Penuturan Pekerja IT Asal Korut Dikirim ke Luar Negeri untuk Danai Rezim

Penuturan Pekerja IT Asal Korut Dikirim ke Luar Negeri untuk Danai Rezim

BBC Indonesia - detikNews
Kamis, 21 Agu 2025 10:15 WIB
Korea Utara telah mengirim pekerjanya ke luar negeri selama beberapa dekade untuk mendapatkan devisa negara (Getty Images)
Pyongyang -

Selama bertahun-tahun Jin-su menggunakan ratusan identitas palsu untuk melamar pekerjaan di bidang Teknologi Informasi (Information Technology/IT) secara remote atau jarak jauh di perusahaan-perusahaan negara Barat.

Hal ini rupanya bagian dari rencana penyamaran besar-besaran demi menghimpun dana untuk Korea Utara.

Menjalankan beberapa pekerjaan di AS dan Eropa akan menghasilkan setidaknya US$50.000 atau setara Rp80 juta per bulan, kata Jin-su kepada BBC dalam sebuah wawancara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa rekannya, sambung Jin-su, bahkan bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar.

Sebelum membelot, Jin-su yang namanya telah diganti untuk melindungi identitasnya adalah salah satu dari ribuan orang yang diyakini dikirim ke China, Rusia, atau negara-negara di Afrika dan tempat lainnya, untuk ikut serta dalam operasi rahasia tertutup yang dijalankan oleh Korea Utara.

ADVERTISEMENT

Para pekerja IT asal Korea Utara diawasi secara ketat dan hanya sedikit yang berbicara kepada media, tapi Jin-su telah memberikan kesaksian kepada BBC.

Kesaksian itu memberikan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan sehari-hari para pekerja asal Korut dan bagaimana mereka beroperasi.

Penuturan Jin-su mengonfirmasi sebagian besar dugaan dalam laporan PBB dan keamanan siber.

Ia berkata 85% dari penghasilannya dikirim kembali untuk mendanai rezim Korea Utara. Sebab, negara itu mengalami kekurangan uang setelah dijatuhi sanksi internasional selama bertahun-tahun.

"Kami tahu ini seperti perampokan, tetapi kami menerimanya sebagai takdir," tutur Jin-su. "Masih jauh lebih baik daripada ketika kami berada di Korea Utara," sambungnya.

Siluet peretas Korea Utara dengan Bendera Korea Utara

Siluet peretas Korea Utara dengan Bendera Korea Utara (Getty Images via Bill Hinton)

Pekerja IT tersebut menghasilkan US$250 juta hingga US$ 600 juta per tahun untuk Korea Utara, menurut laporan Dewan Keamanan PBB yang diterbitkan pada Maret 2024.

Aksi penipuan ini berkembang pesat selama pandemi, ketika kerja jarak jauh menjadi hal yang lumrah. Pihak berwenang maupun pakar pertahanan siber memperingatkan aktivitas mereka terus meningkat sejak saat itu.

Sebagian besar pekerja menginginkan agar gaji tetap mereka dikirim kembali ke rezim Korea Utara, namun dalam beberapa kasus mereka mencuri data atau meretas perusahaan serta meminta tebusan.

Tahun lalu, pengadilan AS mendakwa 14 warga Korea Utara yang diduga memperoleh US$ 88 juta dengan bekerja secara menyamar dan memeras perusahaan-perusahaan AS selama periode enam tahun.

Empat warga Korea Utara lainnya didakwa bulan lalu karena diduga menggunakan identitas palsu untuk menjalankan pekerjaan IT jarak jauh di sebuah perusahaan mata uang kripto di AS.

Bagaimana mereka mendapatkan pekerjaan itu?

Jin-su adalah seorang pekerja IT untuk rezim Korea Utara di China selama beberapa tahun sebelum akhirnya membelot.

Ia dan rekan-rekannya kebanyakan bekerja dalam tim yang terdiri dari 10 orang, katanya kepada BBC.

Akses internet terbatas di Korea Utara, tapi di luar negeri para pekerja IT ini bisa beroperasi dengan lebih mudah.

Mereka perlu menyamarkan kewarganegaraan, tidak hanya supaya bisa mendapatkan bayaran lebih tinggi, tetapi juga karena sanksi internasional yang meluas terhadap Korea Utara terkait program senjata nuklir dan rudal balistiknya.

BBC berbicara dengan Jin-su melalui panggilan video dari London. Demi keselamatannya, kami melindungi identitasnya.

BBC berbicara dengan Jin-su melalui panggilan video dari London. Demi keselamatannya, kami melindungi identitasnya (BBC)

Skema ini terpisah dari operasi peretasan Korea Utara yang juga dilakukan untuk menggalang dana untuk rezim tersebut.

Pada awal tahun ini, Lazarus Group sebuah kelompok peretas terkenal yang diyakini bekerja untuk Korea Utara, meskipun mereka tidak pernah mengakuinya diduga telah mencuri US$1,5 miliar dari perusahaan mata uang kripto Bybit.

Jin-su menghabiskan sebagian besar waktunya mencoba mendapatkan identitas palsu yang bisa digunakannya untuk melamar pekerjaan.

Pertama-tama, dia berpura-pura menjadi orang China, lalu menghubungi orang-orang di Hongaria, Turki, dan negara-negara lain untuk meminta menggunakan identitas mereka dengan imbalan persentase dari penghasilannya, ungkap Jin-su kepada BBC.

"Jika Anda mencantumkan 'wajah Asia' di profil, Anda tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan."

Baca juga:

Ia kemudian memakai identitas palsu tersebut untuk mendekati orang-orang di Eropa Barat demi mendapatkan identitas baru, yang selanjutnya dipakai buat melamar pekerjaan di AS dan Eropa.

Jin-su, mengklaim, selalu berhasil menyasar warga negara UK.

"Dengan sedikit komunikasi, orang-orang di UK bisa dengan mudah menyebarkan identitas mereka," imbuhnya.

Pekerja IT dengan kemampuan bahasa Inggris yang lebih baik sering kali ditugaskan untuk mengelola proses aplikasi.

Tapi, pekerjaan di situs freelancer atau pekerja lepas, tidak selalu memerlukan wawancara tatap muka dan seringkali interaksi sehari-hari berlangsung di platform seperti Slack, sehingga lebih mudah untuk berpura-pura menjadi orang lain.

Jin-su berkata kepada BBC, dia selalu menargetkan pasar AS, "karena gaji di perusahaan-perusahaan Amerika lebih tinggi".

Peretas dengan hoody merah tua di depan bendera Korea digital dan latar belakang aliran biner konsep keamanan siber

Peretas dengan hoody merah tua di depan bendera Korea digital dan latar belakang aliran biner konsep keamanan siber (Getty Images via BeeBright)

Ia mengklaim begitu banyak pekerja IT yang mendapatkan pekerjaan, dan seringkali perusahaan tersebut tanpa sengaja mempekerjakan lebih dari satu orang Korea Utara.

"Itu sering terjadi," akunya.

Pekerja IT biasanya menerima penghasilan mereka melalui jaringan fasilitator yang berbasis di Barat dan China.

Pekan lalu, seorang perempuan AS dijatuhi hukuman lebih dari delapan tahun penjara atas kejahatan yang terkait dengan membantu pekerja IT Korea Utara mendapatkan pekerjaan dan mengirimkan uang kepada mereka.

BBC tidak bisa secara independen memverifikasi kesaksian Jin-su, namun melalui PSCORE, sebuah organisasi yang mengadvokasi hak asasi manusia untuk Korea Utara, kami telah membaca kesaksian dari pekerja IT lain yang membelot dan mendukung klaim Jin-su.

BBC juga berbicara dengan pembelot lain, Hyun-Seung Lee, yang bertemu dengan warga Korea Utara lainnya dan bekerja di bidang IT saat dia bepergian sebagai pengusaha untuk rezim Korea Utara di China.

Dia mengonfirmasi bahwa mereka memiliki pengalaman serupa.

Penyamaran yang terbongkar

BBC berbincang dengan beberapa manajer perekrutan di sektor keamanan siber dan pengembangan perangkat lunak.

Mereka berkata, menemukan puluhan kandidat yang dicurigai sebagai pekerja IT asal Korea Utara selama proses perekrutan.

Rob Henley, salah satu pendiri Ally Security di AS, baru-baru ini membuka lowongan untuk serangkaian posisi untuk bekerja jarak jauh di perusahaannya.

Dia yakin telah mewawancarai hingga 30 pekerja IT Korea Utara dalam proses tersebut.

"Awalnya seperti sebuah permainan, mencoba mencari tahu siapa yang asli dan siapa yang palsu, tetapi lama-lama menjadi sangat menjengkelkan," katanya.

Akhirnya, dia meminta kandidat tersebut melakukan panggilan video untuk menunjukkan suasana hari di tempat mereka berada.

"Kami hanya merekrut kandidat dari AS untuk posisi-posisi ini. Seharusnya cuaca di Amerika cukup terang. Tapi saya tidak pernah melihat cahaya matahari."

Pada Maret lalu, Dawid Moczadlo, salah satu pendiri Vidoc Security Lab yang berbasis di Polandia, membagikan video wawancara kerja jarak jauh yang dilakukannya.

Dalam video tersebut, kandidat yang diwawancarai tampak menggunakan perangkat lunak kecerdasan buatan untuk menyamarkan wajahnya.

Ia bilang, setelah berkonsultasi dengan para ahli, dia yakin kandidat tersebut kemungkinan adalah seorang pekerja IT asal Korea Utara.

BBC telah menghubungi Kedutaan Besar Korea Utara di London untuk menanyakan soal tuduhan itu. Namun, mereka tidak menanggapi.

Pelarian

Korea Utara telah mengirim pekerjanya ke luar negeri selama beberapa dekade untuk mendapatkan devisa negara.

Lebih dari 10.000 orang dipekerjakan di luar negeri sebagai pekerja pabrik atau restoran, sebagian besar di China dan Rusia.

Setelah beberapa tahun tinggal di China, Jin-su mengatakan "merasa terkekang" atas kondisi kerjanya yang semakin terasa menindas.

"Kami tidak diizinkan keluar dan harus tinggal di dalam rumah sepanjang waktu," imbuhnya.

"Anda tidak bisa berolahraga, Anda tidak bisa melakukan apapun yang Anda inginkan."

Agen intelijen rahasia memberi hormat dengan gestur tangan ke arah bendera Korea Utara di ruang perang, menunjukkan rasa hormat.

Agen intelijen rahasia memberi hormat dengan gestur tangan ke arah bendera Korea Utara di ruang perang, menunjukkan rasa hormat (Getty Images via Dragos Condrea)

Namun, pekerja IT Korea Utara memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengakses media Barat ketika berada di luar negeri, kata Jin-su.

"Anda seperti melihat dunia nyata. Ketika kami berada di luar negeri, kami menyadari ada sesuatu yang salah di Korea Utara."

Kendati begitu, Jin-su mengklaim hanya sedikit pekerja IT Korea Utara yang berpikir untuk melarikan diri seperti dirinya.

"Mereka hanya mengambil uang dan pulang, sangat sedikit yang berpikir untuk membelot."

Meskipun mereka hanya menyimpan sebagian kecil dari penghasilannya, uang itu sangat berharga di Korea Utara.

Baca juga:

Membelot juga sangat berisiko dan sulit. Pengawasan di China berarti sebagian besar dari mereka bakal tertangkap.

Beberapa orang yang berhasil membelot mungkin tidak akan pernah bertemu keluarga mereka lagi, dan kerabat mereka bisa menghadapi hukuman karena meninggalkan Korea Utara.

Jin-su berkata masih bekerja di bidang IT setelah dia membelot.

Ia mengatakan, keterampilan yang dia asah saat bekerja untuk rezim telah membantunya beradaptasi dengan kehidupan barunya.

Karena dia tidak bekerja di banyak pekerjaan dengan identitas palsu, penghasilannya jadi lebih sedikit daripada saat bekerja untuk rezim Korea Utara.

Namun, ia bisa menyimpan lebih banyak pendapatannya. Yang artinya, dia memiliki lebih banyak uang di dompetnya.

"Saya terbiasa menghasilkan uang dengan melakukan hal-hal ilegal. Tapi sekarang saya bekerja keras dan mendapatkan uang yang pantas saya dapatkan," ujar Jin-su.

Tonton juga Video: Kim Jong Un Resmikan Wisata Pantai Megah di Korut, Tertarik Mampir?

(nvc/nvc)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads