Peran Tentara India pada Pertempuran Surabaya 1945

Peran Tentara India pada Pertempuran Surabaya 1945

BBC Indonesia - detikNews
Selasa, 15 Agu 2023 17:29 WIB
dw
Sejumlah personel Resimen Artileri Gunung India ke-24 (dari Divisi India ke-5) mengisi ulang artileri 3,7 inci mereka untuk menargetkan posisi mortir pejuang Indonesia
Jakarta -

Peter Carey

Fellow Emeritus di Trinity College, Oxford

Adjunct Professor Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2013-2023)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada tanggal 25 Oktober 1945, brigade pasukan India berkekuatan 4.000 orang pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby (1899-1945) tiba di Surabaya dari Singapura.

Tugas mereka adalah memulihkan ketertiban. Sebab, sejak 22 Agustus 1945 setelah proklamasi kemerdekaan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta di Jakarta pada 17 Agustus, berbagai organisasi "perjuangan di Surabaya terutama yang dipimpin oleh kaum pemuda, mulai mengambil tindakan untuk menegaskan kemerdekaan yang baru diproklamirkan.

ADVERTISEMENT

Gerakan revolusioner begitu cepat memperoleh momentum. Tercatat pada awal Oktober 1945 pusat Kota Surabaya berada di tangan gerakan revolusioner dan Jepang tidak berdaya sama sekali. Bahkan, berbagai senjata dan amunisi dalam jumlah besar, terutama dari gudang senjata Angkatan Laut Jepang di Gubeng, disita atau diserahkan untuk kemudian dibagikan kepada penduduk setempat.

Benar-benar tanpa pengarahan, Mallaby, sebagaimana dicatat sejarawan JGA Parrott dari Divisi India ke-23 yang berada di bawah komando brigadir jenderal itu, "melangkah ke sarang lebah tanpa disadari".

Parrott belakangan menulis artikel berjudul Who Killed Brigadier Mallaby? pada jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell, 1975 silam.

Dalam waktu kurang dari seminggu, setelah memecah pasukannya ke berbagai kompi (100 orang) dan peleton (30 orang) untuk menjaga bangunan dan instalasi utama, Brigade Mallaby kewalahan dan terpaksa mundur ke kawasan pelabuhan Tanjung Perak.

Adapun Mallaby tewas kehabisan darah (30 Oktober) di dalam limusin Lincoln abu-abu dengan jendela terbuka. Sang brigadir jenderal ditembak seorang pemuda yang membidiknya saat dia dalam perjalanan untuk merundingkan gencatan senjata.

Balas dendam Inggris muncul pada 10 November 1945. Seluruh pasukan Divisi Kelima India, pimpinan Mayor Jenderal Sir Robert Mansergh (1900-70), mendarat di Surabaya dengan membawa tank dan pesawat tempur.

Lebih dari dua minggu berikutnya (10-27 November) pertempuran berlangsung guna mengambil alih Surabaya jalan demi jalan.

Pada saat pertempuran akhirnya berhenti pada tanggal 27 November, sepertiga (150.000 orang) penduduk kota sebelum perang (450.000 orang) telah kehilangan tempat tinggal. Diperkirakan sebanyak 16.000 pemuda dan tentara Indonesia (Tentara Keamanan Rakyat, TKR), termasuk sejumlah besar warga sipil, terbaring tewas, dengan 20.000 lainnya terluka.

Dari sisi Inggris dan India, jumlah prajurit yang tewas mencapai 588 orang.

Peristiwa itu adalah terakhir kalinya Kerajaan Inggris menggunakan pasukan India dalam konflik kolonial. Dr Roeslan Abdulgani (1914-2005), yang belakangan menjadi menteri luar negeri Indonesia, mengatakan pertempuran Surabaya adalah "malapetaka yang memenggal arah sejarah Surabaya dan rute kemerdekaan Indonesia.

Bagaimana ini bisa terjadi?

Pada 15 Agustus 1945 setelah Jepang menyerah tanpa syarat, tanggung jawab atas bekas Hindia Belanda (NEI) telah dialihkan dari Komando Pasifik Barat Daya pimpinan Jenderal Douglas MacArthur ke Komando Asia Tenggara (SEAC) pimpinan Lord Louis Mountbatten, sebuah pengalihan yang sama sekali tidak terduga oleh sang bangsawan Inggris:

"Setelah mengambil alih NEI dari Wilayah Pasifik Barat Daya tanpa laporan intelijen apa pun, saya [Mountbatten] tidak mendapat petunjuk tentang situasi politik di Jawa. Sudah diketahui bahwa Gerakan Indonesia sudah ada [sejak] sebelum perang; dan bahwa hal itu didukung oleh para intelektual terkemuka, beberapa di antaranya mengalami pengucilan [misalnya Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Suwardi Suryaningrat / Ki Hadjar Dewantara, E.F.E. Douwes Dekker] atas partisipasi mereka dalam propaganda nasionalis [sic!]tetapi tidak ada informasi yang diberikan kepada saya mengenai nasib gerakan ini di bawah Pendudukan Jepang [1943-45].

"Dr H.J. van Mook [1894-1965], Letnan-Gubernur NEI [menjabat 1942-48], yang datang ke Kandy [Ceylon] pada tanggal 1 September, tidak memberi saya alasan untuk beranggapan bahwa pendudukan Jawa akan menghadirkan masalah operasional apa pun di luar melucuti Jepang.

Konsekuensi dari kegagalan intelijen ini telah dijelaskan dalam kaitannya dengan Inggris dan Indonesia di Surabaya, tetapi bagaimana dengan pasukan India?

Mallaby, yang merupakan seorang perwira pasukan India dari Resimen Punjab ke-2, mengomandoi pasukan Infanteri Ringan Mahratta (Batalyon ke-4 dan ke-6) dan Resimen Senapan Rajputana (Batalion ke-5).

Tapi, begitu Divisi India ke-5 pimpinan Mayor Jenderal Sir Robert Mansergh telah mendarat, turut bergabung pula tentara Gurkha (Resimen Senapan Gurkha ke-1, ke-5, ke-8, ke-9, dan ke-10), Punjabi (Resimen Punjabi ke-15), Sikh (Resimen Sikh ke-11), Jat ( Resimen Jat ke-9), Bihari (Resimen Bihar Batalyon 1), Baluchs (Resimen Baluch ke-10), Mahratta (Resimen Infanteri Ringan Mahratta), Hyderabad (Resimen Hyderabad ke-19), dan Rajput (Resimen Senapan Rajputana).

Bagaimana reaksi orang-orang ini ketika dipanggil untuk berperang di bawah komando Inggris untuk menumpas pasukan nasionalis Indonesia yang berjuang mengusir penjajah sama seperti orang India di bawah gerakan swadeshi (swasembada) dan swaraj (pemerintahan sendiri)?

Bagaimana reaksi tentara India ketika melihat poster-poster berbahasa Inggris di Surabaya yang dipasang oleh para pemuda Indonesia?

"Pandit Jawaharlal Nehru, pemimpin Kongres Nasional India, memerintahkan hari ini [30 September 1945] bahwa pasukan India tidak boleh digunakan untuk menekan perjuangan Indonesia dan pihak nasionalis lainnya. Kami tertarik dengan perjuangan kemerdekaan di negara-negara Asia dan Afrika karena kami ingin membantu mereka mencapai [itu].

"Bangsa Indonesia telah mendeklarasikan kemerdekaannya dan kami sekarang berjuang untuk mempertahankannya!

Bagaimana reaksi tentara India?

Kisah P.R.S. Mani (1918-2011), yang ditugaskan sebagai kapten pasukan India pimpinan Inggris pada 1944, adalah contoh kasus yang menarik.

P.R.S. Mani ditugaskan ke unit hubungan masyarakat guna melaporkan pengalaman tentara India di Burma dan Malaya (Malaysia pasca-1962) sampai Jepang menyerah.

Setelah 15 Agustus, ketika SEAC (Komando Asia Tenggara) pimpinan Mountbatten mengerahkan pasukan India termasuk Mani melawan pasukan nasionalis di Indonesia dan Vietnam, dia menjadi semakin kecewa. Apalagi ketika dia harus bertempur dengan Divisi India ke-5 pimpinan Mansergh di Surabaya.

Rangkaian pengalaman itu begitu membuat matanya terbuka sehingga pada Januari 1946 dia mengundurkan diri dari penugasan militer Inggris dan menjadi koresponden asing untuk Free Press Journal of Bombay (Mumbai), sebuah harian India berbahasa Inggris yang didirikan pada tahun 1928 serta pendukung kuat kemerdekaan India dan Indonesia. Mani melaporkan dari Indonesia pada tahun 1946-1947, menulis artikel yang sangat mendukung kemerdekaan Indonesia.

Setelah India merdeka pada 15 Agustus 1947, Mani bergabung dengan Departemen Luar Negeri India dan menjadi Konsul Jenderal India pertama di Jakarta. Setelah pensiun dari dinas diplomatik India pada 1980, ia mengumpulkan surat-suratnya selama di Indonesia pada tahun 1945-1947 dan menulis buku tentang Revolusi Indonesia dari perspektif India.

Buku itu berjudul The Story of the Indonesian Revolution, 1945-1950 (Madras: Pusat Kajian Asia Selatan dan Tenggara, Universitas Madras, 1986) kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah (terj. Lany Kristono, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).

Ada banyak orang seperti Mani yang bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menggunakan keahlian militer mereka untuk membantu perjuangan bersenjata Indonesia.

Kita membutuhkan lebih banyak kesaksian seperti Mani untuk membangun gambaran tentang seberapa luas simpati India terhadap perjuangan Indonesia dan bagaimana keterlibatan Inggris selama delapan bulan di Indonesia (September 1945-Maret 1946).

Kisah lainnya adalah Muhammad Zia-ul-Haq (1924-88), yang belakangan menjadi perdana menteri Pakistan (1978-88).

Dia lulus dari Akademi Militer India Dehradun (Dehra Doon) pada 1943, bertugas di Angkatan Darat India Britania di Asia -Pasifik ("Operasi Ibukota" di Burma dan "Operasi Ritsleting" di Malaya) sebelum dipindahkan ke Jawa bersama Divisi India ke-23 pada September 1945.

Setelah ikut serta dalam operasi militer Inggris di Jawa (1945-1946), ia kemudian dipindahkan ke Angkatan Darat Pakistan pada 1947.

Kita hanya dapat berspekulasi seperti apa pengalaman masa perangnya dan bagaimana hal itu mempengaruhi karier militer dan ambisi politiknya di masa depan.

Artikel ini adalah tulisan Peter Carey yang merupakan pandangan pribadi penulis sepenuhnya.

(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads