Untuk pertama kalinya, Myanmar menjadi produsen opium terbesar di dunia pada 2023 sekaligus menggeser posisi Afghanistan, berdasarkan survei teranyar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sejak lama, negara itu memang dikenal sebagai bagian dari Segitiga Emas - jalur perdagangan narkoba besar-besaran di antara Myanmar, Thailand, dan Laos.
Kawasan itu terkenal sebagai daerah penghasil bunga poppy yang kemudian dapat diekstrak menjadi opium, bahan kunci pembuatan heroin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut lima alasan negara yang sedang didera konflik tersebut dapat menempati posisi wahid sebagai produsen opium terbesar di dunia.
1. Perang sipil yang kian parah
Sejak merdeka dari penjajahan Inggris pada 1948, pemerintah pusat Myanmar terus berkonflik dengan kelompok-kelompok etnis minoritas yang tinggal di kawasan perbukitan di perbatasan negara tersebut.
Pada 2021, kondisi makin parah karena kudeta militer. Sejak saat itu, militer terus menyerang warga sipil yang menggelar demonstrasi pro-demokrasi.
Aktivis-aktivis oposisi lantas menyatukan kekuatan dengan kelompok etnis bersenjata di perbatasan Myanmar dengan Thailand, China, dan India.
Mereka membentuk gabungan kelompok bersenjata di bawah payung Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF).
Sementara itu, sejumlah sayap bersenjata dari kelompok etnis lainnya, seperti Karen, Kachin, Karenni, dan Chin, memutuskan untuk bergabung dengan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG).
NUG sendiri merupakan pemerintahan tandingan bentukan pemerintah yang dikudeta militer pada 2021. Sayap militer NUG juga disebut sebagai PDF.
Tiga tahun setelah kudeta pecah, kedua PDF itu sudah menjadi pasukan bersenjata dengan kekuatan besar, membuat konsentrasi militer terpecah.
Pengawasan militer pun berkurang di sejumlah daerah, termasuk Negara Bagian Shan, kawasan di dekat perbatasan China dan Thailand yang selama ini dikenal sebagai produsen opium terbesar di dunia.
2. Larangan opium di Afghanistan
Dalam setahun belakangan, budidaya opium di Myanmar meningkat sekitar 18 persen. (Getty Images)
Sejak Taliban melarang penanaman bunga poppy pada April 2022, produksi opium di Afghanistan pun menurun drastis.
Survei Opium Afghanistan pada 2023 menunjukkan produksi opium di negara itu merosot 95 persen dari 6.200 ton pada 2022 ke 333 ton di 2023.
Baca juga:
Pada periode yang sama, produksi Myanmar meningkat 36 persen menjadi 1.080 ton.
Jumlah itu memang lebih kecil ketimbang produksi tertinggi yang pernah dicapai Afghanistan, yaitu hingga 6.200 ton pada 2022.
Namun, angka produksi Myanmar tetap yang tertinggi tahun ini. Publik internasional pun khawatir produksi di Myanmar akan kian melesat karena ketidakstabilan yang berlarut di negara itu.
3. Harga opium meningkat
Larangan menanam bunga poppy di Afghanistan memicu kenaikan harga opium.
Merujuk pada data PBB, harga rata-rata opium yang dibayarkan ke petani sekitar US$355 per kilogram, naik 75 persen dari 2022.
Kenaikan harga ini membuat para petani di Myanmar tergiur di tengah kemerosotan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan perang berkepanjangan.
Kekurangan pasokan global juga menyebabkan permintaan opium dari Segitiga Emas semakin tinggi.
4. Petani tak punya pilihan
Sejak Taliban melarang penanaman bunga poppy pada April 2022, produksi opium di Afghanistan pun menurun drastis. (Getty Images)
Di Myanmar sebenarnya sudah muncul upaya-upaya untuk memangkas produksi opium, salah satunya dengan memperkenalkan tanaman lainnya yang bisa dijual, seperti tebu, karet, dan buah-buahan.
Namun, produksi tanaman-tanaman tersebut lebih sulit ketimbang bunga poppy. Tanaman alternatif itu juga lebih sulit dibawa dari kawasan-kawasan terpencil ke pasar.
Baca juga:
Sementara itu, pembeli opium biasanya langsung berkunjung ke tempat penanaman untuk membeli bunga poppy. Dengan demikian, ongkos transportasi yang mahal bisa dipangkas.
Petani semakin tergiur karena sejak kudeta pecah, bantuan internasional dan pendanaan asing lainnya berkurang ke Myanmar. Akibatnya, sumber pemasukan alternatif bagi petani miskin juga semakin susah.
Keburukan rekam jejak hak asasi manusia dan akuntabilitas junta militer juga membuat bantuan internasional untuk membabat produksi bunga poppy dan narkoba di Myanmar juga sangat terbatas.
5. Penegakan hukum yang kurang di Segitiga Emas
Kawasan Segitiga Emas sudah berpuluh tahun dikenal sebagai pusat kejahatan transnasional global, termasuk produksi obat-obatan sintetis, perdagangan senjata ilegal, judi, penyelundupan manusia, dan penipuan online.
Kawasan pegunungan yang terpencil di area itu juga memiliki celah perbatasan, membuat para pelaku kriminal lebih mudah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Konsentrasi militer Myanmar sendiri saat ini sedang terpecah akibat keterpurukan negara itu di berbagai lini akibat kudeta.
Di tengah keterpurukan itu, sangat sulit bagi mereka untuk mengutamakan pemberantasan perdagangan narkoba.
Selain itu, para tentara militer Myanmar dan sejumlah kelompok etnis bersenjata juga meraup untung dari produksi narkoba tersebut.
Salah satu sumber keuntungan itu datang dari pungutan "pajak" pedagang narkoba yang melintasi daerah kekuasaan mereka.
Alhasil, tak ada keuntungan bagi aparat yang berupaya memberantas budidaya bunga poppy, sementara opium masih bisa menjadi sumber pendapatan di tengah segala ketidakpastian.
(ita/ita)