Apa Dampak 2 Tahun Perang Ukraina terhadap Hubungan China-Rusia?

Apa Dampak 2 Tahun Perang Ukraina terhadap Hubungan China-Rusia?

BBC Indonesia - detikNews
Kamis, 16 Mei 2024 14:57 WIB
Presiden Rusia, Vladimir Putin, berjabat tangan dengan Presiden China, Xi Jinping, di Beijing dalam kunjungan pada Kamis (16/05) (Reuters)
Beijing -

Kamis (16/05) ini, Presiden Rusia, Vladimir Putin, memulai kunjungan kenegaraan selama dua hari ke Beijing guna bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping.

Ini adalah kunjungan kedua Putin ke Tiongkok dalam tujuh bulan serta pertemuan keempat Putin-Xi sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022.

Saat ini, Beijing telah menjadi mitra penting bagi Moskow.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

China menolak mengutuk invasi Rusia ke Ukraina dan terus melakukan perdagangan dengan Rusia yang terkena sanksi berat Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Akan tetapi, tampaknya Putin menginginkan lebih. Namun apakah Tiongkok bersedia menanggung akibatnya?

ADVERTISEMENT

Hubungan yang menguat

Mungkin tidak mengejutkan jika Putin memilih China sebagai tujuan kunjungan luar negeri pertamanya sejak dilantik sebagai presiden untuk masa jabatan kelima, pekan lalu.

Kunjungan kenegaraan dua hari itu terjadi ketika keeratan hubungan mereka mencapai "tingkat tertinggi yang pernah ada", kata Putin kepada media pemerintah China.

Putin bilang tertarik pada seni bela diri dan filsafat China, seraya mengatakan beberapa keluarganya sedang belajar bahasa Mandarin.

"Dalam menghadapi situasi internasional yang sulit, hubungan kita masih menguat," ujarnya.

Baca selengkapnya:

Meski Putin membanggakan persahabatan kedua negara, Xi punya alasan untuk khawatir.

Amerika Serikat baru saja mengumumkan serangkaian sanksi baru terhadap sejumlah bank dan perusahaan Beijing dan Hong Kong yang bekerja sama dengan Moskow, yang diduga membantu menghindari pembatasan terkait rangkaian sanksi.

Sebab, meski China tidak menjual senjata ke Rusia, Washington dan Brussels yakin China mengekspor teknologi dan komponen penting untuk perang.

Xi Jinping, Putin

Xi Jinping dan Vladimir Putin bertemu di Beijing (Getty Images)

Dalam kunjungannya baru-baru ini ke Beijing, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan kepada BBC bahwa China "membantu ancaman terbesar" keamanan Uni Eropa sejak Perang Dingin.

Bagi mereka, ini sudah melampaui batas. Tapi China berkukuh pada pendiriannya bahwa ekspornya, yang memiliki kegunaan teknis di luar perang, tidak melanggar aturan.

Kelompok yang skeptis terhadap China juga semakin keras, mendesak Xi untuk memberikan tekanan lebih besar pada Rusia karena Uni Eropa sendiri sedang mempertimbangkan tarif.

Faktanya adalah perekonomian China yang lesu tidak mampu menanggung tekanan terhadap Rusia - mitra dagangnya. Permintaan di dalam negeri yang lemah berarti mereka membutuhkan pasar di luar negeri.

Semua ini membuat Xi berada dalam situasi yang canggung.

Menemukan batasan

Beberapa hari sebelum Rusia menyerang Ukraina, kedua pemimpin mengumumkan kemitraan "tanpa batas" untuk meningkatkan kerja sama. Hal ini masuk akal bagi kedua negara yang sama-sama punya ideologi melawan Barat.

Beijing masih menganggap Moskow sebagai kunci untuk mengubah tatanan dunia yang saat ini dipimpin AS. Perdagangan antara kedua negara berkembang pesat.

Energi Rusia yang murah, termasuk pengiriman gas secara stabil melalui pipa Siberia, telah memberikan manfaat bagi China.

Namun, seiring dengan perang yang terus berlanjut, aliansi ini tampaknya tak begitu "tak terbatas". Analisa BBC menemukan bahwa istilah tersebut hampir hilang dari media pemerintah.

"Meskipun Tiongkok mendukung tujuan untuk melemahkan pengaruh Barat, namun Tiongkok tidak setuju dengan beberapa taktik Rusia, termasuk ancaman penggunaan senjata nuklir," kata Zhao Tong, peneliti senior di Carnegie Endowment.

"China sangat sadar akan dampak reputasi yang ditimbulkan karena memberikan dukungan tanpa syarat kepada Rusia dan terus menyempurnakan upayanya untuk meningkatkan legitimasinya di panggung global."

Dalam kunjungannya ke Eropa baru-baru ini, Xi mengatakan negaranya "bukanlah pencipta krisis ini, bukan pihak di dalamnya, atau yang berpartisipasi".

Hal ini juga terus-menerus disampaikan China kepada warganya.

'Rakyat Ukraina masih berdarah-darah'

Meski China membuat klaim bahwa Beijing netral dalam perang Rusia-Ukraina, tidak berarti simpati terhadap Ukraina mudah terlihat di media China yang disensor ketat.

Media pemerintah China masih membenarkan invasi Rusia, dan menyebutnya sebagai pembalasan cepat Moskow terhadap ekspansi NATO yang didukung AS.

Ketika seniman Tiongkok Xu Weixin melihat ledakan dahsyat pertama yang melanda ibu kota Ukraina, Kyiv, di televisi pada tahun 2022, dia merasa terdorong untuk mendokumentasikannya.

"Saya tidak punya senjata, tapi saya punya pena," katanya kepada BBC dari studionya di AS.

Gambar pertamanya, potret Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, viral di media sosial.

"Saya melukis setiap hari sejak perang dimulai. Saya tidak berhenti bahkan satu hari pun. Ketika saya terkena Covid, ketika saya bepergian ke luar negeri, saya masih menggambar setiap hari."

Meskipun karya seninya belum disensor di China, reaksi yang muncul mengejutkannya.

"Ini sangat berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya," katanya.

"Saat saya melukis tentang penambang batu bara, semua komentar yang saya dapatkan positif. Bahkan lukisan revolusi kebudayaan saya mendapat pujian. Saya hampir tidak mendapat kritik."

Tapi kali ini, katanya, dia mendapat respons negatif. "Tidak apa-apa, saya baru saja memblokirnya," katanya.

"Beberapa teman saya tidak lagi berteman dengan saya karena mereka mempunyai pandangan berbeda. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya yakin saya melakukan hal yang benar. Saya ingin menjadi teladan bagi putri saya."

Ini adalah tanda harapan bagi orang Ukraina seperti Vita Golod, yang ingin mempengaruhi opini China. Dia berada di Kyiv ketika perang pecah dan memutuskan untuk menggunakan kefasihan berbahasa Mandarinnya untuk menerjemahkan berita Ukraina ke dalam bahasa Mandarin sehingga dia dapat membagikannya di media sosial.

"Kami ingin masyarakat mengetahui kebenaran mengenai perang ini, karena kami tahu pada saat itu tidak ada kantor media atau outlet Ukraina di Tiongkok," katanya kepada BBC saat berkunjung ke Beijing.

Saat ini dia menjabat sebagai ketua Asosiasi Sinolog Ukraina.

Vita Golod

Vita Golod ingin mempengaruhi opini di China lewat berita-berita dan kisah tentang perang di Ukrain (Joyce Liu/ BBC)

"Sejujurnya sulit secara emosional, dan itu memakan banyak waktu," katanya.

Sebuah tim yang terdiri dari sekitar 100 orang menerjemahkan berita resmi, pidato Presiden Zelensky, dan kisah-kisah rakyat biasa Ukraina yang terjebak di zona perang, tambahnya.

Dia mengatakan bahwa dia berharap dapat mengatur kunjungan para sarjana China ke Ukraina sehingga mereka dapat melihat sendiri kehancuran Ukraina dan akhirnya membantu memberikan tekanan pada Rusia.

Dia menyadari ini adalah tujuan yang ambisius, namun ingin mencobanya. Kakak laki-lakinya berada di garis depan dan orang tuanya masih tinggal di kampung halaman dekat Bucha.

"Warga di Ukraina masih menderita, mereka masih bersembunyi di tempat penampungan, masih mengeluarkan darah di parit. Ukraina membutuhkan sanksi terhadap Rusia, bukan kata-kata indah."

Sejauh ini, karyanya belum disensor, yang menunjukkan adanya toleransi dari pemerintah China.

Xi, penjaga perdamaian

Ada suara-suara lain yang datang dari Beijing yang menunjukkan bahwa keretakan mungkin akan muncul dalam hal sejauh mana sebagian masyarakat Tiongkok, setidaknya, siap untuk mendukung hubungan tanpa batas ini.

Feng Yujun, direktur Pusat Studi Rusia dan Asia Tengah di Universitas Fudan, baru-baru ini menulis di The Economist bahwa Rusia pasti akan kalah di Ukraina.

Ini adalah opini yang berani di China.

Namun kemudian, Xi menyarankan agar dia bisa menjadi penjaga perdamaian.

Maret silam, hanya beberapa hari setelah kunjungan kenegaraannya ke Moskow, ia menelepon Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan menekankan bahwa China "selalu berpihak pada perdamaian".

China juga menerbitkan 12 poin rencana perdamaian yang menentang penggunaan senjata nuklir.

Namun ketika Putin dan Xi bertemu pekan ini, kemungkinan besar keduanya tak akan memberikan sinyal perubahan kebijakan yang signifikan.

Seiring dengan semakin tidak sabarnya negara-negara Barat terhadap aliansi mereka dan harapan Xi untuk berperan sebagai penjaga perdamaian sejauh ini tidak berhasil, dia akan memperhitungkan risiko untuk terus berdiri "bahu-membahu" dengan negara-negara paria yang pernah dia sebut sebagai kamerad dan "sahabat".

(nvc/nvc)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads