Nasib Pekerja Tekstil Asia Imbas Kebijakan Trump: Beri Profit ke AS, Anak Terancam Kelaparan

Nasib Pekerja Tekstil Asia Imbas Kebijakan Trump: Beri Profit ke AS, Anak Terancam Kelaparan

BBC Indonesia - detikNews
Kamis, 24 Jul 2025 18:11 WIB
Phnom Penh -

Jutaan pekerja industri tekstil di seluruh Asia, yang selama ini sudah hidup pas-pasan, cemas bakal kehilangan pekerjaan mereka. Pasalnya, implementasi tarif ekspor yang diterapkan Amerika Serikat (AS) tinggal menghitung hari.

Tarif ekspor yang harus dibayar berbagai negara jika hendak menjual barang ke AS akan berlaku pada 1 Agustus mendatang.

Dua dari sekian banyak negara yang bakal terdampak adalah episentrum produksi pakaian, yaitu Kamboja dan Sri Lanka. Dua negara ini sangat bergantung pada AS, yang merupakan pasar ekspor barang tekstil mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kamboja dan Sri Lanka masing-masing harus membayar tarif sebesar 36% dan 30%. Dua negara itu memproduksi sebagian besar produk pakaian merek global yang berbasis di AS, seperti Nike, Levi's, dan Lululemon.

"Bisakah Anda bayangkan apa yang akan terjadi jika kami kehilangan pekerjaan? Saya sangat cemas, terutama tentang nasib anak-anak saya," kata Nao Soklin, yang bekerja di sebuah pabrik garmen di Kamboja.

ADVERTISEMENT

"Mereka butuh makan," ujarnya.

Soklin dan suaminya, Kok Taok, mencari nafkah dengan menjahit tas dalam durasi kerja 10 jam sehari.

Kombinasi gaji keduanya mencapai sekitar US$570 per bulan (setara Rp9,2 juta).

Nominal itu hampir tidak cukup untuk membayar sewa tempat tinggal dan menghidupi kedua putra mereka yang masih kecil dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

"Saya ingin bicara kepada [Presiden AS] Donald Trump, untuk memintanya mencabut tarif ekspor Kamboja. Kami membutuhkan pekerjaan untuk menghidupi keluarga kami," ujar Soklin kepada BBC.

Kamboja, dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi sumber produksi alternatif bagi perusahaan ritel asal China karena tenaga kerja bergaji rendah.

Di sisi lain, Kamboja mengekspor pakaian jadi senilai lebih dari US$3 miliar (sekitar Rp48,8 triliun) ke AS tahun 2024, menurut Divisi Statistik ASEAN.

Industri tekstil di Kamboja, yang mempekerjakan lebih dari 900.000 orang, menyumbang lebih dari sepersepuluh dari total ekspor negara tersebut.

Sementara bagi Sri Lanka, ekspor industri tekstil ke AS menghasilkan US$1,9 miliar (Rp30,9 triliun) tahun 2024.

Industri ini menghasilkan devisa terbesar ketiga untuk Kamboja, selain membuka lapangan pekerjaan untuk 350.000 orang.

"Jika 30% adalah angka akhir, Sri Lanka berada dalam masalah karena pesaing kami, seperti Vietnam, mendapat tarif ekspor yang lebih rendah," ujar Yohan Lawrence, sekretaris jenderal asosiasi pakaian jadi di Srilanka, kepada kantor berita Reuters.

Negosiasi Terakhir

Otoritas Sri Lanka berharap dapat menegosiasikan penurunan tarif ekspor lebih lanjut dengan AS. Namun mereka belum batas tarif yang mereka harapkan.

Sejumlah petinggi Sri Lanka menyebut negara mereka menerima penurunan tarif tertinggi, sebesar 14 persen, sebagai hasil dari negosiasi sebelumnya.

"Kami melihat ini sebagai awal dari situasi yang sangat baik," ujar Sekretaris Menteri Keuangan Sri Lanka, Harshana Suriyapperuma.

Kamboja, yang mendapatkan penurunan tarif sebesar 13 persen, juga mengupayakan perundingan lebih lanjut.

"Kami melakukan segala yang kami bisa untuk melindungi kepentingan investor dan pekerja," kata Wakil Perdana Menteri Kamboja, Sun Chanthol.

"Kami ingin tarifnya nol... Namun kami menghormati keputusan AS dan akan terus berupaya menegosiasikan tarif yang lebih rendah," ujarnya.

Sri lanka, kamboja, tekstil, tarif trump

Nike, Levi's dan Lululemon adalah merek-merek besar yang sebagian besar pakaiannya dibuat di negara seperti Sri Lanka dan Kamboja (Getty Images)

Presiden AS, Donald Trump, mengatakan tarif ekspor vital untuk mengurangi kesenjangan antara nilai barang yang dibeli AS dari negara lain dan barang yang dijualnya kepada mereka.

"Sayangnya, hubungan yang terjadi jauh dari timbal balik," tulis Trump dalam suratnya kepada berbagai negara minggu lalu.

Namun, para analis tidak sependapat. Tarif Trump justru mengabaikan manfaat yang dinikmati AS dari perjanjian perdagangan yang ada, kata Mark Anner, dekan di Sekolah Manajemen dan Hubungan Perburuhan Rutgers.

Menurut Anner, tarif ekspor itu mengabaikan fakta bahwa pakaian dengan harga rendah dipasok negara seperti Sri Lanka atau Kamboja. Ongkos rendah itu telah memberi keuntungan besar bagi berbagai perusahaan AS.

Selama beberapa dekade terakhir, AS, Uni Eropa, dan Kanada menerapkan sistem kuota yang mengalokasikan sebagian pangsa pasar mereka untuk negara-negara berkembang seperti Sri Lanka.

Sistem ini, yang dihapuskan secara bertahap pada tahun 2005, membantu sektor garmen Sri Lanka berkembang pesat meskipun persaingannya ketat.

"Tindakan AS yang sekarang mengenakan tarif tinggi yang secara efektif menutup negara-negara ini dari pasar, bertentangan dengan jalur pembangunan yang pernah ditetapkannya," kata Anner.

Kamboja, tekstil, trump

Potret para pekerja tekstil di Phnom Penh, Kamboja (Getty Images)

Tidak realistis mengharapkan negara dengan perekonomian berkembang tak mengalami defisit perdagangan dengan AS pada tahun-tahun ke depan, kata Sheng Lu, profesor di Departemen Studi Mode dan Pakaian, Universitas Delaware.

"Berapa banyak pesawat Boeing yang dibutuhkan dan mampu dibeli Kamboja atau Sri Lanka setiap tahun?" ujarnya.

Lu yakin persaingan antara AS dan China juga menjadi faktor dalam perundingan perdagangan, mengingat negara-negara pengekspor garmen terintegrasi ke dalam rantai pasokan yang sangat bergantung pada China.

Menurut Lu, negara produsen tekstil itu sekarang harus "menemukan keseimbangan yang rumit" antara mempertahankan hubungan ekonomi dengan China sekaligus memenuhi tuntutan baru AS.

Perempuan menanggung beban terberat

Tarif eskpor AS menambah tekanan baru pada realitas di industri tekstil, yakni kemiskinan dan lemahnya hak-hak buruh di Kamboja, serta krisis ekonomi yang sedang berlangsung di Sri Lanka.

Tujuh dari 10 pekerja tekstil di dua negara ini adalah perempuan. Merekalah yang akan menanggung beban tarif ekspor AS.

Tekanan yang besar itu merujuk potensi pengurangan atau pemotongan upah yang sudah sangat rendah.

Artinya, anak-anak mereka bisa kelaparan. Potensi PHK juga akan semakin mengintai mereka.

pekerja tekstil, industri tekstil, tarif trumpMay TittharaAn Sopheak, seorang pekerja tekstil, mengenakan blus lengan panjang dan celana panjang berwarna mustard, meletakkan sesendok nasi ke piring. Ia duduk di lantai di area memasak kamar sewaannya.

Surangi Sandya, yang bekerja di sebuah pabrik di kota Nawalapitiya, Sri Lanka, merasa tertekan.

"Perusahaan tidak bekerja dalam keadaan merugi... Jika pesanan menurun, jika terjadi kerugian, ada kemungkinan perusahaan akan tutup," ujarnya.

Sandya mulai bekerja sebagai penjahit pada tahun 2011. Dia lalu meniti karier hingga menjadi supervisor yang memimpin 70 pekerja perempuan.

Jika keadaan semakin mendesak, beberapa pekerja Kamboja mengatakan mereka akan mempertimbangkan untuk pindah ke Thailand. Alasannya, mereka harus mencari pekerjaan, meskipun harus melakukannya secara ilegal.

"Mata pencaharian kami bergantung pada pabrik tekstil. Kami tidak akan bertahan jika bos kami menutupnya," ujar An Sopheak kepada BBC, dari kamarnya yang kecil seluas 16 meter persegi di ibu kota Kamboja, Phnom Penh.

"Pendidikan kami terbatas. Kami tidak dapat menemukan pekerjaan lain.

"Kami berdoa setiap hari agar Presiden Trump membatalkan kebijakan tarifnya. Mohon pikirkan kami dan negara kami yang miskin," kata Sopheak.

Simak juga Video: Menghitung Tarif 19% dari Trump: Indonesia Untung atau Buntung?

(nvc/nvc)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads