Beberapa hari setelah serbuan tak terduga Hamas ke Israel yang memicu perang di Gaza, telepon Umm Mohamed yang tinggal di Tepi Barat berdering. Di ujung sana, terdengar suara putranya yang dipenjara di Israel.
"Bu, mohon doanya," kata Abdulrahman Mari.
"Keadaannya semakin keras. Mungkin mereka tidak akan mengizinkan kita bicara lagi."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu adalah yang terakhir kalinya Umm Mohamed mendengar suara sang buah hati.
Komisi Tahanan Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat menyebut kondisi para tahanan Palestina di Israel memburuk setelah 7 Oktober 2023. Pada tanggal itu, Hamas tiba-tiba melancarkan serangan mematikan ke komunitas Israel yang tinggal dekat Jalur Gaza.
Sejak insiden berdarah itu, 13 orang Palestina menghembuskan napas terakhir di penjara Israel.
"Mayoritas dari mereka mati karena dipukuli atau tidak diberi obat," ujar Ketua Komisi, Qadoura Fares, kepada BBC.
Abdulrahman Mari merupakan salah satu tahanan yang pertama meninggal.
Semasa hidupnya, dia bekerja sebagai tukang kayu di desa Qarawat Bani Hassan. Dalam perjalanan pulang dari Ramallah pada Februari tahun lalu, Abdulrahman ditangkap di sebuah pos pemeriksaan keliling.
Dia kemudian menjadi tahanan administratif Israel dapat menahan orang tanpa batas waktu yang ditentukan tanpa penuntutan di penjara Megiddo.
Saudara laki-laki Abdulrahman, Ibrahim, mengatakan pasal yang dikenakan otoritas sebenarnya minor seperti ambil bagian dalam demonstrasi atau membawa senjata.
Namun, Abdulrahman juga dituduh sebagai anggota Hamas meski tidak ada penuntutan secara spesifik mengenai aktivitas di dalam kelompok milisi itu.
Ibrahim masih berusaha mengulik bagaimana saudaranya itu bisa sampai mati. Dia harus bergantung kepada kesaksian mantan rekan satu sel Abdulrahman dan berita persidangan.
Salah satu rekan satu sel Abdulrahman bersedia berbicara kepada BBC secara anonim.
"Setelah 7 Oktober, kami mengalami penyiksaan secara total. Kami dipukuli tanpa alasan yang jelas. Mereka juga memeriksa kami tanpa alasan. Bahkan cara Anda melihat seseorang bisa dinilai salah," ujarnya.
Mantan tahanan yang meminta agar identitasnya disamarkan ini menggambarkan bagaimana Abdulrahman ditonjoki habis-habisan di depannya dan tahanan lain.
"Pada jam 9 pagi, mereka masuk ke sel kami dan mulai menghajar kami. Salah satu penjaga mulai menghina orang tua Abdulrahman. Dia tidak terima dan mulai melawan.
"Mereka menaboknya dengan parah. [Abdulrahman] dibawa ke ruang tahanan di lantai atas selama satu pekan. Suaranya terdengar melolong kesakitan."
Sumber ini mengaku kabar kematian Abdulrahman baru diterimanya setelah dia keluar dari penjara sepekan kemudian.
Petugas penjara Israel tidak secara langsung menjawab pertanyaan BBC mengenai kematian Abdulrahman ataupun kematian 12 orang Palestina lain yang disebutkan Komisi Tahanan.
"Kami tidak familier dengan klaim-klaim yang digambarkan dan sejauh pengetahuan kami ini tidak benar."
Baca juga:
- Ratusan mayat ditemukan dalam kuburan massal di RS Gaza, sebagian dengan kondisi tangan terikat - PBB serukan investigasi independen
- Apa itu Batalion Netzah Yehuda yang dilaporkan kena sanksi AS?
- Cerita relawan medis Indonesia di Gaza: 'Warga Palestina sudah terlalu lelah dengan perang'
Profesor Danny Rosin, anggota Ikatan Dokter untuk Hak Asasi Manusia, ambil bagian dalam pemeriksaan jenazah Abdulrahman Mari. Pernyataan Rosin menguatkan apa yang dikatakan rekan satu sel Abdulrahman dan saudaranya kepada BBC.
Laporan Prof Rosin menyebut luka memar terlihat di dada kiri Abdulrahman. Beberapa tulang rusuk almarhum juga patah. Memar luar terlihat di bagian punggung, pantat, tangan dan paha kiri, juga bagian kanan kepala dan leher tanpa adanya kerusakan di bawah permukaan kulit.
Laporan Prof Rosin juga mengutip laporan tambahan kepolisian yang menyebut "penahanan paksa" diterapkan terhadap Mari pada enam hari sebelum kematiannya.
Dalam laporannya, Profesor Rosin mengatakan meski tidak ada temuan penyebab kematian spesifik, "dapat diasumsikan bahwa kekerasan yang dialami almarhum terbukti nyata dari banyak memar dan tulang rusuk patah yang berkontribusi atas kematiannya".
Getty ImagesIsrael menahan ribuan orang Palestina di Tepi Barat sejak 7 Oktober 2023.
Dia menambahkan bahwa "detak jantung yang tidak normal" atau "serangan jantung" juga bisa terjadi akibat cedera seperti ini tanpa adanya bukti fisik yang terlihat jelas.
Israel saat ini menahan lebih dari 9.300 tahanan dengan pengamanan maksimum. Menurut kelompok HAM Israel, HaMoked, mayoritas dari jumlah ini adalah orang Palestina termasuk 3.600 tahanan administratif.
Jumlah ini tidak termasuk tahanan dari Jalur Gaza yang berada di fasilitas terpisah di militer Israel.
Qadoura mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi setelah 7 Oktober 2023 "berdampak terhadap segala aspek dari kehidupan para tahanan."
Dia mengeklaim banyak tahanan sengaja dibuat lapar dan haus dan sebagian yang menderita penyakit kronis tidak diberikan obat-obatan. Pemukulan semakin sering terjadi dan tingkatnya kian brutal.
"Saya bertemu dengan seorang tahanan yang berat badannya turun 20 kilogram dalam tiga bulan," ujarnya.
"Seolah-olah perang di Gaza juga menjadi perang terhadap tahanan orang Palestina. Semuanya adalah bentuk pembalasan dendam."
BBC sebelumnya telah mendengar dari para tahanan Palestina yang menjelaskan bagaimana mereka dihantam dengan kayu dan anjing yang moncongnya dikerangkeng dilepas ke arah mereka. Baju, makanan, dan selimut mereka juga diambil.
Semua ini terjadi dalam pekan-pekan setelah 7 Oktober.
Dinas pelayanan tahanan Israel menyanggah telah terjadi penganiayaan.
"Semua tahanan diperlakukan sesuai hukum termasuk menghormati hak dasar mereka di bawah pengawasan staf yang profesional dan berkeahlian," kata mereka.
Dinas menambahkan bahwa mereka masuk ke dalam "mode darurat" setelah perang pecah dan "memutuskan untuk mengurangi kondisi hidup tahanan berkeamanan tinggi".
Contohnya seperti menyingkirkan peralatan elektronik, memutus aliran listrik ke sel-sel, dan mengurangi aktivitas tahanan di sayap-sayap fasilitas.
BBCArafat Hamdan meninggal dua hari setelah ditangkap.
Di desa Beit Sira di Tepi Barat, ayahanda Arafat Hamdan menunjukkan pintu rumahnya yang didobrak polisi Israel pada jam 4 pagi tanggal 22 Oktober 2023 demi mencari putranya.
Polisi menutup muka Arafat Hamdan dengan kain hitam yang tebal dan mengikatnya di bagian leher dengan tali. Ayah Arafat Hamdan mencium bau yang keras dari kain itu buah hatinya terlihat sulit bernapas.
"Saya terus berusaha menenangkannya," Yasser Hamdan berkisah ke BBC.
"Tidak apa-apa. Mereka tidak punya kasus terhadapmu. Mereka tidak punya kasus terhadap kita. Saya terus mengatakan ini selagi dia diikat di luar rumah. Mereka kemudian membawanya."
Dua hari kemudian, telepon Yasser Hamdan berdering. Arafat ditemukan tewas di selnya di penjara Ofer di Tepi Barat.
Otoritas Israel tidak menjelaskan bagaimana Arafat meninggal. Arafat menderita diabetes Tipe 1 dan kadang dia mengalami gula darah rendah.
Yasser mengatakan salah satu anggota kepolisian yang menangkap Arafat menyuruhnya membawa obat-obatan. Namun, tidak jelas apakah dia sebenarnya sempat membawanya.
BBC mendapat berkas laporan dari Dr Daniel Solomon, ahli bedah yang hadir saat otopsi Arafat Hamdan setelah diminta Ikatan Dokter untuk Hak Asasi Manusia.
Dr Solomon mengatakan otopsi dilakukan di Israel pada 31 Oktober 2023. Namun, dia menambahkan kondisi jenazah yang lama dimasukkan ke dalam peti pendingin mempersulit pembuktian penyebab kematian.
Dia juga memperhatikan tidak adanya catatan apa pun yang memperlihatkan apakah obat diabetes Arafat diberikan berikut dosisnya.
Laporan ini juga menyebut dibutuhkannya tes lain yang melampaui otopsi untuk menentukan penyebab kematian.
"Sampai sekarang kami tidak tahu bagaimana dia meninggal. Tidak ada yang jelas," ujar Yasser Hamdan.
- Makanan jatuh dari langit: Kontroversi di balik bantuan udara AS ke Gaza
- Tenaga kesehatan Gaza yang tewas di dalam ambulansnya sendiri
Jenazah Arafat dan Abdulrahman belum juga dikembalikan ke keluarga mereka. Orang-orang terdekat yang ditinggalkan ingin mengadakan otopsi mereka sendiri, menggelar pemakaman, dan mengucapkan selamat jalan untuk yang terakhir kalinya.
"Dia darah daging saya. Kemudian dia lenyap," ujar Yasser Hamdan.
Foto-foto Arafat memenuhi tiap sudut apartemen Yasser.
Umm Mohamed memperlihatkan foto-foto Abdulrahman di ponselnya.
"Lihatlah dia," tunjuk Umm ke satu foto Abdulrahman. "Ceria betul dia."
Abdulrahman, menurut Umm Mohamed, lambat laun menjadi pemimpin para tahanan yang dekat dengannya.
"Lewat telepon, dia bercerita bagaimana dia menyiapkan sarapan untuk disantap bersama saat mereka tidur. Dia selalu yang paling aktif. Dia tidak pernah duduk santai, anak saya itu."
Tangis Umm Mohamed pecah.
"Bawa dia pulang ke saya. Saya ingin melihatnya satu kali lagi. Sekali lagi saja."
(ita/ita)