Sepasang remaja yang mengaku memiliki "fantasi gelap" soal kekerasan dan penyiksaan, dinyatakan bersalah atas pembunuhan seorang gadis transgender berusia 16 tahun di Cheshire, Inggris.
Korbannya adalah Brianna Ghey, yang ditikam sebanyak 28 kali di sebuah taman pada 11 Februari 2023. Sementara itu, identitas kedua pelaku dirahasiakan karena masih di bawah umur.
Identitas kedua pelaku tidak bisa disebutkan karena masih berusia 16 tahun, namun keduanya diidentifikasi sebagai remaja perempuan X dan remaja laki-laki Y.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
X dan Y telah merencanakan pembunuhan terhadap Brianna sebelumnya. Mereka bahkan menuliskan rencana tersebut di sebuah kertas. Fakta ini mengagetkan pihak berwenang yang menangani kasus ini, dan membuat orang tua Brianna sangat terpukul.
"Pesan-pesan WhatsApp di antara mereka ketika merencanakan tindakan ini, membahas soal pembunuhan, penyiksaan, dan kekejaman, sangat mengerikan untuk dibaca," kata Jaksa Ursula Doyle.
Doyle mengatakan pesan-pesan tersebut "memberi gambaran mengerikan soal apa yang ada di dalam pikiran kedua pelaku" yang membunuh Brianna.
Terjadi kehebohan di persidangan ketika putusan dijatuhkan setelah pertimbangan selama empat jam 40 menit.
Hakim di Pengadilan Manchester, Justice Yip, memberi tahu kedua terdakwa bahwa dia akan "menjatuhkan hukuman seumur hidup".
"Yang masih harus saya putuskan adalah berapa lama hukuman minimal yang harus kalian jalani sebelum bisa dipertimbangkan untuk dibebaskan," kata Hakim Yip.
Sementara itu, kedua remaja tersebut tidak menunjukkan emosi apa pun dari kursi pesakitan.
Pembunuhan berencana
Peringatan: Artikel ini memuat penjelasan yang mungkin dapat mengganggu kenyamanan Anda.
Selama persidangan yang berlangsung selama 18 hari, terungkap bahwa kedua terdakwa adalah remaja yang cerdas, dapat beraktivitas dengan baik, dan memiliki latar belakang "normal".
Mereka juga tidak pernah berurusan dengan polisi sebelumnya. Namun, mereka memiliki "hasrat untuk membunuh".
Pembunuhan Brianna telah direncanakan beberapa minggu sebelum kejadian.
Rencana itu bahkan ditulis tangan di sebuah kertas yang ditemukan di kamar tidur remaja X setelah dia ditahan.
Keduanya juga telah menyusun "daftar target pembunuhan" yang terdiri dari lima orang, sebelum akhirnya menetapkan Brianna sebagai target mereka.
Brianna, yang memiliki ribuan pengikut di Tiktok, merupakan sosok remaja perempuan muda yang pemalu. Dia disebut menderita depresi dan kecemasan.
Pada hari pembunuhannya, Brianna dibujuk oleh X untuk pergi ke taman. Di situ, dia diserang menggunakan pisau berburu pada siang hari. Brianna menderita luka tusuk di kepala, leher, dada, dan punggung.
Kedua pelaku mencoba menyembunyikan tubuh Brianna di taman, namun mereka terlihat oleh sepasang orang yang sedang berjalan-jalan bersama anjingnya. Saat itulah mereka melarikan diri dari lokasi kejadian.
Setelah itu, X dan Y pulang ke rumah dan melanjutkan kehidupan sehari-hari mereka seolah tidak ada yang terjadi. Remaja X bahkan mengunggah foto Brianna sebagai bentuk penghormatan.
Di dalam persidangan, X mengaku kepada juri bahwa dia memiliki "fantasi gelap", namun tidak berniat mewujudkannya menjadi kenyataan.
Sementara itu, Y mengaku bahwa dia hanya meladeni fantasi-fantasi itu dan tidak menanggapinya secara serius.
Keduanya sama-sama mengaku tidak menyangka bahwa satu sama lain akan benar-benar melakukan pembunuhan itu.
Mereka juga menyampaikan keterangan yang sama bahwa mereka berbalik ketika satu orang lainnya mulai menikam Brianna.
Menurut Jaksa Doyle, X dan Y telah "menjadi pengaruh buruk antara satu sama lain dan mewujudkan apa yang awalnya sebatas fantasi gelap menjadi kenyataan".
Penyidik dari Kepolisian Cheshire, Mike Evans mengatakan bahwa keduanya meyakini mereka bisa lolos dari pertanggungjawaban tindakan kriminal mereka.
X --yang ternyata mengidap autisme dan ADHD-- bahkan meyakinkan Y --yang didiagnosis menderita mutisme selektif dan gangguan spektrum autisme-- bahwa dia tidak akan ditangkap sambil menyinggung kapabilitas kepolisian setempat.
Baca juga:
Namun menurut polisi, keduanya adalah remaja yang "cerdas dan dapat beraktivitas selayaknya manusia pada umumnya".
"Saya paham bahwa orang-orang punya gambaran tertentu mengenai anak-anak ini, tapi mereka sebenarnya adalah anak-anak yang sangat pintar, sangat cerdas, dan sangat pandai berbicara," ujar Evans.
"Kecerobohan mereka adalah merasa yakin dan arogan karena mengira mereka bisa membunuh orang lain dan tidak akan mendapat ganjarannya."
Sementara itu, ibu dari Brianna, Esther, mengatakan telah "kehilangan simpati" terhadap kedua remaja tersebut karena tidak menunjukkan "sedikit pun penyesalan".
"Bayangan betapa takutnya anak saya yang biasanya sangat pemberani ketika dia sendirian di taman bersama orang yang dia anggap sebagai temannya, akan menghantui saya selamanya," kata Esther, dengan suaranya yang bergetar akibat emosi.
Dalam wawancara dengan BBC menjelang putusan, Esther mengatakan dia tidak akan melupakan keberanian dan ketegaran putrinya yang tidak tergoyahkan.
"Dia tidak pernah takut untuk menjadi dirinya sendiri," kenang Esther.
"Dia ingin diidentifikasi sebagai perempuan dan dia ingin mengenakan seragam sekolah perempuan. Dia melakukannya begitu saja tanpa keraguan."
Ayah Brianna, Peter Spooner, mengatakan bahwa dia "sangat bangga" dengan putrinya dan akan selalu mencintai Brianna.
"Waktu dia masih kecil, saya ingat ekspresi wajah yang dia buat untuk membuat saya tertawa," ujar Peter sambil menahan air mata.
"Tawanya, gerakan-gerakan lucunya selalu terukir di dalam ingatan saya," kata dia.
(nvc/nvc)