Korut Makin Sering Eksekusi Mati Warga yang Nonton Film Asing

Korut Makin Sering Eksekusi Mati Warga yang Nonton Film Asing

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 15 Sep 2025 10:26 WIB
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, muncul dalam siaran televisi di Korea Selatan, pada 2023 lalu. (Getty Images)
Jakarta -

Pemerintah Korea Utara makin gencar menerapkan hukuman mati, termasuk kepada orang-orang yang ketahuan menonton dan membagikan film dan drama TV asing, demikian temuan laporan penting PBB.

Rezim kediktatoran Korut juga makin sering menghukum rakyatnya mengikuti kerja paksa seraya membatasi kebebasan mereka, tambah laporan tersebut.

Kantor Hak Asasi Manusia PBB menemukan bahwa selama satu dekade terakhir, Korea Utara memperketat kendali atas "semua aspek kehidupan warga negara".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak ada populasi lain yang berada di bawah pembatasan seperti itu di dunia saat ini," sebut laporan PBB.

Lebih lanjut, menurut laporan itu, pengawasan "lebih meluas", sebagian karena dibantu oleh kemajuan teknologi.

ADVERTISEMENT

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Trk, mengatakan bahwa apabila situasi ini berlanjut, warga Korea Utara "akan mengalami lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka alami begitu lama".

Laporan tersebut, yang didasarkan pada lebih dari 300 wawancara dengan orang-orang yang melarikan diri dari Korea Utara dalam 10 tahun terakhir, menemukan bahwa hukuman mati makin sering digunakan.

Menonton film asing, ditembak di depan umum

Setidaknya enam undang-undang baru telah diberlakukan sejak 2015 yang memungkinkan hukuman mati dijatuhkan.

Salah satu kejahatan yang kini dapat dihukum mati adalah menonton dan membagikan konten media asing seperti film dan drama TV. Hukuman itu diterapkan karena Kim Jong Un berupaya membatasi akses masyarakat terhadap informasi.

Kim Jong Un di Pyongyang. KCNA via EPALaporan PBB menemukan bahwa pemerintah Korut menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu.

Para penyintas mengatakan kepada para peneliti PBB bahwa sejak 2020 dan seterusnya, makin banyak orang yang dieksekusi mati karena mendistribusikan konten asing.

Warga yang ketahuan menonton atau membagikan film asing, menurut para penyintas, ditembak mati oleh regu tembak di depan umum untuk menanamkan rasa takut pada masyarakat.

Baca juga:

Kang Gyuri, yang melarikan diri pada 2023, mengatakan kepada BBC bahwa tiga temannya dieksekusi setelah tertangkap membawa film Korea Selatan.

Ia menghadiri persidangan salah seorang temannya yang dijatuhi hukuman mati. Temannya berusia 23 tahun.

"Dia diadili bersama para penjahat narkoba. Dia diperlakukan sama dengan orang yang melakukan kejahatan narkoba," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa sejak 2020 orang-orang menjadi lebih takut.

Berharap pada pemimpin baru, tapi rakyat makin lapar

Pengalaman Kang Gyuri dan para penyintas Korut bertolak belakang dengan apa yang diharapkan rakyat Korea Utara lebih dari 10 tahun lalu.

Ketika Kim Jong Un pertama kali berkuasa pada 2011, warga Korut yang diwawancarai mengaku berharap kehidupan mereka akan membaik, karena Kim telah berjanji bahwa mereka tidak perlu lagi "mengencangkan ikat pinggang". Artinya mereka akan memiliki cukup makanan.

Saat itu, Kim berjanji menumbuhkan ekonomi sekaligus melindungi negara dengan mengembangkan senjata nuklir.

Warga Korut membungkuk di hadapan mosaik yang menggambarkan ayah dan kakek Kim Jong Un di Pyongyang. Foto ini diabadikan pada 9 September.AFP via Getty ImagesWarga Korut membungkuk di hadapan mosaik yang menggambarkan ayah dan kakek Kim Jong Un di Pyongyang. Foto ini diabadikan pada 9 September.

Namun, laporan PBB menemukan bahwa sejak Kim berfokus pada program persenjataan serta menghindari diplomasi dengan Barat dan AS pada 2019, situasi kehidupan dan hak asasi manusia rakyat Korut telah "menurun".

Hampir semua orang yang diwawancarai mengatakan mereka tidak memiliki cukup makanan. Bahkan, makan tiga kali sehari adalah sebuah "kemewahan".

Selama pandemi Covid, banyak pelarian mengatakan bahwa terjadi kekurangan makanan yang parah sehingga banyak orang meninggal karena kelaparan.

Baca juga:

Pada saat yang sama, pemerintah Korut menindak pasar-pasar informal tempat penduduk berdagang, sehingga mempersulit mereka untuk mencari nafkah.

Rezim Korut juga membuat hampir mustahil bagi warganya untuk melarikan diri dengan memperketat kontrol di sepanjang perbatasan dengan China. Para prajurit diperintahkan untuk menembak warga yang mencoba menyeberang.

"Pada masa-masa awal Kim Jong Un, kami punya sedikit harapan, tetapi harapan itu tidak bertahan lama," kata seorang perempuan muda yang melarikan diri dari Korut pada 2018 di usia 17 tahun.

"Pemerintah secara bertahap menghalangi orang-orang untuk mencari nafkah secara mandiri, dan menjalani hidup menjadi siksaan setiap hari," ia bersaksi kepada para peneliti.

'Rezim Korut menutup mata dan telinga rakyat'

Laporan PBB menyatakan bahwa "selama 10 tahun terakhir, pemerintah menjalankan kendali hampir total atas rakyat, membuat mereka tidak mampu membuat keputusan sendiri"baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik.

Laporan tersebut menambahkan bahwa kemajuan teknologi pengawasan telah membantu mewujudkan hal ini.

Seorang warga Korut yang melarikan dari negara tersebut mengatakan kepada para peneliti bahwa tindakan keras rezim Pyongyang dimaksudkan "untuk menutup mata dan telinga rakyat".

"Ini adalah bentuk kendali yang bertujuan menghilangkan tanda-tanda ketidakpuasan atau keluhan sekecil apa pun," kata mereka yang berbicara secara anonim.

Baca juga:

Laporan tersebut juga menemukan bahwa pemerintah menggunakan lebih banyak kerja paksa dibandingkan satu dekade lalu.

Orang-orang dari keluarga miskin direkrut ke dalam "brigade kejut" untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menuntut kerja fisik, seperti proyek konstruksi atau pertambangan.

Para pekerja berharap ini akan meningkatkan status sosial mereka, tetapi pekerjaan tersebut berbahaya, dan kematian merupakan hal yang umum.

Alih-alih meningkatkan keselamatan pekerja, pemerintah justru mengagungkan kematian, melabeli mereka sebagai pengorbanan bagi Kim Jong Un.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah bahkan telah merekrut ribuan anak yatim dan anak jalanan, klaim laporan tersebut.

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Penelitian terbaru ini menindaklanjuti laporan komisi penyelidikan PBB pada 2014, yang untuk pertama kalinya menemukan bahwa pemerintah Korea Utara melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Baca juga:

Beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling parah ditemukan terjadi di kamp-kamp penjara politik yang terkenal kejam di negara itu, tempat orang-orang dapat dikurung seumur hidup dan "dihilangkan".

Laporan 2025 ini menemukan bahwa setidaknya empat dari kamp-kamp ini masih beroperasi, sementara para tahanan di penjara biasa masih disiksa dan dianiaya.

Banyak tahanan yang melarikan diri mengatakan mereka telah menyaksikan kematian para tahanan akibat perlakuan buruk, kerja berlebihan, dan malnutrisi, meskipun PBB mendengar adanya "beberapa perbaikan terbatas" di fasilitas-fasilitas tersebut, termasuk "sedikit penurunan kekerasan oleh para penjaga".

Dilindungi China dan Rusia

PBB menyerukan agar situasi ini diserahkan kepada Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag.

Namun, agar hal ini bisa terwujud, Dewan Keamanan PBB perlu mendukungnya.

Sejak 2019, dua anggota tetap DK PBB, China dan Rusia, telah berulang kali memblokir upaya untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Korea Utara.

(L-R) Russian President Vladimir Putin, Chinese leader Xi Jinping and North Korean leader Kim Jong Un standing in a line as they clap during a a military parade in Beijing on September 3, 2025. They are standing above the Gate of Heavenly Peace in Tiananmen Square. Behind them are tall, red ornate doors and a podium with mics. In front of them is the railing for the balcony they are on - it's gold-coloured with orange bricks. KCNA via ReutersDari kiri ke kanan: Vladimir Putin, Xi Jinping, dan Kim Jong Un di Beijing.

Pekan lalu, Kim Jong Un bergabung dengan pemimpin China, Xi Jinping, dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam sebuah parade militer di Beijing. Peristiwa ini menandakan penerimaan kedua negara tersebut terhadap program senjata nuklir Korea Utara dan perlakuan terhadap warga Korut.

Selain mendesak masyarakat internasional untuk bertindak, PBB meminta pemerintah Korea Utara untuk menghapuskan kamp-kamp penjara politiknya, mengakhiri penggunaan hukuman mati, dan mendidik warganya tentang hak asasi manusia.

"Laporan kami menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda (Korea Utara)," kata kepala hak asasi manusia PBB, Trk.

Simak juga Video: Kim Jong Un Beri Penghargaan ke Tentara yang Bantu Rusia Lawan Ukraina

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads