Gen Z Nepal Usai Gulingkan Pemerintah: Politisi Makin Kaya, Kami Menderita

Gen Z Nepal Usai Gulingkan Pemerintah: Politisi Makin Kaya, Kami Menderita

BBC Indonesia - detikNews
Kamis, 18 Sep 2025 17:59 WIB
Tanuja Pandey mengusung kertas berisi slogan antikorupsi dalam demonstrasi di Nepal, pekan lalu (Tanuja Pandey)
Kathmandu -

Protes kaum Gen Z yang berlangsung dalam 48 jam berhasil menggulingkan pemerintah Nepal. Namun, kemenangan itu disertai harga mahal.

"Kami bangga, tapi bercampur trauma, penyesalan, dan kemarahan," kata Tanuja Pandey, salah seorang penyelenggara aksi massa.

Sebanyak 72 orang dilaporkan meninggal dunia sehingga rangkaian demonstrasi sepanjang pekan lalu disebut-sebut sebagai kerusuhan paling mematikan di Nepal dalam beberapa dekade terakhir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gedung-gedung pemerintah, rumah para politisi, dan hotel-hotel mewah seperti Hilton yang baru dibuka Juli 2024 dijarah, dirusak, dan dibakar. Istri mantan perdana menteri bahkan meninggal dunia setelah kediamannya dibakar massa.

Rangkaian protes itu menunjukkan "penolakan total terhadap kelas politik Nepal yang memerintah dengan buruk selama puluhan tahun serta mengeksploitasi sumber daya negara," kata Ashish Pradhan, penasihat senior di International Crisis Group.

ADVERTISEMENT

Namun di sisi lain, rangkaian protes juga berdampak terhadap layanan pemerintahan, yang disebut Pradhan, "setara dengan gempa bumi 2015 yang merenggut hampir 9.000 nyawa."

Aksi protes itu tak cuma membuat layanan di ibu kota Kathmandu lumpuh setidaknya 300 kantor pemerintah di antero Nepal ikut terdampak.

Ada pula kerugian finansial yang diperkirakan mencapai 3 triliun rupee Nepal (US$21,3 miliar atau Pound 15,6 miliar), atau hampir setengah Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara tersebut, demikian dilaporkan Kathmandu Post.

Kantor media yang didirikan Februari 1993 itu turut diserang dan dibakar massa dalam rangkaian protes pekan lalu.

'Nepo babies'

Dua hari sebelum aksi berdarah pada 8 September, Pandey yang merupakan aktivis lingkungan, sempat mengunggah video tambang di Chure salah satu pegunungan paling rapuh di kawasan itu.

Dalam videonya, aktivis 24 tahun itu turut menuliskan bahwa sumber daya Nepal harus dimiliki rakyat, bukan "perusahaan terbatas milik politisi."

Ia juga menyerukan teman-temannya untuk "turun ke jalan melawan korupsi dan penyalahgunaan kekayaan negara."

Saugat Thapa

Didorong kemarahan, kaum muda Nepal menjuluki anak-anak politisi sebagai "nepo babies". Salah satunya, Saugat Thapa, anak seorang pejabat daerah (Instagram/sgtthb)

Seperti halnya gerakan anak muda lain di Asia, protes Gen Z di Nepal tidak memiliki pemimpin tunggal. Tak cuma Pandey, seruan serupa digaungkan banyak orang tak lama setelah pemerintah melarang 26 platform media sosial dengan dalih mereka gagal melakukan pendaftaran di dalam negeri.

Beberapa bulan terakhir, kemarahan massa juga menumpuk terhadap para "nepo babies": anak-anak politisi berpengaruh dari berbagai partai. Lewat media sosial, mereka dituding memamerkan kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal muasalnya.

Salah satu foto paling viral memperlihatkan Saugat Thapa, anak seorang pejabat daerah yang berdiri di samping sebuah pohon Natal yang disusun dari kotak-kotak jenama mewah seperti Louis Vuitton, Gucci, dan Cartier.

Baca juga:

Setelah viral, Thapa berkelit dengan mengatakan tudingan itu "kesalahan persepsi yang tidak adil", seraya menambahkan bahwa ayahnya "mengembalikan setiap rupee yang diperoleh dari tugas pelayanan publik kepada masyarakat."

Pandey mengaku sudah menonton hampir semua konten "nepo babies".

Namun, ia menyebut terdapat satu video terpatri di benaknya: tentang perbandingan kehidupan mewah keluarga politisi dengan seorang pemuda Nepal biasa yang terpaksa bekerja di negara Teluk.

"Rasanya sakit melihat itu, apalagi saat mengetahui bahwa seorang anak muda terdidik bahkan dipaksa meninggalkan negaranya karena gaji di sini jauh di bawah standar hidup layak," katanya.

Kekecewaan pada politik

Nepal merupakan negara demokrasi yang tergolong muda.

Setelah perang sipil selama satu dekade yang dipimpin kelompok Maois dan menewaskan lebih dari 17.000 orang, Nepal beralih menjadi republik pada 2008 sebelumnya berbentuk monarki di bawah Raja Gyanendra.

Meski begitu, stabilitas dan kemakmuran yang dijanjikan tak kunjung datang.

Dalam 17 tahun, pemerintahan di Nepal sudah berganti sebanyak 14 kali dan tidak satu pun perdana menteri yang menuntaskan masa jabatan lima tahun.

Kekuasaan politik di negara itu secara bergantian dikuasai partai komunis dan Nepali Congress yang berhaluan sosial-demokrat.

Sebanyak tiga pemimpin, termasuk KP Sharma Oli yang baru-baru ini mundur usai protes Gen Z, sejatinya sudah beberapa kali kembali ke tampuk kekuasaan.

Baca juga:

PDB per kapita tetap di bawah US$1.500, menjadikan Nepal negara termiskin kedua di Asia Selatan hanya di atas Afghanistan. Sekitar 14% penduduk bekerja di luar negeri, serta satu dari tiga rumah tangga menggantungkan hidup pada kiriman uang dari luar negeri (remitansi).

Pandey sendiri berasal dari keluarga kelas menengah di Nepal timur, putri seorang pensiunan guru sekolah negeri.

Tiga tahun lalu, ia didiagnosis tumor otak dan sampai sekarang masih menjalani perawatan. Tagihan medis hampir membuat keluarganya bangkrut, sehingga kakak perempuannya memutuskan pindah ke Australia agar bisa membantu pembiayaan.

Sebelum aksi, Pandey bersama para koleganya menyusun pedoman yang menekankan non-kekerasan, saling menghormati, dan kewaspadaan terhadap "penumpang gelap."

8 September

Pada 8 September pagi, Pandey bersama beberapa temannya tiba di Maitighar Mandala, bundaran besar di pusat Kathmandu. Ia memprediksi protes hari pertama hanya akan diikuti ribuan orang, tapi rupanya jauh lebih besar.

Aakriti Ghimire, 26 tahun, salah satu peserta aksi, mengatakan bahwa protes semula berjalan damai dan penuh kebersamaan.

"Kami semua duduk, menyanyikan lagu-lagu lama Nepal," ujarnya.

"Slogan protes dan semua yang ditampilkan sangat lucu, kami semua menikmatinya. Setelah kami memulai konvoi [sementara] polisi hadir untuk memastikan tidak ada kendaraan yang menghalangi," katanya.

Pandey dan Ghimire mulai merasakan bahaya sekitar tengah hari, ketika massa bergerak ke New Baneshwor, kawasan gedung parlemen. Keduanya menyaksikan segerombolan orang datang dengan sepeda motor.

Hotel Hilton menjadi salah satu target aksi pembakaran di Nepal.

Hotel Hilton menjadi salah satu target aksi pembakaran di Nepal (Reuters)

Pandey menggambarkan gerombolan itu terlihat lebih tua daripada rata-rata demonstran Gen Z yang hadir, sementara Ghimire yakin bahwa mereka adalah penyusup.

"Sulit untuk membedakan mana demonstran damai yang memang datang untuk sesuatu dan mana yang datang dengan niat merusuh," kata Ghimire.

Sebagian massa kemudian mencoba menerobos barikade keamanan di seputaran gedung parlemen, tapi polisi membalas dengan menembakkan gas air mata, meriam air, dan tembakan peluru tajam.

Sejumlah bukti menunjukkan polisi menggunakan peluru tajam dan dituding menembaki siswa sekolah yang ikut dalam protes.

Sampai saat ini, investigasi terkait hal itu masih berlangsung.

Kekacauan dan korban

Sehari usai kerusuhan 8 September, Pandey dan Ghimire memilih berdiam di rumah dan memantau perkembangan situasi lewat internet.

Mereka kemudian mengetahui situasi kian menggila. Massa membakar gedung parlemen, kantor perdana menteri, dan bangunan pemerintah lainnya.

"Banyak orang membagikan kepuasan mereka saat menyaksikan para politikus mendapat konsekuensi atas apa yang telah mereka lakukan," kata Ghimire soal rumah-rumah pejabat yang dibakar.

Hanya saja, suasana kemudian berubah muram.

"Saya menyaksikan orang menenteng botol-botol berisi bensin yang didapat dari sepeda-sepeda motor. Mereka mulai menyerang gedung parlemen," ujar Pandey.

Sebagai lulusan fakultas hukum, ia menangis saat melihat gedung Mahkamah Agung ludes terbakar, menyebu bangunan itu seperti "kuil" baginya.

Sejumlah orang ambil bagian dalam acara mengheningkan cipta bagi para korban yang tewas dalam rangkaian demonstrasi di Nepal.

Sejumlah orang ambil bagian dalam acara mengheningkan cipta bagi para korban yang tewas dalam rangkaian demonstrasi di Nepal (Reuters)

Teman-temannya yang ada di lokasi berusaha memadamkan api dengan air. Mereka tahu itu bakal sia-sia tapi mereka melakukannya untuk sekadar menenangkan hati.

"Orang-orang mengatakan para pembakar itu memang berniat datang untuk merusak Siapa orang-orang itu?" tanya Ghimire.

"Video-video yang beredar memperlihatkan mereka menggunakan penutup wajah."

Suasana panas sedikit mereda setelah tentara turun tangan dan memberlakukan jam malam selama beberapa hari.

Mantan Ketua Mahkamah Agung, Sushila Karki, belakangan ditunjuk sebagai perdana menteri sementara. Ia memang didukung para demonstran untuk mengisi jabatan tersebut.

Pandey berharap Karki "bisa memimpin dengan baik, menggelar pemilu tepat waktu, dan menyerahkan kekuasaan ke rakyat."

Namun, kecemasan soal masa depan politik Nepal tetap masih kuat.

Rumela Sen, pakar Asia Selatan di Columbia University, khawatir menyaksikan "glorifikasi terhadap tentara yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai suara kewarasan dan stabilitas."

Banyak pula pihak yang tak nyaman dengan keterlibatan Durga Prasai dalam negosiasi awal undangan keterlibatan militer.

Prasai pernah ditangkap karena terlibat aksi pro-monarki yang rusuh pada Maret lalu. Ia sempat kabur ke India lalu dikembalikan ke Nepal. Para demonstran Gen Z tak sejalan dengan hal ini.

Seiring itu, keluarga korban kini mulai menghadapi kenyataan pahit.

"Kami sangat terpukul karena kehilangan putra tercinta," kata Yubaraj Neupane, ayah Yogendra (23 tahun) yang tewas dalam aksi.

"Saya masih belum mengetahui bagaimana ia meninggal dunia."

Menurut laporan autopsi, Yogendra ditembak di bagian belakang kepala, dekat gedung parlemen.

Pemuda dari Nepal tenggara itu sedang menempuh studi di Kathmandu dan bercita-cita jadi pegawai negeri. Yogendra dikenal tekun belajar semasa hidupnya.

Pada 8 September, ia ikut turun ke jalan bersama teman-temannya, dengan mimpi dapat membawa perubahan. Keluarga baru mengetahui bahwa Yogendra ikut dalam protes setelah ia menelepon keluarga untuk mengabarkan situasi mulai memanas.

"Ia rela mengorbankan nyawanya demi perubahan," kata sang paman, Saubhagya.

"Darah dan pengorbanannya harus diakui, supaya anak-anak muda lain tak perlu lagi turun ke jalan di masa depan."

Pandey mengaku menyimpan optimistisme, meski trauma pekan lalu bakal bersemayam selamanya. Ini adalah kebangkitan politik bagi generasinya.

"Kami tidak mau lagi diam atau menerima ketidakadilan," pungkas Pandey.

"Ini bukan sekadar dorongan lembut; ini dobrakan keras terhadap sistem yang sudah puluhan tahun menyimpan kekuasaan."

Simak juga Video: PM Baru Nepal Akan Selidiki Kasus Kekerasan Saat Demo

(nvc/nvc)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads