2 Wanita Afghanistan Menentang Taliban: Suara Kami Tak Bisa Dibungkam

2 Wanita Afghanistan Menentang Taliban: Suara Kami Tak Bisa Dibungkam

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 11 Mar 2024 16:45 WIB
Last Torch terdiri dari kakak beradik yang menyanyi demi menentang TalibaΒ (Last Torch)
Kabul -

Seiring dunia menyaksikan Taliban kembali berkuasa pada Agustus 2021, dua perempuan kakak beradik di Kabul adalah segelintir dari jutaan orang di Afghanistan yang berpotensi terdampak langsung pengetatan kebijakan yang dilakukan rezim baru Taliban.

Mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa hanya berdiam diri menyaksikan Taliban berkuasa, dan mulai secara diam-diam menggunakan suara mereka untuk melawan.

Menempatkan diri mereka dalam marabahaya, mereka mulai gerakan dengan menyanyi di media sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami mau menyanyikan [lagu] ini, tapi nyawa kami jadi taruhannya," tutur salah satu dari mereka dalam rekaman video, sebelum mereka menyanyi.

Lagu itu dirilis pada Agustus 2021, hanya beberapa hari setelah Taliban mengambil alih kekuasaan. Dengan segera, lagu itu viral di Facebook dan WhatsApp.

ADVERTISEMENT

Tanpa memiliki latar belakang musik, dua saudari ini - yang mengenakan burka untuk menyembunyikan identitas mereka - menjadi fenomena musik di Afghanistan.

"Perjuangan kami dimulai tepat di bawah bendera Taliban dan melawan Taliban," tutur Shaqayeq (bukan nama sebenarnya) anggota termuda dari duo penyanyi ini.

"Sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, kami tak pernah menulis satu pun puisi. Ini adalah apa yang Taliban lakukan kepada kami."

Perempuan kakak beradik di Afghanistan menentang Taliban dengan menyanyi mengenakan burka

Perempuan kakak beradik ini menjadi fenomena di media sosial. Di sini, tampak keduanya sedang merekam lagu terbaru mereka (Kawoon Khamoosh)

Setelah kembali berkuasa, Taliban hanya butuh waktu tak lebih dari 20 hari untuk mengimplementasikan visinya yang unik bagi Afghanistan.

Menerapkan hukum syariah dalam kehidupan sehari-hari dan membatasi akses perempuan terhadap pendidikan adalah sejumlah prioritas mereka.

Para perempuan kemudian melakukan aksi turun ke jalan di Kabul dan kota-kota besar lainnya, namun menghadapi tindakan keras Taliban.

"Perempuan adalah harapan terakhir yang bisa kami lihat," kata Shaqayeq.

"Oleh karena itu kami memutuskan untuk melanjutkan perjuangan kami bersama mereka dan menamai kami Last Torch."

"[Kami] berpikir bahwa kami tidak akan bisa pergi ke mana pun, kami memutuskan untuk memulai protes rahasia dari rumah."

Duo kakak beradik itu kemudian merilis lagu-lagu lain, yang dinyanyikan di balik burka berwarna biru, seperti lagu pertama mereka.

Salah satunya adalah puisi terkenal karya mendiang Nadia Anjuman, yang menulisnya sebagai protes terhadap pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban yang pertama, yakni pada tahun 1996.

Bagaimana saya bisa berbicara tentang madu jika mulut saya penuh dengan racun?

Sayangnya mulut saya dihancurkan oleh tinju yang kejam

Oh untuk hari dimana aku memecahkan sangkar,

Bebaskan diri dari keterasingan ini dan bernyanyi dengan gembira.

Women protesting in front of Vice and Virtue Ministry, Sept 2021

Perempuan Afghanistan memprotes pembatasan terhardap merekadi depan kantor kementerian (Haroon Sabawoon/Anadolu/Getty Images)

Saat Taliban melarang pendidikan bagi perempuan, Nadia Anjuman dan teman-temannya biasa bertemu di sekolah bawah tanah, The Golden Needle, di mana mereka berpura-pura menjahit tetapi malah membaca buku.

Mereka juga mengenakan burka biru, yang dikenal sebagai chadari di Afghanistan.

Anak tertua dari dua bersaudara tersebut, Mashal (juga nama samaran), membandingkan burka dengan "sangkar bergerak".

"Ini seperti pemakaman tempat impian ribuan perempuan dan anak perempuan dikuburkan," katanya.

"Burka ini seperti batu yang dilemparkan Taliban kepada perempuan 25 tahun lalu," tambah Shaqayeq.

"Dan mereka melakukannya lagi ketika mereka kembali berkuasa."

"Kami ingin menggunakan senjata yang mereka gunakan untuk melawan kami, untuk melawan pembatasan mereka."

Last Torch

Dua perempuan itu mengenakan burka demi menyembunyikan identitas mereka (BBC)

Dua kakak beradik itu telah merilis tujuh lagu sejauh ini namun masing-masing lagu memiliki resonansi yang kuat di kalangan perempuan Afghanistan di seluruh negeri.

Awalnya mereka menggunakan lirik penulis lain, tapi mereka mencapai titik "di mana tidak ada puisi yang bisa menjelaskan perasaan kami," kata Shaqayeq.

Mereka kemudian mulai menulis lirik mereka sendiri.

Tema-tema yang diangkat adalah pembatasan yang menyesakkan terhadap kehidupan sehari-hari perempuan, pemenjaraan para aktivis, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Para penggemar menanggapinya dengan mengunggah penampilan mereka sendiri dari lagu-lagu tersebut di media sosial.

Dalam beberapa kasus, mereka juga mengenakan burka, sementara sekelompok siswa sekolah Afghanistan yang tinggal di luar negeri merekam lagu tersebut di atas panggung di auditorium sekolah.

Hal ini bertolak belakang dengan apa yang ingin dicapai Taliban.

Salah satu langkah pertama setelah mengambil alih kekuasaan adalah mengganti Kementerian Urusan Perempuan dengan Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan.

Kementerian baru ini tidak hanya mewajibkan pemakaian burka, namun juga mengecam musik karena dianggap menghancurkan akar Islam.

"Menyanyi dan mendengarkan musik sangat berbahaya," kata Sawabgul, seorang pejabat yang muncul dalam salah satu video propaganda kementerian.

"Ini mengalihkan perhatian orang dari doa Tuhan... Setiap orang harus menjauhinya."

Tak lama kemudian, muncul video prajurit Taliban di media sosial tengah membakar alat musik dan memamerkan musisi yang ditangkap.

Foot soldiers were seen burning musical instruments

Prajurit Taliban tampak sedang membakar alat musik (Bakhter News Agency)

Selama Shaqayeq dan Mashal terus merilis lagu dari rumah mereka di Afghanistan, mereka mengambil risiko yang sangat besar.

Shaqayeq mengatakan dia kerap susah tidur karena mengira Taliban mungkin akan mengidentifikasi mereka.

"Kami telah melihat ancaman mereka di media sosial: 'Setelah kami menemukan Anda, kami tahu cara mengeluarkan lidah Anda dari tenggorokan Anda'," kata Mashal.

"Orang tua kami merasa takut setiap kali mereka membaca komentar-komentar ini. Mereka bilang mungkin itu sudah cukup dan kami harus berhenti... Tapi kami bilang kepada mereka bahwa kami tidak bisa, kami tidak bisa terus melanjutkan kehidupan normal kami."

Demi keamanan mereka, kedua kakak beradik itu meninggalkan negara itu tahun lalu namun mereka berharap bisa segera kembali.

Perempuan Taliban, demonstrasi

Di jalanan, para perempuan memprotes larangan Taliban terhadap pendidikan dan membagikan foto-foto demonstrasi itu di media sosial (BBC)

Sonita Alizada, seorang rapper profesional asal Afghanistan yang kini tinggal di Kanada, termasuk salah satu pengagum video Last Torch dari luar negeri.

"Saat saya melihat dua perempuan mengenakan burka bernyanyi, sejujurnya saya menangis," katanya.

Dia lahir pada tahun 1996, tahun pertama Taliban mengambil alih kekuasaan, dan keluarganya melarikan diri ke Iran ketika dia masih kecil.

Di Iran, ibunya mencoba menjualnya ke dalam pernikahan paksa, namun dia menemukan jalan keluarnya melalui musik.

Seperti dua saudara perempuan dari Last Torch, dia melihat para perempuan yang melakukan protes terhadap Taliban sebagai tanda harapan.

Salah satu lagu Last Torch merujuk langsung pada para pengunjuk rasa.

Perjuanganmu indah. Teriakan perempuanmu.

Kamu adalah fotoku yang rusak di jendela.

"Situasinya sangat mengecewakan di Afghanistan saat ini karena kita mengalami kemunduran selama beberapa dekade," kata Sonita.

"Tetapi dalam kegelapan ini masih ada cahaya yang menyala. Kami melihat individu-individu berjuang dengan bakat mereka sendiri."

Farida Mahwash

Farida Mahwash: "Dua penyanyi perempuan ini akan menjadi empat, lalu menjadi 10 dan kemudian 1.000" (BBC)

BBC menunjukkan salah satu lagu terbaru dari dua kakak beradik ini kepada Farida Mahwash, salah satu penyanyi perempuan terkemuka di Afghanistan, dengan perjalanan karier lebih dari setengah abad sebelum akhirnya pensiun baru-baru ini.

"Dua penyanyi ini akan menjadi empat, lalu menjadi 10, dan kemudian 1.000," tuturnya.

"Jika suatu saat mereka main di atas panggung, saya akan berjalan bersama mereka meskipun saya menggunakan tongkat berjalan."

Di Kabul, tindakan keras terhadap aktivisme semakin meningkat dalam satu tahun terakhir, dengan pihak berwenang melarang perempuan mengadakan demonstrasi dan menangkap mereka yang menentang larangan tersebut.

Salah satu lagu terbaru Last Torch berkisah tentang aktivis perempuan yang dipenjarakan oleh Taliban dan ditahan dalam apa yang digambarkan oleh Human Rights Watch sebagai "kondisi yang kejam".

Gelombang suara perempuan

memecahkan kunci dan rantai penjara.

Pena ini penuh dengan darah kami

mematahkan pedang dan anak panahmu.

"Puisi-puisi ini hanyalah sebagian kecil dari kesedihan dan rasa sakit yang ada di hati kami," kata Shaqayeq.

"Kepedihan dan perjuangan rakyat Afghanistan, dan kesedihan yang mereka alami di bawah pemerintahan Taliban dalam beberapa tahun terakhir, tidak dapat dilukiskan dalam puisi apa pun."

PBB mengatakan Taliban bertanggung jawab atas apartheid gender jika mereka terus melanjutkan kebijakannya saat ini.

Taliban menjawab bahwa mereka menerapkan syariah, dan tidak akan menerima campur tangan pihak luar dalam urusan dalam negeri negaranya.

Shaqayeq dan Mashal sedang mengerjakan lagu berikutnya. Mereka berharap dapat menyuarakan suara perempuan di Afghanistan dalam perjuangan mereka untuk kebebasan dan hak untuk belajar dan bekerja.

"Suara kami tidak akan bisa dibungkam. Kami tidak lelah. Ini hanyalah awal dari perjuangan kami."

Nama kedua kakak beradik tersebut telah diubah demi keselamatan mereka.

BBC 100 Women logoBBC

(nvc/nvc)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads