Ketika ribuan orang turun ke jalan di Bangladesh untuk mengakhiri kekuasaan mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina selama 15 tahun, saya melihat sesuatu yang belum pernah saya lihat di sini sebelumnya sejumlah besar perempuan berdemonstrasi dan meneriakkan slogan-slogan.
Partisipasi perempuan dan anak perempuan dalam protes tersebut "belum pernah terjadi sebelumnya", kata Dr Bulbul Siddiqi, pakar ilmu politik dan sosiologi di Universitas North South di Dhaka.
Farzana Leo, seorang ibu tunggal dan atlet binaraga profesional yang membantu mengorganisir beberapa demonstrasi, yakin gerakan tersebut tidak akan berhasil menggulingkan Hasina tanpa partisipasi perempuan dalam skala besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan berusia 30-an ini belum pernah aktif secara politik sebelumnya, namun dia syok dan tergerak untuk terlibat dalam demonstrasi setelah melihat rekaman pasukan keamanan menembaki anak-anak muda yang berunjuk rasa.
'Ketika anak-anak mendapat dukungan dari ibunya, mereka menjadi berani,' ujar Farzana Le (BBC)
"Saya pikir merupakan tanggung jawab moral saya untuk turun ke jalan dan melindungi mereka," ujarnya ketika ditemui di sebuah gym di daerah Mirpur, Dhaka. salah satu pusat protes.
Ia juga termotivasi oleh banyaknya anak muda yang turun ke jalan, dan mengatakan bahwa ketika perempuan mulai bergabung dalam protes, hal ini meningkatkan keberanian orang lain baik laki-laki maupun perempuan yang kemudian menambah jumlah demonstran.
"Ketika anak-anak mendapat dukungan dari ibunya, mereka menjadi berani," ujarnya.
"Anak-anak mendengarkan ketika seorang ibu berkata 'jika kamu tidak protes, lalu siapa yang akan menyelamatkan negara?' Keberanian bertindak ini harus muncul dari rumah," tambahnya.
Sejumlah perempuan mengatakan kehadiran mereka mendorong pengunjuk rasa lain untuk turun ke jalan (Getty Images)
Demonstrasi dimulai pada awal Juli sebagai tuntutan damai dari mahasiswa untuk menghapuskan kuota pekerjaan pegawai negeri, namun kemudian berubah menjadi gerakan anti-pemerintah yang lebih luas.
Hampir 650 orang tewas dalam kerusuhan antara 16 Juli dan 11 Agustus, menurut data yang dikumpulkan oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) dalam laporan awal mereka.
Para pengunjuk rasa, jurnalis dan sejumlah anggota pasukan keamanan termasuk di antara mereka yang dilaporkan tewas, katanya.
Ridima Ahmed, 16 tahun, mengatakan dia dan teman-temannya dikejar dan diserang oleh kelompok bersenjata yang setia pada partai Liga Awami pimpinan Sheikh Hasina. Namun mereka tetap kembali ke jalanan.
Alih-alih mencoba menghentikan mereka, ibunya, Sayma, malah ikut turun ke jalan.
"Setiap anak adalah anak kita, itulah naluri seorang ibu," katanya.
Sayma Ahmed (kedua dari kanan) bergabung dengan putrinya Ridima (kedua dari kiri) dalam demonstrasi di Bangladesh (BBC)
Laporan PBB mengatakan polisi dan pasukan paramiliter "tampaknya sering menggunakan kekerasan tanpa pandang bulu", termasuk menggunakan peluru tajam dan peluru karet terhadap pengunjuk rasa yang melakukan aksi damai atau menggunakan batu bata dan tongkat.
Dikatakan bahwa tuduhan tersebut mencakup laporan pembunuhan di luar proses hukum, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa dan penyiksaan.
BBC telah mewawancarai orang tua yang menggambarkan cedera yang dialami anak-anak mereka saat ditahan.
Baca juga:
- Bagaimana demonstrasi di Bangladesh mengakhiri 15 tahun pemerintahan Sheikh Hasina
- Satu WNI tewas dalam kebakaran hotel akibat kerusuhan Bangladesh Bagaimana kesaksian para WNI lainnya?
- Muhammad Yunus, peraih Nobel berjuluk bankir kaum miskin yang kini memimpin Bangladesh
Namun, pemerintahan sebelumnya menyatakan bahwa petugas melepaskan tembakan hanya untuk membela diri atau untuk melindungi aset negara, dan berulang kali membantah tuduhan penyiksaan.
Menurut badan anak-anak PBB, Unicef, sebanyak 32 anak kebanyakan dari mereka berusia remaja terbunuh dalam protes tersebut. Akan tetapi, sebuah surat kabar Bangladesh menyebutkan jumlahnya 66.
"Cara mereka disiksa dan dibunuh sebagai seorang ibu, bagaimana saya bisa tetap tinggal di rumah?" tambah Sayma.
Beragam mural mulai bermunculan di tembok bangunan untuk mendukung gerakan yang menggulingkan Sheikh Hasina (BBC)
"Banyak perempuan dan anak perempuan memposisikan diri mereka di garis depan protes untuk melindungi saudara laki-laki dan anak laki-laki mereka," kata Siddiqi.
Siddiqi menyebut hal ini karena adanya persepsi bahwa mahasiswi tidak akan diserang di depan umum saat protes.
Namun strategi tersebut "tidak berjalan dengan baik", menurut Siddiqi, dan mengatakan bahwa perempuan juga diserang dan beberapa lainnya terluka parah ketika gerakan tersebut semakin intensif pada pertengahan Juli.
Baca juga:
- Ribuan demonstran membakar stasiun TV di Bangladesh, 25 orang tewas: Tiga hal yang perlu diketahui
- Protes mahasiswa Bangladesh mengguncang posisi Sheikh Hasina, salah satu perempuan paling berkuasa di Asia
- Bagaimana demonstrasi di Bangladesh berubah menjadi kerusuhan mematikan
Siddiqi mengatakan ada warisan keterlibatan perempuan dalam sejarah gerakan politik di negara yang sekarang disebut Bangladesh, seperti gerakan anti-kolonial ketika negara itu masih menjadi bagian dari India di bawah pemerintahan Inggris, dan dalam demonstrasi untuk pengakuan bahasa Bengali pada tahun 1952.
Namun dia mengatakan gerakan kali ini "tidak sebanding" dengan gerakan sebelumnya karena begitu banyak perempuan yang ambil bagian.
Siddiqi mengatakan peningkatan dukungan terhadap anak perempuan dalam keluarga, banyaknya perempuan muda yang belajar di pendidikan tinggi, dan akses terhadap informasi melalui media sosial, telah membantu menciptakan generasi yang "jauh lebih percaya diri" dibandingkan generasi sebelumnya.
Massa berkumpul untuk merayakan pengunduran diri Sheikh Hasina sebagai perdana menteri (Getty Images)
Sudah lebih dari dua pekan sejak Syekh Hasina digulingkan dan melarikan diri ke India. Pemerintahan sementara, dipimpin oleh peraih Nobel Profesor Muhammad Yunus, sudah terbentuk.
Kehidupan hampir kembali normal di Dhaka. Namun para pelajar masih turun ke jalan, beberapa dari mereka melukis grafiti dan mural yang menyerukan demokrasi, kerukunan beragama, dan keadilan.
Salah satunya adalah Salwa Sarah, mahasiswi berusia 24 tahun.
"Kami ingin negara bebas korupsi. Pendapat kami harus dihormati," katanya.
Siswa lainnya, Tanzina Afrin, 23 tahun, mengatakan dia ingin bisa memilih pemimpinnya di kotak suara.
"Suara kita harus didengar dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah harus mewujudkan harapan dan aspirasi generasi muda," ujarnya.
- Protes mahasiswa Bangladesh mengguncang posisi Sheikh Hasina, salah satu perempuan paling berkuasa di Asia
- Satu WNI tewas dalam kebakaran hotel akibat kerusuhan Bangladesh Bagaimana kesaksian para WNI lainnya?
- Muhammad Yunus, peraih Nobel berjuluk bankir kaum miskin yang kini memimpin Bangladesh