Kisah Profesor Kimia Terdakwa Pembunuhan Ubah Sidang Jadi 'Ruang Kuliah'

Kisah Profesor Kimia Terdakwa Pembunuhan Ubah Sidang Jadi 'Ruang Kuliah'

BBC Indonesia - detikNews
Sabtu, 16 Agu 2025 18:27 WIB
Mamta Pathak (kanan) dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena terbukti membunuh suaminya, Neeraj (kiri), dengan cara disetrum (BBC)
New Delhi -

"Apakah Anda seorang profesor kimia?" tanya hakim.

"Ya," jawab Mamta Pathak, menggenggam tangannya dengan hormat, memberi salam namaste.

Mengenakan sari putih dan kacamata yang bertengger di hidungnya, pensiunan dosen ini berdiri di hadapan dua hakim di ruang sidang di Negara Bagian Madhya Pradesh, India Tengah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia berbicara seolah-olah sedang menyampaikan kuliah kimia forensik.

"Dalam post-mortem," ujarnya dengan suara gemetar namun tenang, "tidak mungkin membedakan antara luka bakar termal dan bekas luka bakar listrik tanpa analisis kimia yang tepat."

ADVERTISEMENT

Di meja hakim, hakim bernama Vivek Agarwal mengingatkannya. "Dokter yang melakukan post-mortem mengatakan ada tanda-tanda sengatan listrik yang jelas."

Itu adalah momen yang langka, hampir surealis. Seorang perempuan berusia 63 tahun, yang dituduh membunuh suaminya dengan sengatan listrik, menjelaskan kepada pengadilan bagaimana reaksi asam dan jaringan mengungkapkan sifat luka bakar.

Percakapan tersebut, yang terekam dalam video selama persidangan April silam, viral di India dan menggemparkan internet.

Namun di pengadilan, pemaparan yang diberikan seorang ahli tidak cukup untuk membatalkan kasus pidana. Dalam perkara ini, seorang suami dibunuh dan motif pelakunya berakar pada kecurigaan dan perselisihan rumah tangga.

Juli lalu, Pengadilan Tinggi India menolak banding Mamta Pathak. Badan peradilan itu menguatkan hukuman seumur hidup kepada Mamta yang terbukti membunuh suaminya, Neeraj Pathak, seorang pensiunan dokter, April 2021.

Dalam persidangan Pathak mengajukan pembelaan yang berapi-api dan berargumentasi sendiri. Dia menyebut celah dalam autopsi, insulasi rumah, dan bahkan teori elektrokimia.

Namun pengadilan menemukan bukti tidak langsung yang meyakinkan: Mamta membius suaminya dengan pil tidur, kemudian menyetrumnya.

Di pengadilan, Mamta, seorang ibu dua anak, memeriksa berkas kasusnya yang menumpuk. Dia membolak-baliknya dengan penuh semangat.

"Pak, bekas luka bakar listrik tidak dapat dibedakan antara ante-mortem [sebelum kematian] atau post-mortem [setelah kematian]," ujarnya mengutip dari sebuah buku forensik.

"Bagaimana mereka [para dokter] menuliskannya sebagai bekas luka bakar listrik dalam [laporan] post-mortem?" ujarnya.

Secara mikroskopis, luka bakar listrik tampak sama sebelum dan sesudah kematian, sehingga pemeriksaan standar tidak meyakinkan, kata para ahli.

Studi yang lebih teliti terhadap perubahan kulit dapat mengungkapkan apakah luka bakar terjadi sebelum atau sesudah kematian, menurut sebuah makalah.

Rekaman video ruang sidang menampilkan Mamta Pathak yang sedang membela kasusnya di pengadilan tinggi.

Rekaman video ruang sidang menampilkan Mamta Pathak yang sedang membela kasusnya di pengadilan tinggi (BBC)

Perdebatan spontan tentang reaksi kimia pun terjadi antara Mamta dengan hakim yang menyelidiki proses laboratoriumnya.

Mamta berbicara tentang berbagai asam, menjelaskan bahwa perbedaan dapat dibuat menggunakan mikroskop elektron sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di ruang post-mortem.

Mamta mencoba menjelaskan kepada hakim tentang mikroskop elektron dan berbagai asam. Tiga pengacara perempuan di belakangnya tersenyum.

Mamta melanjutkan penjelasannya. Dia mengatakan telah belajar hukum di penjara selama setahun.

Sambil membolak-balik berkas-berkasnya dan mengutip buku-buku kedokteran forensik, ia menunjukkan dugaan celah dalam penyelidikan.

Yang dia sebut antara lain, tempat kejadian perkara yang tidak diperiksa hingga tidak adanya ahli listrik dan forensik yang berkualifikasi di tempat kejadian perkara.

"Rumah kami diasuransikan dari tahun 2017 hingga 2022, dan inspeksi menunjukkan bahwa rumah tersebut terlindungi dari kebakaran listrik," ujarnya.

Mamta memberi tahu pengadilan bahwa suaminya menderita tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.

Mamta juga berkata, penyebab kematian suaminya sebenarnya adalah penyempitan dan "pengapuran arteri koronernya akibat usia tua".

Dia menduga bahwa suaminya mungkin terpeleset dan mengalami hematoma. Namun tidak pernah ada pemindaian yang dilakukan untuk memastikan kondisi itu.

Baca juga:

Neeraj Pathak, 65 tahun, ditemukan tewas di rumah keluarganya pada 29 April 2021. Autopsi menyatakan bahwa sengatan listrik adalah penyebab kematian.

Beberapa hari kemudian, Mamta ditangkap dan didakwa dengan pembunuhan.

Polisi menyita kabel listrik sepanjang 11 meter dengan steker dua pin, serta rekaman CCTV dari rumah pasangan tersebut. Enam tablet pil tidur ditemukan dalam strip berisi 10 tablet.

Laporan post-mortem menyebut syok kardiorespirasi akibat arus listrik di beberapa lokasi sebagai penyebab kematian Neeraj, yang terjadi 36 hingga 72 jam sebelum otopsi yang dilakukan pada 1 Mei.

"Tetapi mereka tidak menemukan sidik jari saya pada strip tablet tersebut," kata Mamta kepada para hakim.

Namun argumennya dengan cepat terbantahkan, membuat Hakim Agarwal dan Devnarayan Sinha tidak yakin.

Selama hampir empat dekade, Mamta dan Neeraj Pathak menjalani kehidupan kelas menengah yang tampak harmonis di Chhatarpur, sebuah distrik di Madhya Pradesh.

Mamta mengajar kimia di perguruan tinggi negeri setempat. Sementara Neeraj merupakan kepala petugas medis di rumah sakit milik pemerintah distrik.

Pasangan ini membesarkan dua putra, satu menetap di luar negeri, dan yang lainnya tinggal serumah dengan ibunya.

Neeraj pensiun secara sukarela pada tahun 2019 setelah 39 tahun menjadi dokter pemerintah dan kemudian membuka klinik swasta di rumah.

Mamta Pathak mengajar kimia di perguruan tinggi negeri selama 36 tahun.

Mamta Pathak mengajar kimia di perguruan tinggi negeri selama 36 tahun (BBC)

Peristiwa kematian Neeraj terjadi pada pandemi Covid-19. Neeraj menunjukkan gejala Covid, dan diketahui tetap tinggal di lantai atas rumahnya.

Mamta dan putranya, Nitish, tinggal di lantai bawah. Dua tangga dari lantai dasar menghubungkan kamar-kamar Neeraj ke galeri terbuka dan ruang tunggu klinik pribadinya. Di situ enam stafnya beraktivitas di antara laboratorium dan toko obat.

Putusan pengadilan setebal 97 halaman menyatakan bahwa Mamta melaporkan bahwa suaminya, Neeraj, tidak sadarkan diri di tempat tidur pada 29 April. Namun Mamta tetapi tidak memberi tahu dokter atau polisi hingga 1 Mei.

Mamta justru membawa putra sulungnya ke Jhansi yang berjarak lebih dari 130 kilometer tanpa alasan yang jelas.

Keterangan itu dikatakan pengemudi mereka, yang kembali pada malam yang sama.

Mamta mengaku tidak tahu bagaimana suaminya meninggal ketika dia melapor ke polisi.

Di balik kematian ini, tersimpan pernikahan yang bermasalah.

Para hakim menyoroti perselisihan rumah tangga yang telah berlangsung lama. Pasangan itu hidup terpisah. Mamta juga mencurigai suaminya berselingkuh.

Pada pagi hari kematiannya, Neeraj menelepon seorang rekannya. Di sambungan telepon, dia menuduh Mamta "menyiksanya", menguncinya di kamar mandi, menahan makanan selama berhari-hari, dan menyebabkan cedera fisik.

Neeraj juga menuduh Mamta mengambil uang tunai, kartu ATM, kunci kendaraan, dan dokumen deposito berjangka bank.

Putra Neeraj meminta bantuan dan menghubungi seorang teman yang kemudian melaporkannya ke polisi. Polisi itu kemudian menyelamatkan Neeraj dari apa yang disebut sebagai "penyekapan".

Pasangan itu pernah hidup terpisah belakangan ini, yang semakin memperkuat keraguan pengadilan.

Mamta mengatakan kepada pengadilan bahwa dia adalah "ibu terbaik". Dia menunjukkan kartu ucapan selamat ulang tahun dari anak-anaknya sebagai bukti.

Mamta juga menunjukkan foto-foto dirinya sedang menyuapi suaminya dan foto-foto bersama keluarga.

Namun, para hakim tetap bergeming. Mereka mencatat bahwa tanda-tanda kasih sayang seperti itu tidak menghapus motif.

Bagaimanapun juga, menurut hakim, seorang "ibu yang penyayang" juga bisa menjadi "istri yang mencurigakan".

Lima puluh menit setelah menyampaikan pembelaannya, ketenangan Mamta goyah untuk pertama kalinya.

"Saya tahu satu hal... saya tidak membunuhnya," kata Mamta. Suaranya melemah.

Di saat lain, dia mengaku, "Saya tidak tahan lagi."

Mencoba meredakan ketegangan, Hakim Agarwal berkomentar, "Anda pasti sudah terbiasa dengan ini... Anda pasti mengajar selama 50 menit di perguruan tinggi."

"40 menit, Pak. Tapi mereka anak-anak kecil," kata Mamta.

"Anak-anak kecil kuliah? Tapi jabatan Anda asisten profesor," desak hakim.

"Tapi mereka anak-anak, Pak," jawabnya.

"Jangan ceritakan kisah seperti itu kepada kami," sela Hakim Agarwal tajam.

Mamta berargumen bukan hanya sebagai terdakwa, tapi sebagai dosen yang mengubah ruang sidang menjadi laboratorium kimia.

Dia berharap membuktikan ketidakbersalahannya melalui sains. Namun pada akhirnya, fakta-fakta yang ada terbukti lebih kuat daripada pelajaran yang dia dapatkan.

(nvc/nvc)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads