palestina berjalan di samping tembok pemisah Israel yang dihiasi dengan gambar pemimpin Fatah yang ditahan, Marwan Barghouti.AFP via Getty ImagesMarwan Barghouti muncul sebagai pemimpin populer selama pemberontakan Palestina kedua.

Persoalannya, syarat yang harus segera dipenuhi pascapengakuan ini kemungkinan berhadapan dengan hambatan yang sangat besar, kata pejabat di London.

Apalagi hingga saat ini, AS memiliki hak veto di PBB terkait pengakuan negara Palestina dan pernah berulangkali menggunakannya.

Pada Agustus, AS juga mengambil langkah tidak biasa dengan mencabut atau menolak visa bagi puluhan pejabat Palestina, yang kemungkinan melanggar aturan PBB sendiri.

Abbas, bahkan, hanya bisa memberikan pernyataan melalui video pada sidang umum PBB.

Selain itu, Trump tampaknya masih terpaku pada versi "Rencana Riviera" yang memuat tujuan AS mengambil "posisi kepemilikan jangka panjang" atas Gaza.

Namun, jika pengakuan simbolis ini berdampak, bagaimana kelanjutannya?

Apa saja syarat negara dan bagaimana realitanya?

Konvensi Montevideo 1933 menetapkan empat kriteria untuk sebuah negara. Berikut kriterianya:

  • Populasi permanen: Palestina bisa memenuhi kriteria ini, meskipun perang di Gaza membuat kondisi penduduknya sangat berisiko.
  • Kapasitas untuk menjalin hubungan internasional: Dr. Zomlot adalah bukti dari kemampuan ini.
  • Wilayah yang ditentukan: Inilah poin yang belum terpenuhi. Tanpa kesepakatan perbatasan yang pasti dan tanpa proses perdamaian yang nyata, sulit untuk mengetahui dengan jelas wilayah Palestina.
  • Pemerintahan yang berfungsi: Ini merupakan tantangan besar bagi Palestina.

Mengenai wilayah, ada tiga bagian area yang didambakan warga Palestina sebagai suatu negara, yaitu: Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

Sayangnya, ketiga wilayah ini diduduki oleh Israel sejak Perang Enam Hari 1967.

Peta Israel, Tepi Barat, Gaza, dan negara-negara sekitarnyaBBC

Sekilas melihat peta, terlihat awal masalahnya. Tepi Barat dan Jalur Gaza telah terpisah secara geografis oleh Israel selama tiga perempat abad atau tepatnya sejak kemerdekaan Israel pada tahun 1948.

Memasuki 1967 dengan serangan yang dilancarkan Israel, perluasan permukiman telah menggerogoti Tepi Barat hingga memecahnya menjadi entitas politik dan ekonomi.

Baca juga:

Situasi ini terus berlanjut. Kehadiran militer Israel dan permukiman Yahudi membuat Otoritas Palestina (PA), yang dibentuk setelah Kesepakatan Damai Oslo pada 1990-an, hanya menguasai sekitar 40% wilayah.

Sementara itu, Yerusalem Timur, yang dianggap Palestina sebagai ibu kota mereka, kini dikelilingi permukiman Yahudi yang secara bertahap memutus kota tersebut dari Tepi Barat.

Nasib Gaza, tentu saja, jauh lebih buruk. Setelah hampir dua tahun perang yang dipicu oleh serangan Hamas pada Oktober 2023, sebagian besar wilayahnya telah hancur.

Selain wilayah yang sudah tercerai berai dan porak poranda, Palestina harus berhadapan dengan persoalan kepemimpinan.

'Kami butuh kepemimpinan baru'

Untuk menjawab problem kepemimpinan baru ini, perlu dirunut lagi sejarah yang melingkupi Palestina.

Pada 1994, kesepakatan antara Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengarah pada pembentukan Otoritas Nasional Palestina (PA).

Otoritas ini memiliki kendali sipil parsial atas warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat.

Namun, sejak konflik berdarah pada 2007 antara Hamas dan faksi utama PLO, Fatah, warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat diperintah oleh dua pemerintahan yang bersaing.

Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat, yang diakui secara internasional, dengan presidennya Mahmoud Abbas.

Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Nasional PalestinaBloomberg via Getty ImagesAbbas hampir menginjak usia ke-90

Perpecahan politik ini terus berlangsung selama 18 tahun, ditambah 77 tahun pemisahan geografis, membuat Tepi Barat dan Jalur Gaza semakin terpisah.

Politik Palestina kian mengkristal dan membuat sebagian besar warga Palestina sinis terhadap pemimpin mereka. Bahkan mereka sulit percaya akan adanya rekonsiliasi internal, apalagi menjadi sebuah negara yang utuh.

Adapun pemilihan presiden dan parlemen terakhir diadakan pada 2006. Dengan kata lain, tidak ada warga Palestina di bawah usia 36 tahun yang pernah memberikan suara di Tepi Barat atau Gaza.

"Sangat tidak masuk akal bahwa kami tidak mengadakan pemilihan selama ini," kata pengacara Palestina Diana Buttu.

"Kami butuh kepemimpinan baru."

Di tengah serangan bertubi-tubi di Gaza sejak Oktober 2023, masalah ini menjadi semakin mendesak.

Di hadapan kematian puluhan ribu warganya, Otoritas Palestina yang dipimpin Abbas, yang bermarkas di Tepi Barat, hanya seolah menjadi penonton yang tak berdaya.

Warga Palestina mengungsi dari kawasan tersebut setelah serangan udara Israel terhadap Masjid Sousi di Kota Gaza. MAHMUD HAMS/AFP via Getty ImagesLebih dari 60.000 orang telah tewas di Gaza sejak Oktober 2023, menurut Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas.

Siapakah sosok pemimpin Palestina di masa depan?

Mundur beberapa dekade silam, Ketua Otoritas Nasional Palestina, Yasser Arafat, kembali dari pengasingan bertahun-tahun. Para politisi Palestina lokal pun mulai merasa terpinggirkan.

"Orang dalam" mulai merasa kesal dengan gaya kepemimpinan yang dominan dari "orang luar" Arafat. Isu korupsi di lingkaran Arafat juga berdampak pada reputasi Otoritas Palestina.

Di sisi lain, Otoritas Palestina juga seperti tidak mampu menghentikan kolonisasi bertahap Israel di Tepi Barat. Dengan demikian, janji kemerdekaan dan kedaulatan pun urung ditepati.

Padahal pada September 1993, terjadi jabat tangan bersejarah Arafat dengan mantan Perdana Menteri Israel, Yizhak Rabin, di halaman Gedung Putih yang melambungkan harapan merdeka dan berhentinya penjajahan di tanah Palestina.

Ketua Otoritas Nasional Palestina, Yasser Arafat (kanan) berjabat tangan dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin (kiri), sementara Presiden AS Bill Clinton berdiri di antara keduanya, setelah penandatanganan perjanjian damai Israel-PLO.REUTERS/Gary HershornJabat tangan bersejarah Arafat dengan Yizhak Rabin di halaman Gedung Putih, bersama Presiden AS Bill Clinton.

Memasuki tahun-tahun selanjutnya, politik di Palestina kian tidak kondusif karena inisiatif perdamaian yang gagal, perluasan terus-menerus pemukiman Yahudi, kekerasan oleh ekstremis dari kedua belah pihak, pergeseran politik Israel ke kanan, dan perpecahan kekerasan pada 2007 antara Hamas dan Fatah.

"Dalam keadaan normal, tokoh-tokoh baru dan generasi baru seharusnya muncul," kata sejarawan Palestina Yezid Sayigh.

"Namun hal itu tidak mungkin terjadi. Penduduk Palestina di wilayah yang diduduki sudah terpecah belah secara besar-besaran ke dalam ruang-ruang kecil yang terpisah, dan hal itu membuat hampir tidak mungkin bagi tokoh-tokoh baru untuk muncul dan bersatu."

Baca juga:

Kendati demikian, nama Marwan Barghouti muncul kemudian. Lahir dan dibesarkan di Tepi Barat, ia aktif di Fatah sejak usia 15 tahun.

Barghouti muncul sebagai pemimpin populer selama pemberontakan Palestina kedua, sebelum ditangkap dan didakwa merencanakan serangan yang menewaskan lima warga Israel.

Ia selalu membantah tuduhan itu, meski tetap dipenjara di Israel sejak 2002.

Namun, ketika warga Palestina membicarakan calon pemimpin masa depan, mereka berakhir membicarakan seorang pria yang telah dipenjara selama hampir seperempat abad itu.

Yaser Arafat memberi hormatGetty ImagesRumor tentang korupsi di lingkaran Arafat tidak banyak membantu meningkatkan reputasi Otoritas Palestina.

Jajak pendapat terbaru oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina yang berbasis di Tepi Barat menemukan bahwa 50% warga Palestina akan memilih Barghouti sebagai presiden, jauh mengungguli Mahmoud Abbas, yang telah menjabat sejak 2005.

Meskipun Barghouti adalah anggota senior Fatah, faksi yang berkonflik dengan Hamas, namanya disebut-sebut sebagai salah satu tahanan politik yang ingin dibebaskan Hamas sebagai imbalan bagi sandera Israel di Gaza. Namun, Israel tidak menunjukkan indikasi akan membebaskannya.

Para demonstran Palestina mengibarkan bendera dan spanduk yang menampilkan potret pemimpin Fatah, Marwan Barghouti.AFP via Getty ImagesSebuah jajak pendapat terbaru menunjukkan bahwa Barghouti adalah pilihan utama rakyat Palestina untuk pemimpin, jauh di depan Mahmoud Abbas.

Pada pertengahan Agustus, sebuah video beredar, memperlihatkan Barghouti yang berusia 66 tahun dalam kondisi kurus dan lemah diejek oleh Menteri Keamanan Israel, Itamar Ben Gvir.

Ini adalah kali pertama Barghouti terlihat secara publik dalam beberapa tahun terakhir.

Netanyahu dan kemerdekaan negara Palestina

Bahkan sebelum Serangan ke Gaza, penolakan Benjamin Netanyahu terhadap kemerdekaan Palestina sudah jelas.

Pada Februari 2024, ia mengatakan, "Semua orang tahu bahwa saya adalah orang yang selama puluhan tahun menghalangi pembentukan negara Palestina yang akan mengancam keberadaan kita."

Meskipun ada seruan internasional agar Otoritas Palestina (PA) mengambil alih kendali Gaza, Netanyahu bersikeras bahwa PA tidak akan memiliki peran dalam pemerintahan Gaza di masa depan, karena Abbas disebutnya tidak mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober.

Baca juga:

Pada Agustus, Israel memberikan persetujuan akhir untuk proyek pemukiman yang secara efektif akan memisahkan Yerusalem Timur dari Tepi Barat.

Rencana untuk 3.400 unit perumahan disetujui yang kemudian memantik pernyataan Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich bahwa rencana ini akan mengubur gagasan negara Palestina "karena tidak ada yang perlu diakui dan tidak ada yang akan mengakui".

Benjamin Netanyahu Reuters"Hari setelah perang di Gaza, baik Hamas maupun Otoritas Palestina tidak akan ada di sana," kata Netanyahu pada pertengahan Februari.

"Ini bukanlah keadaan baru. Itu telah terjadi selama bertahun-tahun," kata sejarawan Palestina Yezid Sayigh.

"Bahkan saat bisa membawa malaikat Mikail ke bumi dan menjadikannya kepala Otoritas Palestina sekali pun, tetap tidak akan membuat perbedaan. Karena kondisi saat ini membuat kesuksesan apa pun menjadi mustahil," ujar Sayigh.

Satu hal yang pasti: jika negara Palestina benar-benar terbentuk, Hamas tidak akan memimpinnya.

Ini berdasarkan pada Deklarasi New York pada Juli lalu yang disponsori oleh Prancis dan Arab Saudi.

Di situ, ada pernyataan bahwa "Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan senjatanya kepada otoritas Palestina."

Atas pernyataan itu, Deklarasi New York ini didukung oleh semua negara Arab dan kemudian diadopsi oleh 142 anggota Majelis Umum PBB.

Adapun Hamas, mereka menyatakan siap menyerahkan kekuasaan di Gaza kepada administrasi teknokrat yang independen.

Bagaimana masa depan harapan Palestina?

Masa depan jangka panjang Gaza mungkin terletak di antara Deklarasi New York, rencana Trump, dan rencana rekonstruksi Arab.

Dalam rencana tersebut tidak menyebutkan Otoritas Palestina, hanya merujuk pada "pemerintahan mandiri Palestina yang direformasi", atau hubungan masa depan antara Gaza dan Tepi Barat.

Baca juga:

Semua rencana, dengan cara yang sangat berbeda, berharap dapat menyelamatkan sesuatu dari bencana yang menimpa Gaza dalam dua tahun terakhir.

Apapun yang muncul, hal itu harus menjawab pertanyaan tentang bagaimana Palestina dan kepemimpinannya akan terlihat.

Namun, bagi Palestina seperti Diana Buttu, ada masalah yang jauh lebih mendesak.

Dia ingin komunitas internasional mencegah lebih banyak pembunuhan rakyat Palestina.

"Dan melakukan sesuatu untuk menghentikannya."

Donald Trump dan Sir Keir StarmerGetty ImagesTrump dan Starmer memiliki pandangan yang berbeda mengenai masalah tersebut.

Lihat Video 'Bendera Palestina Dikibarkan di London setelah Pengakuan Inggris':

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.

Hide Ads