Dokter Bedah Gaza: Hati Ini Hancur, Banyak Nyawa Tak Bisa Saya Selamatkan

Dokter Bedah Gaza: Hati Ini Hancur, Banyak Nyawa Tak Bisa Saya Selamatkan

BBC Indonesia - detikNews
Selasa, 12 Des 2023 13:51 WIB
bbc
Sara Alsaqqa, pojok kiri bawah, adalah dokter bedah perempuan pertama asal Gaza.
Jakarta -

Saat Sara Al-Saqqa lulus kuliah kedokteran pada bulan Agustus 2023, dia menorehkan sejarah: perempuan pertama Gaza yang menjadi dokter bedah.

"Saya punya banyak tujuan dan ambisi mengenai perbaikan pelayanan kesehatan," tutur Sara, 31 tahun. Dia berharap suatu saat nanti dirinya mampu membuka klinik sendiri.

Akan tetapi, selang delapan minggu kemudian, hanya ada satu hal dalam benak pikirannya: "Berharap keluarga selamat. Prioritas semua orang berubah, dan kami sekarang hanya memikirkan tentang bertahan hidup."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak menamatkan studi, Sara telah bekerja di rumah sakit terbesar di Gaza, Al-Shifa, yang terletak di bagian utara kawasan tersebut.

Pada 7 Oktober, Sara mendapat libur. Dia ingat tengah bersiap-siap melepas adik bungsunya yang baru berusia 17 tahun pergi sekolah. "Namun kami mulai mendengar suara-suara bom, dan kami tidak mengizinkan dia pergi," ucapnya.

ADVERTISEMENT

Ketika Sara mengecek ponselnya, dia membaca berita tentang Hamas membunuh 1.200 orang dan menyekap sekitar 240 sandera asal Israel.

Sejak itu, serangan darat dan udara balasan Israel telah menghancurkan sebagian besar Gaza dan membunuh lebih dari 15,500 orang berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Palestina.

Sara langsung dipanggil bekerja. Begitu dia tiba, matanya menyaksikan "sebuah pembantaian, dan orang-orang terluka berbondong-bondong masuk."

perempuan cederaGetty ImagesPasien luka-luka berbondong-bondong ke RS Al Shifa setiap kali Israel melancarkan pengeboman di Gaza.

Sedari awal, staf rumah sakit sudah kewalahan dengan banyaknya pasien. Sebagian datang "dengan bagian tubuh terpenggal akibat pecahan peluru dan jenis-jenis luka lainnya karena terbakar intens."

Saat Israel memulai serangan udara, mereka telah mengimbau penduduk Gaza untuk melakukan evakuasi dari utara ke arah selatan supaya lebih aman. Namun, Sara memilih untuk tinggal.

"Kami bekerja terus menerus selama lebih dari 34 hari tanpa berhenti, tanpa pulang ke rumah," ujarnya.

Sara menggambarkan bagaimana keadaan terus memburuk: "Setiap pengeboman terjadi, ratusan pasien berdatangan secara bersamaan dan tidak mungkin untuk merawat mereka semua satu persatu."

Baca juga:

Banyak orang yang mencari perlindungan di dalam dan sekitar rumah sakit. Mereka berhimpit-himpitan di setiap jengkal yang ada, memasak roti di koridor-koridor, dan tidur di lantai dan lemari-lemari.

Para orang tua berusaha mengalihkan perhatian anak-anak mereka dengan beragam permainan.

Rumah sakit kesulitan mendapatkan perlengkapan dasar seperti obat-obatan dan sarung tangan steril dan Sara harus memutuskan pasien mana yang menjadi prioritas berdasarkan kesempatan bertahan hidup mereka.

"Saya merasa sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa," tuturnya.

"Saya selalu melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan saya dengan hampir tidak ada apa-apa untuk menyelamatkan mereka, tetapi hati ini hancur, banyak nyawa tak berdosa yang tak bisa saya selamatkan."

pasien RS Al ShifaGetty ImagesPasien dan warga mencari perlindungan di RS Al Shifa.

Kendati demikian, terdapat secercah harapan. Sara berhasil membantu proses kelahiran untuk pertama kalinya setelah dirinya dan sang ibu terperangkap di ruang operasi semalaman ketika pengeboman terjadi di luar rumah sakit.

Sara mati-matian mencoba menghubungi dokter ahli kandungan untuk membantu tetapi tak seorang pun datang.

Pada pukul 06:00, mereka tidak bisa menunggu lagi. "Saya berdoa kepada Tuhan kami untuk membantu saya dan menyelamatkan ibu dan bayinya," imbuhnya.

Bayi tersebut lahir dengan tali pusar mengikat lehernya, tetapi Sara mampu melepasnya sehingga bayi perempuan itu lahir dengan selamat. Dipenuhi rasa syukur, sang ibu menamai putrinya Sara.

Salah satu hal tersulit yang Sara rasakan adalah putusnya jalur komunikasi, sehingga dia tidak mampu mengecek keadaan ibunya, keempat saudara kandungnya, dan neneknya.

Ketika sambungan telepon dan koneksi internet terputus, keluarga Sara tengah menuju Rafah di selatan dan Sara tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak: "Saya tidak bisa berfungsi atau terus bergerak, saya tidak bisa melakukan apa-apa." Dirinya takut keluarganya menjadi korban pengeboman.

Sara bisa bernapas lega ketika mendengar keluarganya selamat. Namun, masalah tak berhenti di situ. Persediaan makanan dan minuman habis dan "dalam seminggu terakhir, tidak ada listrik kami bertahan hidup dengan keadaan minimum." Hal sekecil ditawari sepotong roti pun menjadi momen bahagia.

Saat listrik padam, Sara harus menyusuri koridor yang dipenuhi orang-orang sambil memegang obor dan melakukan tindakan operasi dengan situasi nyaris gelap dengan suara-suara bom di sekitarnya.

"Saya menggambarkan ini sebagai fase terburuk dalam hidup saya, hidup di neraka," ujarnya.

Baca juga:

Saat pengeboman semakin mendekat dan niat pasukan Israel untuk menyerang rumah sakit semakin jelas, Sara khawatir dia tidak akan selamat apabila tetap bertahan di sana. Dia lantas memutuskan untuk pergi ke Rafah untuk bersama keluarganya yang tengah mencari perlindungan dengan paman Sara.

Akan tetapi, dia tidak pergi ke selatan sendirian. Sara berjalan dengan kolega-koleganya serta sang ibu dan bayi yang dia selamatkan.

Ketika militer Israel menyerang rumah sakit, mereka mengeklaim rumah sakit merupakan "target operasi" dan berkata mereka menemukan "pusat operasi Hamas" di sana - sesuatu yang dibantah Hamas.

Menggambarkan hidup bagi dirinya dan lebih dari sejuta rakyat Gaza yang terlantar, Sara berkata: "Kami tidak punya air untuk minum dan makanan untuk dikonsumsi. Kami tidak punya rumah. Kami telah ditelantarkan, duduk di jalanan, sekolah-sekolah, lapangan-lapangan. Musim dingin telah tiba, dan kami tidak siap, kami tidak punya pakaian, selimut, atau apa pun."

Sara tetap berusaha untuk menggunakan pendidikan medisnya selama dia bisa. "Setiap hari kami keluar, berkeliling dan membantu sebisa mungkin sebab tenda-tenda penampungan dan sekolah-sekolah membutuhkan kita."

Sara gelisah membayangkan bagaimana masa depan nanti untuk dirinya dan keluarganya.

"Tahun ini seharusnya adalah tahun terakhir adik perempuansaya bersekolah sebelum lulus dan memulai hidupnya, tetapi sekarang kita tidak tahu apa yang akan terjadi."

Seperti orang Gaza lainnya, harapan dan impian mereka kini berganti dengan keinginan untuk selamat.

BBC 100 PerempuanBBC

BBC 100 Perempuan mendata 100 perempuan inspiratif dan berpengaruh di seluruh dunia tiap tahunnya. Ikuti BBC 100 Perempuan di Instagram dan Facebook. Bergabunglah dalam percakapan dengan menggunakan tagar #BBC100Women.

(ita/ita)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads