Pengangguran Tinggi, Warga China Pura-pura Kerja daripada di Rumah Saja

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 11 Agu 2025 14:59 WIB
Shui Zhou, warga China, membayar sebuah perusahaan agar bisa berpura-pura bekerja di kantor setiap hari. (BBC)
Jakarta -

Tidak ada yang mau bekerja tanpa digaji atau lebih buruk lagi, tak ada orang yang bersedia membayar agar bisa bekerja di kantor. Namun anggapan tadi tidak berlaku bagi sekelompok warga China.

Dari hari ke hari, semakin banyak pengangguran di negara itu yang justru mengeluarkan uang agar bisa berpura-pura bekerja.

Tren ini terjadi di tengah ekonomi yang lesu dan lapangan kerja yang semakin sempit di China. Di kalangan kaum muda China, pengangguran tergolong tinggi, yakni lebih dari 14%.

Bagi sebagian warga China yang sulit mendapatkan pekerjaan, opsi membayar sebuah perusahaan agar bisa berkantor lebih masuk akal ketimbang berdiam diri di rumah.

Shui Zhou, warga Kota Dongguan berusia 30 tahun, pernah memiliki usaha makanan, tapi dia gulung tikar pada 2024.

Pada April lalu, dia mulai membayar 30 yuan (sekitar Rp67 ribu) setiap hari agar bisa masuk ke sebuah kantor tiruan, yang dikelola oleh perusahaan bernama Pretend To Work Company (Perusahaan Pura-Pura Bekerja).

Di dalam kantor itu, Zhou bergabung dengan lima "rekan" yang melakukan hal serupa.

"Saya merasa sangat bahagia. Rasanya kami seperti bekerja sama sebagai satu kelompok," kata Zhou.

Persewaan kantor tiruan semacam itu kini bermunculan di kota-kota besar di China, seperti Shenzhen, Shanghai, Nanjing, Wuhan, Chengdu, dan Kunming.

Dari luar, kantor-kantor itu tampak seperti kantor yang memang berfungsi. Di dalamnya terdapat komputer, akses internet, ruang rapat, dan ruang minum teh.

Alih-alih hanya duduk-duduk, para penyewa kantor itu dapat menggunakan komputer untuk mencari pekerjaan. Dengan komputer itu, mereka juga bisa membangun bisnis mereka sendiri.

Biaya sewa ruang kantor itu biasanya berkisar antara 30 hingga 50 yuan (Rp67 hingga Rp110 ribu). Dengan harga sewa itu, mereka menyediakan makan siang, camilan, dan minuman.

Potret sebuah kantor rekaan di Kota Dongguan, China. (BBC)

"Fenomena berpura-pura bekerja sekarang sangat umum," ujar Christian Yao, peneliti isu China di Sekolah Manajemen Universitas Victoria Wellington di Selandia Baru.

"Akibat perubahan ekonomi dan ketidaksesuaian antara pendidikan dan pasar kerja, kaum muda China membutuhkan tempat-tempat seperti ini untuk memikirkan langkah selanjutnya atau untuk melakukan pekerjaan sambilan sebagai masa transisi.

"Perusahaan kantor tiruan ini adalah salah satu solusi," ujarnya.

Zhou menemukan Pretend To Work Company saat menjelajahi situs media sosial Xiaohongshu.

Saat itu dia merasa lingkungan kantor tersebut akan meningkatkan kedisiplinannya. Dia kini telah "bekerja" selama lebih dari tiga bulan di kantor itu.

Zhou mengirimkan foto-foto kantor tersebut kepada orang tuanya. Dia berkata, ayah dan ibunya merasa jauh lebih tenang.

Meskipun para penyewa ruang kantor itu bisa datang dan pergi kapan pun mereka mau, Zhou biasanya tiba antara pukul 8 pagi dan 9 pagi.

Terkadang dia baru pulang pukul 11 malam atau setelah manajer perusahaan itu pulang.

Zhou berkata telah menjalin hubungan pertemanan dengan para penyewa ruang kantor itu. Ketika seseorang sibuk, seperti mencari pekerjaan, mereka bekerja keras.

Namun saat memiliki waktu luang, Zhou bilang mereka saling berbincang, bercanda, dan bermain gim.

Sepulang dari ruang kantor itu, mereka juga kerap menyantap makan malam bersama.

Zhou menyukai aktivitas yang dia sebut "membangun kebersamaan tim" tersebut. Dia merasa jauh lebih bahagia.

NurPhoto via Getty ImagesSebuah ajang pencarian pekerjaan di Provinsi Jiangsu, China, Juni 2025.

Di Shanghai, warga bernama Xiaowen Tang menyewa sebuah kantor rekaan selama sebulan awal tahun ini. Kala itu perempuan berusia 23 tahun ini baru saja lulus kuliah dan belum menemukan pekerjaan penuh waktu.

Universitasnya memiliki aturan tidak tertulis bahwa mahasiswa harus menandatangani kontrak kerja atau memberikan bukti magang dalam waktu satu tahun setelah kelulusan. Jika gagal memenuhi syarat itu, mahasiswa tidak akan menerima ijazah.

Xiaowen mengirimkan foto kantor rekaan itu ke universitas sebagai bukti magang. Pada kenyataannya, dia membayar biaya sewa harian. Di sana dia menulis novel daring untuk mendapatkan uang.

"Kalau mau berpura-pura, berpura-puralah secara sungguh-sungguh," kata Xiaowen.

Tren berpura-pura bekerja di China berasal dari rasa frustrasi dan ketidakberdayaan akibat kurangnya lapangan kerja. Pendapat itu dikatakan Biao Xiang, Direktur Institut Max Planck untuk Antropologi Sosial yang berbasis di Jerman.

"Berpura-pura bekerja adalah solusi yang ditemukan kaum muda untuk diri mereka sendiri. Itu menciptakan sedikit jarak dari masyarakat umum dan memberi mereka sedikit ruang," ujarnya.

BBCFeiyu, pemilik Pretend To Work Company mengatakan dia menjual "martabat" kepada para pelanggannya.

Pemilik Pretend To Work Company di Kota Dongguan adalah Feiyu (nama samaran). Dia berusia 30 tahun.

"Yang saya jual bukanlah meja kerja, melainkan martabat agar tidak dianggap sebagai orang yang tidak berguna," ujarnya.

Feiyu mengaku pernah menganggur setelah bisnis ritelnya gulung tikar pada pandemi Covid.

"Saya sangat depresi dan agak merusak diri sendiri. Anda ingin membalikkan keadaan, tapi Anda tidak berdaya," ujarnya.

Pada April lalu Feiyu mulai mengiklankan Pretend To Work Company. Dalam sebulan, semua meja kerja di ruang kantor rekaannya penuh.

Feiyu berkata, 40% pelanggannya adalah lulusan universitas. Mereka datang untuk berfoto dan mendapatkan bukti pengalaman magang sebagai syarat menerima ijazah.

Sebagian kecil pelanggannya datang untuk mengatasi tekanan dari orang tua.

Sementara itu, mayoritas pelanggannya adalah pekerja lepas. Banyak di antara mereka adalah nomaden digital, seperti yang bekerja untuk perusahaan e-commerce besar dan penulis dunia maya.

Usia rata-rata mereka sekitar 30 tahun, dengan yang termuda berusia 25 tahun.

NurPhoto via Getty ImagesPotret para pencari kerja di Provinsi Jiangsu, China, Juni 2025.

Secara resmi, para pekerja ini disebut sebagai "profesional dengan pekerjaan fleksibel". Di antara orang-orang dalam kategori ini adalah pengemudi taksi daring dan truk.

Dalam jangka panjang, Feiyu ragu apakah bisnis ruang kantor rekaan seperti ini akan tetap menguntungkan. Dia lebih suka melihatnya sebagai eksperimen sosial.

"Bisnis ini menggunakan kebohongan untuk mempertahankan reputasi seseorang, tapi memungkinkan beberapa orang menemukan kebenaran," katanya.

"Jika kami hanya membantu pengguna meningkatkan kemampuan akting mereka, kami terlibat dalam penipuan yang halus."

"Hanya dengan membantu mereka mengubah tempat kerja palsu mereka menjadi titik awal yang nyata, eksperimen sosial ini dapat benar-benar memenuhi janjinya."

Kota Dongguan, Zhou menghabiskan sebagian besar waktunya untuk meningkatkan keterampilan menggunakan kecerdasan buatan AI.

Zhou berkata, beberapa perusahaan mewajibkan calon pegawai mahir menggunakan perangkat AI.

Dengan membangun keterampilan itu di sebuah kantor rekaan, Zhou yakin dirinya akan semakin mudah menemukan pekerjaan penuh waktu.

Simak juga Video: Angka Pengangguran RI Peringkat Kedua Terbesar di Asia




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork