"Ibu saya ingin saya menjadi dokter. Putri saya membantu saya mewujudkan impian itu," kata Amuthavalli Manivannan.
Amuthavalli berasal dari sebuah kota kecil di Negara Bagian Tamil Nadu, India selatan. Sepanjang hidupnya dia telah berjuang melawan segala rintangan.
Dia berasal dari kasta Dalit yang tergolong rendah dalam strata sosial masyarakat di India. Saat bayi, dia mengidap polio. Ayahnya meninggal dunia ketika ia berusia 11 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semasa kecil, Amuthavalli bercita-cita menjadi dokter. Namun, ia gagal mendapatkan nilai yang cukup dalam ujian akhir sekolah sehingga ia memilih jurusan fisioterapi.
Tahun lalu, ia mulai membantu anak satu-satunya, Samyuktha, dalam persiapan ujian masuk kuliah kedokteran. Tapi kemudian, dia memutuskan untuk mencobanya sendiri.
Ambisinya di masa lalu memotivasinya untuk bekerja keras dan kegigihannya membuahkan hasil.
Amuthavalli lulus ujian bersama putrinya. Keduanya kini bersiap memulai kuliah.
"Saya mempersiapkan diri dengan keras selama enam bulan terakhir. Saya terkejut bisa diterima di jurusan kedokteran universitas negeri," ujar ibu berusia 49 tahun itu.
Persaingan sengit
Samyuktha memanfaatkan waktu selama setahun untuk bersiap mengikuti tes masuk kedokteran (Samyuktha)
Persaingan untuk masuk ke jurusan kedokteran di India sangat ketat.
Sekitar 2,4 juta mahasiswa di seluruh negeri bersaing memperebutkan sekitar 120.000 tempat di jurusan kedokteran.
Hanya sekitar setengah dari posisi ini berada di universitas negeri, yang memungut biaya minimal kepada mahasiswa.
Samyuktha, seperti banyak mahasiswa lainnya, menghabiskan satu tahun untuk mempersiapkan ujian nasional setelah lulus sekolah.
"Dia sering meminta saya untuk memeriksa jawabannya. Tiba-tiba, saya terpikir untuk mencoba juga," kata Amuthavalli kepada BBC News Tamil.
Persiapan ujian
Amuthavalli (kanan) kesulitan menjawab soal-soal fisika, tapi lancar menjawab soal-soal biologi (BBC)
Amuthavalli tamat sekolah lebih dari tiga dekade lalu. Karena dia lulusan fisioterapi, silabusnya pun sangat berbeda.
"Saya merasa fisika sangat menantang. Ada banyak persamaan dan rumus. Saya tidak bisa mengerti banyak."
"Saya berhasil dengan baik di pelajaran biologi," katanya, dengan rasa lega.
"Para kandidat yang mengikuti ujian masuk kedokteran harus menjawab pertanyaan pilihan ganda, tetapi nilai mereka akan dikurangi jika memberikan jawaban yang salah.
"Untuk setiap pertanyaan, ada empat jawaban yang terlihat hampir sama. Putri saya menunjukkan cara memilih jawaban yang tepat."
Baca juga:
Putri Amuthavalli mengenang ketika dia memberi saran kepada ibunya untuk cepat menjawab semua pertanyaan, namun tidak mengambil risiko kehilangan poin karena menebak-nebak.
"Biasanya, begitu saya pulang dari kelas, Ibu akan meminta saya untuk menanyakan lima pertanyaan. Biasanya, beliau akan menjawab tiga jawaban yang salah. Ini membuat saya marah," kata Samyuktha yang berusia 18 tahun.
"Ibu saya menyukai biologi, tetapi sangat kesulitan dalam fisika dan kimia. "Kalau dia belajar lebih giat lagi, dia bisa dapat nilai lebih," ujar Samyuktha.
Samyuktha mengaku mengajar ibunya justru membantu dirinya belajar lebih baik.
Patah hati pada 1994
Persaingan masuk jurusan kedokteran di India sangat sengit (Getty Images)
Profesi dokter sangat dihormati di India.
Karena itu, Amuthavalli dan Samyuktha menerima banyak ucapan selamat dari teman dan kerabat.
Saat berbicara dengan BBC, Amuthavalli merenungkan perjuangan panjangnya.
"Saya menyelesaikan sekolah pada tahun 1994 dan ingin menjadi dokter," tuturnya.
Ia menggambarkan dengan gamblang kekecewaan dan keterkejutannya setelah gagal masuk jurusan kedokteran.
"Saya menjalani proses masuk kuliah kedokteran bersama ibu saya. Nilai saya tidak cukup tinggi untuk diterima di jurusan kedokteran dan saya ditugaskan di fisioterapi," lanjutnya.
"Ibu saya tak sanggup menanggung kekecewaan. Ia merasa hancur dan mulai menangis tersedu-sedu."
"Saya katakan padanya bahwa fisioterapi juga merupakan jenis pekerjaan medis dan saya akan tetap melayani pasien."
Saat itu, keluarga Amuthavalli merasa terlalu berat untuk membayar uang pangkal, bahkan yang nominalnya kecil yang pada tahun 1994 mencapai sekitar US$ 200.
Ibu Amuthavalli bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar dan bekerja keras membesarkan keempat anaknya.
"Sekarang saya telah berhasil, tetapi ibu saya sudah tiada dan tidak dapat melihat kesuksesan saya," kata Amuthavalli dengan penuh haru.
Kampus berbeda
Suami Amuthavalli, Manivannan, mengerjakan pekerjaan rumah tangga ketika istri dan putrinya mempersiapkan diri masuk jurusan kedokteran (Samyuktha)
Suami Amuthavalli, Manivannan, bangga dengan istri dan putrinya.
"Meskipun bekerja di rumah sakit, ia selalu merasa sedikit sedih karena tidak menjadi dokter. Namun, ia mampu mencapai ini berkat dukungan putri kami," kata Manivannan, seorang pengacara.
Amuthavalli telah diterima di kampus negeri di negara bagian asalnya.
Setelah bekerja sepanjang hidupnya di rumah sakit dan berada di sekitar dokter, ia yakin akan merasa betah bahkan saat duduk bersama teman-teman sekelasnya yang jauh lebih muda.
"Semua orang akan seusia putri saya. Saya bisa beradaptasi dengan mereka dengan sangat baik."
Samyuktha belum mendapatkan tempat, tetapi ia tidak tertarik untuk kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan ibunya.
"Saya tidak masalah belajar di kelas yang sama," katanya.
"Tetapi jika saya diterima di perguruan tinggi yang berbeda, saya bisa lebih alami dan bebas."
- Universitas Nalanda yang mengubah dunia, berabad-abad lebih tua dari Universitas Oxford
- Bagaimana rasanya menjadi seorang Muslim di India yang dipimpin Narendra Modi?
- Menyibak sosok Radhe Maa, perempuan yang diyakini 'dewi dalam bentuk manusia' dan dijuluki 'bunda mukjizat'