China dan Rusia telah lama mendukung perjuangan Palestina. Tapi belakangan, Beijing dan Moskow mengambil peran yang tak biasa: menjadi penengah Israel-Palestina.
Pada Juli 2024, puluhan faksi Palestina termasuk Hamas dan Fatah menandatangani perjanjian tentatif di Beijing untuk membentuk "pemerintah rekonsiliasi nasional sementara" yang akan mengelola Gaza setelah konflik berakhir.
Faksi-faksi yang sama juga pernah bertemu di Moskow pada Februari 2024 lalu untuk menyepakati hal serupa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Getty ImagesMenteri Luar Negeri China Wang Yi (tengah) bertemu dengan pemimpin Fatah, Mahmoud al-Alou (kiri) dan anggota senior Hamas, Mussa Abu Marzuk
China dan Rusia sama-sama menjaga hubungan dengan negara-negara yang berperan penting di Timur Tengah seperti Iran, Suriah, dan Turki.
Berbeda dengan AS, kedua negara ini tidak menganggap Hamas sebagai organisasi teroris sehingga bisa mengundang mereka untuk berdialog.
Apakah mediasi semacam ini akan berdampak? Menurut para pakar, kemungkinan tidak akan terjadi.
Justru pertanyaan yang mendesak adalah: apa yang dicari China dan Rusia dengan intervensi ini?
Ada dua tujuan utama. Pertama, untuk mengukuhkan pengaruh internasional mereka. Kedua, menandingi kekuatan AS dan negara-negara Barat di dunia.
Sejak era Mao hingga Xi Jinping
Potret mantan pemimpin China, Mao Zedong, dalam sebuah upacara pada 1 Oktober 2024 untuk menandai ulang tahun ke-75 berdirinya Republik Rakyat China (Getty Images)
Sejak Partai Republik Rakyat China berdiri pada 1949, China selalu bersimpati dengan isu Palestina.
Mao Zedong selaku pendiri partai tersebut memandang Israel sama seperti dia memandang Taiwan: sebagai basis imperialisme Barat dan didirikan untuk mengendalikan negara-negara yang mengritik tatanan Internasional ciptaan Washington DC.
Peneliti dari Chatham House, Ahmed Aboudouh, menilai China merasa pengalamannya menentang Barat dan kolonial tecermin dalam perjuangan Palestina.
Dukungan China terhadap Palestina tak sekadar retorika. Mao, yang mendukung gerakan kemerdekaan di seluruh dunia, mengirim senjata ke Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Sokongan dan pemikiran Mao pun berpengaruh terhadap organisasi ini.
Getty ImagesPresiden China Xi Jinping bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Beijing, China
Namun, kebijakan luar negeri China berubah setelah Deng Xiaoping menjabat pada 1978. Xiaoping memiliki slogan "menjadi kaya itu mulia".
Pada era Xiaoping, China mulai membuka diri pada dunia demi mewujudkan visinya tentang ekonomi pasar sosialis. Untuk mencapainya, China harus menjadi pragmatis.
Baca juga:
Dibanding mendukung aktor-aktor non-negara, China lebih tertarik memperluas hubungan diplomatiknya dengan negara-negara besar dan menengah di dunia.
Ketika Xi Jinping memimpin China pada 2012, ada banyak hal yang juga berubah, kata Aboudouh.
Xi memperkenalkan kembali komponen ideologis dalam kebijakan luar negerinya, tapi selalu untuk melayani kepentingan praktis China.
Israel-Palestina menjadi ruang yang sempurna untuk mewujudkan itu.
Dari Stalin hingga Putin
Getty ImagesSoviet pada erah Stalin menjadi salah satu negara yang mengakui pendirian negara Israel pada 1948.
Awal mula hubungan Rusia dengan Palestina sedikit berbeda.
Ketika Israel berdiri pada 1948, Uni Soviet di bawah kepemimpinan Joseph Stalin menjadi salah satu negara pertama yang mengakuinya.
"Saat itu, Israel tampak cenderung ke sosialis, sedangkan negara-negara sekitarnya masih koloni Eropa," kata Mark Katz, profesor emeritus politik dan pemerintahan di Universitas George Mason kepada BBC Mundo.
Baca juga:
- Rothschild: Dinasti bankir legendaris Eropa yang berperan membentuk negara Israel di tanah Palestina
Bagaimana pun, Israel tidak menjadi negara sosialis. Pada pertengahan 1950-an, mantan pemimpin Soviet, Nikita Khrushchev, bersekutu dengan negara-negara Arab.
"Perjuangan Palestina sangat berguna bagi Moskow. Saat AS mendukung Israel, dukungan Soviet terhadap Palestina membuat mereka lebih populer di kalangan negara-negara Arab," kata Profesor Katz.
Tapi, ketika perjuangan Palestina dipandang sebagai masalah prinsip bagi banyak negara Arab, bagi Moskow ini adalah langkah yang aman.
Getty ImagesSeorang laki-laki mengibarkan bendera Palestina di depan Kedutaan Israel di Moskow.
"Rusia tidak akan mendukung Palestina sampai menimbulkan risiko konflik dengan AS secara khusus, dan mereka juga tidak pernah bersikap anti-Israel," jelas Katz.
Setelah Uni Soviet runtuh, ketegangan antara Rusia dengan Israel mulai melunak. Pembatasan yang selama ini menghalangi orang Yahudi Rusia untuk pindah ke negara itu akhirnya dicabut.
Baca juga:
Pada saat Vladimir Putin menjadi presiden pada tahun 2000, lebih dari satu juta warga Israel merupakan keturunan Soviet. Banyak di antara mereka yang fasih bahasa Rusia.
Sejak saat itu, Kremlin berusaha menyeimbangkan antara hubungannya dengan Israel dan dukungannya terhadap Palestina. Namun belakangan, hubungan Rusia dengan Israel mendingin.
Terlebih sejak 7 Oktober tahun lalu, setelah Hamas menyerang Israel yang menewaskan lebih dari 1.200 orang serta menyandera 251 orang lainnya, dan Israel meresponsnya dengan operasi militer di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 40.000 warga Palestina.
Sebuah tatanan dunia alternatif
Getty ImagesPresiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping bertemu di Beijing pada Mei 2024.
China adalah importir minyak terbesar di dunia. Setengah dari kebutuhan minyak China berasal dari negara-negara di Timur Tengah dan Teluk Persia.
Apakah upaya menengahi konflik Israel-Palestina ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi China?
Menurut Ahmed Aboudouh dari Chatham House, jawabannya adalah tidak.
"Banyak negara Arab menormalisasi hubungan mereka dengan Israel. Negara yang belum, seperti Arab Saudi, siap melakukannya ketika perang di Gaza mereda. China memahami ini dan tidak berupaya mengaitkan kedua masalah ini," kata dia.
Dengan kata lain, tidak akan ada yang berhenti menjual minyak ke China karena sikapnya terhadap isu Israel-Palestina.
Baca juga:
Getty ImagesSeorang anak dan ibunya mengibarkan bendera China dan AS saat kunjungan Presiden Xi Jinping ke AS.
China mungkin lebih termotivasi oleh persaingannya dengan AS dan citra yang ingin mereka bangun secara internasional. Apalagi, mengingat posisi China sebagai kekuatan besar yang baru di dunia.
"China ingin dipandang sebagai kekuatan besar yang masuk akal dan bertanggung jawab, yang tertarik pada mediasi dan perdamaian," kata Aboudouh.
Menurutnya, Beijing juga berupaya "mendorong pandangan alternatif terhadap tatanan dunia yang berbeda dengan AS" terutama di belahan bumi selatan, di mana mayoritas negara mendukung Palestina.
"Menurut saya, China tidak tahu sama sekali bagaimana menyatukan Palestina atau bagaimana menyelesaikan konflik yang rumit antara Palestina dan Israel. China tidak punya kepentingan besar terkait penyelesaian konflik ini," kata Aboudouh.
Mengalihkan perhatian dari Ukraina
EPASeorang tentara Ukraina berdiri di dekat tugu peringatan paratentara yang gugur di Chernihiv.
Profesor Katz mengatakan bahwa bagi Rusia, konflik antara Hamas dan Israel sangat berguna untuk mengalihkan perhatian dari perang di Ukraina.
Konflik di Eropa telah tersingkir dari pemberitaan sejak 7 Oktober. Bahkan, beberapa bantuan senjata yang dikirim sekutu-sekutu Ukraina, terutama AS ke Kyiv, telah dialihkan ke Israel.
"Kremlin yakin kalau Barat menerapkan standar ganda ketika mereka menuduh Rusia menduduki Ukraina, namun diam terhadap apa yang dilakukan Israel ke Palestina," kata Profesor Katz.
Ahmed Aboudouh dari Chatham House mengatakan bahwa peran mediator yang disandang Rusia bertujuan agar mereka dapat "keluar dari isolasi internasional" yang dilakukan oleh negara-negara Barat sejak invasi ke Ukraina.
"Dan tampaknya ada mitra-mitra yang bersedia, terutama di negara-negara Teluk, untuk melakukan hal itu, dan untuk terus berbisnis dengan Rusia," kata Aboudouh.
Getty ImagesVladimir Putin dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani dalam KTT pemimpin negara-negara yang tergabung di Organisasi Kerja Sama Shanghai.
Hamas, yang menguasai Gaza sejak tahun 2007, bukanlah mitra Palestina yang disukai oleh Rusia karena ideologi Islamisnya. Namun ini tidak menghalangi Rusia untuk bekerja sama dengan Hamas, bahkan mengambil keuntungan dari hubungan mereka.
Profesor Katz mengatakan bahwa salah satu syarat Putin untuk menjalin hubungan dengan Hamas "adalah untuk memastikan bahwa Hamas tidak mendukung kelompok-kelompok jihadis di Rusia, terutama di Chechnya".
Strategi itu membuahkan hasil. Ketika Rusia menginvasi Georgia pada 2008, "baik Hamas maupun Hizbullah mendukung posisi Rusia di Georgia. Jumlahnya tidak banyak, tapi mereka tidak pernah membela umat Islam di Rusia," tambah Profesor Katz.
Namun, para pakar percaya walau Rusia menjalin hubungan dengan Hamas, mereka tak pernah mengirimkan senjata.
Salah satu alasannya menurut para ahli, Moskow tidak ingin mengambil risiko kalau Israel melakukan hal yang sama untuk Ukraina.
Strategi yang berbeda
Getty ImagesMoskow dan Beijing punya beberapa tujuan yang sama dalam diplomasi di Timur Tengah, namun strategi keduanya sangat berbeda.
China dan Rusia punya strategi yang berbeda, walaupun beberapa tujuan mereka sama, terutama untuk melemahkan pengaruh AS di Timur Tengah dan negara-negara di belahan bumi selatan.
Pertama, Rusia telah terlibat secara militer di wilayah ini, seperti dalam konflik di Suriah. China tidak ingin seperti itu.
China berupaya mempertahankan tatanan regional di Timur Tengah dengan menyesuaikan sejumlah hal dengan kepentingannya.
Sementara itu, Aboudouh berpendapat Rusia ingin "merombak total tatanan di Timur Tengah dan merestukturisasinya sesuai kepentingan Rusia".
Beijing ingin konflik diselesaikan dengan diakuinya negara Palestina, sehingga China akan punya pengaruh besar.
Namun, Kremlin memainkan kartu lain. Moskow tidak benar-benar ingin menyelesaikan konflik antara Israel dan Palestina, melainkan berpura-pura mencari solusi, kata Aboudouh.
"Jika konflik ini terselesaikan, kedua belah pihak [Israel dan Palestina] tidak akan membutuhkan Rusia untuk apa pun; mereka berdua akan mengupayakan pembangunan ekonomi dan untuk itu mereka harus berpaling ke Barat atau ke China atau keduanya."
"Rusia mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan, tetapi tidak dari ketidakstabilan yang berlebihan," tambah Profesor Katz.
"Mereka ingin panci yang panas tetapi tidak sampai mendidih hingga meluap."
Baca juga:
- Ancaman mata-mata China kian meningkat, mengapa negara-negara Barat kesulitan untuk mengimbanginya?
- Apa dampak dua tahun Perang Ukraina terhadap hubungan China dan Rusia?
- Bagaimana China membantu Iran mengatasi sanksi minyak AS