Kesaksian Pilu Penyintas Bom Hiroshima: Tubuh Cacat-Malu-Dilupakan

Kesaksian Pilu Penyintas Bom Hiroshima: Tubuh Cacat-Malu-Dilupakan

BBC Indonesia - detikNews
Rabu, 06 Agu 2025 15:09 WIB
Lee Jung-soon (88 tahun) adalah salah satu penyintas bom Hiroshima yang kini tinggal di Hapcheon, Korea Selatan. (BBC/Hyojung Kim)
Jakarta -

Pada 6 Agustus 1945, pukul 08.15, sebuah bom atom jatuh di langit Hiroshima, Jepang. Saat itu, Lee Jung-soon sedang dalam perjalanan menuju sekolah dasar.

Nenek berusia 88 tahun itu melambaikan tangannya seolah-olah berusaha mengusir kenangan pahit tersebut.

"Ayah saya sudah mau berangkat kerja, tapi tiba-tiba dia lari kembali dan menyuruh kami segera mengungsi," kenangnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Katanya, jalanan penuh dengan mayat, tapi saya sangat terkejut sampai yang saya ingat hanyalah menangis. Saya terus menangis."

Ledakan setara dengan 15.000 ton TNT melanda kota berpenduduk 420.000 orang itu.

ADVERTISEMENT

Lee mengatakan tubuh para korban "meleleh hingga hanya mata mereka yang terlihat."

Pascaledakan, banyak mayat tidak dapat dikenali karena kondisinya yang sudah rusak.

"Bom atom... itu adalah senjata yang sangat mengerikan," ujar Lee.

Sudah 80 tahun sejak Amerika Serikat meledakkan 'Little Boy', bom atom pertama di dunia, di pusat kota Hiroshima.

Ledakan itu menewaskan sekitar 70.000 orang dalam seketika, sementara puluhan ribu lainnya meninggal dalam beberapa bulan berikutnya akibat radiasi, luka bakar, dan dehidrasi.

Dampak buruk dari pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang mengakhiri Perang Dunia II dan kekuasaan Jepang di sebagian besar wilayah Asia telah didokumentasikan selama delapan dekade terakhir.

Namun, satu fakta yang kurang diketahui adalah bahwa sekitar 20% dari korban langsung pengeboman tersebut adalah orang Korea.

Saat bom dijatuhkan, Korea sudah menjadi koloni Jepang selama 35 tahun.

Diperkirakan 140.000 orang Korea tinggal di Hiroshima kala itu. Banyak dari mereka berada di sana karena mobilisasi kerja paksa atau untuk bertahan hidup di bawah eksploitasi kolonial.

Mereka yang selamat dari bom atom dan keturunannya terus hidup dalam bayang-bayang peristiwa mengerikan itu.

Mereka harus berjuang menghadapi cacat fisik, rasa sakit, dan perjuangan panjang selama puluhan tahun untuk mendapatkan keadilan yang belum terselesaikan.

Hapcheon, korea, hiroshima, nagasaki, perang dunia II

Hapcheon dijuluki "Hiroshima-nya Korea" karena banyaknya penyintas bom nuklir yang tinggal di sana setelah perang. (Getty Images)

"Tidak ada yang mau bertanggung jawab," kata Shim Jin-tae, penyintas berusia 83 tahun.

"Baik negara yang menjatuhkan bom, maupun negara yang gagal melindungi kami. Amerika tidak pernah meminta maaf. Jepang pura-pura tidak tahu. Korea pun sama saja. Mereka hanya saling menyalahkan, dan kami dibiarkan sendirian."

Shim kini tinggal di Hapcheon, Korea Selatan, sebuah daerah kecil yang dijuluki "Hiroshima-nya Korea" karena telah menjadi rumah bagi puluhan penyintas bom Hiroshima, termasuk dia dan Lee.

Bagi Lee, keterkejutan pada hari itu tidak memudar. Ledakan itu terukir di tubuhnya sebagai penyakit.

Ia kini hidup dengan kanker kulit, penyakit Parkinson, dan angina (kondisi akibat aliran darah yang buruk ke jantung yang biasanya menimbulkan nyeri dada).

Namun, yang lebih berat adalah rasa sakit itu tidak berhenti padanya. Putranya, Ho-chang, yang merawatnya, didiagnosis menderita gagal ginjal dan sedang menjalani cuci darah sambil menunggu transplantasi.

"Saya yakin ini karena paparan radiasi, tapi siapa yang bisa membuktikannya?" kata Ho-chang Lee.

"Sulit untuk memverifikasinya secara ilmiah. Anda memerlukan tes genetik yang melelahkan dan mahal."

Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea mengatakan kepada BBC, mereka telah mengumpulkan data genetik antara tahun 2020 hingga 2024 dan akan melanjutkan penelitian itu hingga 2029.

Kementerian akan "mempertimbangkan untuk memperluas definisi korban" ke penyintas generasi kedua dan ketiga hanya "jika hasilnya signifikan secara statistik."

Korban tewas dari Korea

Dari 140.000 orang Korea yang ada di Hiroshima saat pengeboman, banyak di antaranya berasal dari Hapcheon.

Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dengan sedikit lahan pertanian sehingga sulit untuk bertahan hidup.

Tanaman disita oleh penjajah Jepang, kekeringan melanda, dan ribuan orang meninggalkan daerah pedesaan itu menuju Jepang selama perang.

Sebagian dari mereka direkrut secara paksa, sementara yang lain tergiur janji bahwa "Anda bisa makan tiga kali sehari dan menyekolahkan anak-anak Anda."

Namun, di Jepang, orang Korea dianggap warga kelas dua. Mereka sering kali diberi pekerjaan yang paling berat, kotor, dan berbahaya.

Shim mengatakan ayahnya bekerja sebagai buruh paksa di pabrik amunisi, sementara ibunya memalu paku pada peti amunisi kayu.

Setelah bom atom dijatuhkan, pembagian kerja ini menjadi pekerjaan yang berbahaya dan sering kali berakibat fatal bagi warga Korea di Hiroshima.

"Pekerja Korea harus membersihkan mayat-mayat itu," kata Shim, direktur cabang Asosiasi Korban Bom Atom Korea di Hapcheon, kepada BBC Korean.

"Awalnya mereka menggunakan tandu, tapi jumlah mayat terlalu banyak. Akhirnya, mereka menggunakan pengki untuk mengumpulkan mayat dan membakarnya di halaman sekolah."

"Sebagian besar pekerjaan ini dilakukan oleh orang Korea. Sebagian besar pembersihan pasca-perang dan pekerjaan amunisi dilakukan oleh kami."

Menurut penelitian dari Gyeonggi Welfare Foundation, beberapa penyintas bom atom dipaksa untuk membersihkan puing-puing dan mengevakuasi jenazah.

Saat itu, pengungsi Jepang melarikan diri ke tempat sanak saudara mereka, sementara warga Korea yang tidak memiliki ikatan keluarga di sana tetap berada di kota.

Akibatnya, mereka terpapar radioaktif dan memiliki akses terbatas ke layanan medis.

Kondisi tersebut, perlakuan buruk, pekerjaan berbahaya, dan diskriminasi struktural berkontribusi pada tingginya angka kematian di kalangan warga Korea.

Menurut Asosiasi Korban Bom Atom Korea, tingkat kematian di kalangan warga Korea mencapai 57,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian keseluruhan yang mencapai sekitar 33,7%.

Sekitar 70.000 warga Korea terpapar bom tersebut. Pada akhir tahun, sekitar 40.000 di antaranya telah meninggal dunia.

Diabaikan di kampung halaman

Setelah pengeboman yang mengakhiri Perang Dunia II dan membebaskan Korea dari penjajahan Jepang, sekitar 23.000 penyintas Korea kembali ke kampung halaman. Namun, kepulangan mereka tidak disambut baik.

Mereka dicap sebagai orang yang cacat atau terkutuk, dan menghadapi prasangka buruk di negara sendiri.

"Hapcheon sudah memiliki koloni penderita kusta," jelas Shim.

"Karena citra itu, orang-orang mengira para penyintas bom juga memiliki penyakit kulit."

Shim menambahkan, stigma tersebut membuat para penyintas bungkam tentang penderitaan mereka.

Ia menyiratkan, "bertahan hidup lebih penting daripada harga diri."

Lee mengatakan dia menyaksikan penderitaan itu "dengan mata kepalanya sendiri".

"Orang-orang yang luka bakar parah atau sangat miskin diperlakukan dengan sangat buruk," kenangnya.

"Di desa kami, beberapa orang memiliki punggung dan wajah yang sangat terluka hingga hanya mata mereka yang terlihat. Mereka ditolak untuk menikah dan dijauhi."

Stigma ini membawa kemiskinan dan kesulitan hidup. Setelahnya, muncul penyakit tanpa penyebab yang jelas: penyakit kulit, kondisi jantung, gagal ginjal, kanker.

Gejalanya ada di mana-mana, tetapi tidak ada yang bisa menjelaskannya.

Seiring waktu, fokus bergeser ke generasi kedua dan ketiga.

Han Jeong-sun, generasi kedua penyintas bom Hiroshima, menderita nekrosis avaskular di pinggulnya, sehingga tidak bisa berjalan tanpa menyeret dirinya. Putra pertamanya lahir dengan cerebral palsy.

"Anak saya tidak pernah berjalan selangkah pun seumur hidupnya," katanya.

"Dan mertua saya memperlakukan saya dengan sangat buruk. Mereka berkata, 'Kamu melahirkan anak cacat dan kamu juga cacat, apakah kamu di sini untuk menghancurkan keluarga kami?'"

"Masa itu benar-benar seperti di neraka."

Selama beberapa dekade, bahkan pemerintah Korea tidak memperhatikan para korban bom Hirashima di negara mereka. Penyebabnya adalah perang dengan Korea Utara dan masalah ekonomi dianggap sebagai prioritas yang lebih utama.

Baru pada tahun 2019lebih dari 70 tahun setelah pengeboman, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea merilis laporan pencarian fakta pertamanya. Survei itu sebagian besar didasarkan pada kuesioner.

Menanggapi pertanyaan BBC, kementerian menjelaskan bahwa sebelum tahun 2019, "Tidak ada dasar hukum untuk pendanaan atau investigasi resmi."

Namun, dua penelitian terpisah menemukan bahwa korban generasi kedua lebih rentan terhadap penyakit.

Salah satunya, penelitian pada 2005 yang menunjukkan bahwa korban generasi kedua jauh lebih mungkin menderita depresi, penyakit jantung, dan anemia daripada populasi umum.

Sementara penelitian lain dari tahun 2013 menemukan bahwa tingkat disabilitas mereka hampir dua kali lipat rata-rata nasional.

Dalam situasi ini, Han tidak percaya bahwa pihak berwenang terus meminta bukti untuk mengakui dia dan putranya sebagai korban Hiroshima.

"Penyakit saya adalah buktinya. Cacat anak saya adalah buktinya. Rasa sakit ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan itu terlihat," katanya.

"Tapi mereka tidak mau mengakuinya. Jadi, apa yang harus kami lakukan, mati begitu saja tanpa pernah diakui?"

Perdamaian tanpa permintaan maaf

Baru bulan lalu, pada 12 Juli, para pejabat Hiroshima mengunjungi Hapcheon untuk pertama kalinya dan meletakkan bunga di sebuah monumen peringatan.

Meskipun mantan Perdana Menteri Jepang, Yukio Hatoyama, dan tokoh-tokoh swasta lainnya pernah datang ke kota itu, ini adalah kunjungan resmi pertama oleh pejabat Jepang yang sedang menjabat.

"Sekarang pada 2025, Jepang berbicara tentang perdamaian. Tapi perdamaian tanpa permintaan maaf tidak ada artinya," kata Junko Ichiba, aktivis perdamaian Jepang yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mengadvokasi korban Hiroshima asal Korea.

Dia menunjukkan bahwa para pejabat yang berkunjung tidak menyebutkan atau meminta maaf atas bagaimana Jepang memperlakukan orang Korea sebelum dan selama Perang Dunia Kedua.

Meskipun beberapa mantan pemimpin Jepang telah menyampaikan permintaan maaf dan penyesalan mereka, banyak warga Korea Selatan menganggap sentimen ini tidak tulus atau tidak cukup tanpa pengakuan formal.

Ichiba mencatat bahwa buku-buku pelajaran di Jepang masih menghilangkan sejarah masa lalu kolonial Korea serta korban bom atomnya.

Ia mengatakan bahwa "ketidakjelasan ini hanya memperdalam ketidakadilan."

Ini menambah apa yang banyak orang pandang sebagai kurangnya akuntabilitas yang lebih luas atas warisan kolonial Jepang.

Heo Jeong-gu, direktur divisi dukungan Palang Merah, mengatakan, "Masalah-masalah ini harus ditangani selagi para penyintas masih hidup. Untuk generasi kedua dan ketiga, kita harus mengumpulkan bukti dan kesaksian sebelum terlambat."

Bagi para penyintas seperti Shim, ini bukan hanya soal kompensasi tapi tentang pengakuan.

"Ingatan lebih penting daripada kompensasi," katanya. "Tubuh kami mengingat apa yang kami alami. Jika kami lupa, itu akan terjadi lagi. Dan suatu hari, tidak akan ada orang yang tersisa untuk menceritakan kisah ini."

Saksikan Live DetikSore:

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads