Warga pertama yang kami temui di sebuah desa di Pegunungan Atlas Tinggi memberikan jawaban yang mengejutkan tentang dampak gempa bumi.
"Orang-orang di desa ini dirawat di rumah sakit atau mati," ujarnya.
Saat kami memanjat ke atas reruntuhan, kami memahami mengapa jarang ada orang di Desa Tafeghaghte yang bisa selamat tanpa cedera.
Batu bata dan bebatuan dari rumah tradisional di sini tidak sebanding dengan kedahsyatan gempa, pada Jumat (08/09) malam.
Setidaknya 90 dari 200 warga di sini dipastikan tewas dan masih banyak lagi yang hilang.
"Mereka tidak punya kesempatan untuk melarikan diri. Mereka tak punya waktu untuk menyelamatkan diri," ucap Hassan yang berhasil memanjat puing-puing.
Hassan bercerita pamannya masih terkubur di bawah reruntuhan. Nyaris tak ada harapan sang paman akan dikeluarkan dari timbunan bangunan.
Tidak ada seorang pun di sini yang punya mesin untuk melakukan hal tersebut. Adapun tenaga ahli dari luar wilayah belum tiba.
"Allah menghadirkan ini dan kami berterima kasih kepada Allah atas segalanya. Tapi sekarang kami membutuhkan bantuan dari pemerintah. Mereka terlambat, sangat terlambat membantu warga," kata Hassan.
Baca juga:
Hassan kemudian menambahkan bahwa pemerintah Maroko harus menerima semua tawaran bantuan internasional.
Tetapi harga diri pemerintah Maroko mungkin bisa mencegah bantuan tersebut mengalir.
Di komunitas kecil ini, kami melihat setiap individu tampaknya berupaya menenangkan seseorang yang sedang dalam situasi mengharukan.
Namanya Abdou Rahman.
Dia kehilangan istri dan ketiga putranya.
"Rumah kami ada di atas sana," katanya sambil menunjuk ke area rumah itu pernah berdiri.
Sekarang di area itu hanya tersisa hamparan puing-puing.
"Anda juga bisa melihat selimut putih dan perabotan. Segalanya telah lenyap."
Abdou Rahman mengatakan dia berlari sejauh tiga kilometer ke rumah dari tempatnya bekerja di stasiun pengisian bahan bakar umum - sesaat setelah gempa terjadi.
Ia bercerita secara naluriah dia berteriak memangil anak-anaknya. Teriakannya menyatu bersama pekikan orang lain yang mengalami kejadian serupa.
Saat dia tiba di lokasi, tak ada balasan dari teriakannya itu.
"Kami mengubur mereka kemarin," ucap Abdou.
"Saat kami menemukan mereka, mereka semua berkumpul. Ketiga anak laki-laki saya sedang tidur. Mereka ikut tertimpa reruntuhan."
Di sebuah tenda besar tak jauh dari jalan pegunungan yang berkelok-kelok dan menghubungkan desa dengan dunia luar, puluhan keluarga sedang duduk bersama.
Ada tangisan yang sangat pilu datang dari segala arah.
Gelombang kesedihan ini dipicu oleh jenazah seorang bocah perempuan berusia 10 tahun, Khalifa, yang diangkat dari puing-puing.
Duka mendalam dapat dirasakan dari orang-orang di sekitar jasadnya.
Seorang perempuan pingsan dan yang lain terkulai lemah sambil meratap.
Potret kesedihan seperti ini nampak dari desa ke desa di Pegunungan Atlas.
Komunitas tradisional mungkin sudah terbiasa terpisah dari dunia luar yang modern, tapi kini mereka membutuhkan bantuan secepat mungkin.
(ita/ita)