Tanda-tanda invasi sedang terjadi adalah ketika sekelompok helikopter serbu terbang rendah di atas pantai utara Taiwan.
Di belakangnya terdapat sekelompok besar helikopter serbu berwarna hijau tua yang sarat dengan pasukan.
Kemudian di balik bukit, puluhan kendaraan serbu amfibi bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan di sepanjang pantai, meninggalkan jejak di pasir. Setelahnya, sejumlah tentara turun dari kendaraan itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam beberapa saat, aparat pertahanan Taiwan tampaknya kewalahan.
Tetapi kemudian sirene meraung, tentara bersenjata berat berlarian di sepanjang parit, rentetan tembakan senapan mesin dilepaskan. Dari hutan terdekat, muncul tank tempur dan kendaraan lapis baja, senjata mereka menggelegar.
Helikopter serang Apache meraung di atas perbukitan, memberondong pasukan penyerang. Pantai itu dipenuhi dengan ledakan-ledakan keras. Para penyerang ditembaki dan dipukul mundur. Invasi ditaklukkan. Taiwan pun terselamatkan.
Semua kejadian itu memakan waktu sekitar 20 menit.
Simulasi peperangan di pantai utara Taiwan (BBC)
"Hari ini kami telah menunjukkan bahwa kami akan mengupayakan yang terbaik demi mempertahankan dan melindungi negara kami, kata sang komandan kepada sejumlah wartawan yang menyaksikan semua itu dari atas.
"Kami yakin bahwa melalui latihan ini kami akan siap untuk menghadapi situasi apa pun."
Benarkah?
Orang sinis yang menyaksikan itu mungkin berpendapat bahwa pertempuran itu tidak begitu realistis. Pasukan penyerangnya berjumlah sangat kecil. Pasukan pertahanan menanti mereka. Semuanya berjalan sesuai skenario, dan kemenangan diraih begitu cepat dan mudah.
Namun, pandangan sinis itu pun sedikit tak adil.
Saya masih ingat ketika diajak berkeliling di tempat latihan militer tahunan Han Kuang Taiwan ketika masih menjadi seorang reporter muda 25 tahun lalu. Pada saat itu, apa yang ditampilkan benar-benar pertunjukan untuk ditayangkan.
Baca juga:
- Apakah AS dan China akan berperang menyangkut Taiwan?
- Taiwan putar musik tanpa henti selama dua dekade di sebuah pulau kecil untuk hadapi konflik melawan China
"Menurut saya, ini menandakan perubahan haluan, kata profesor kajian perang di Kings College London, Alessio Patalano.
"Ada persepsi internasional bahwa Taiwan berpuas diri dengan militernya. Pekan ini, Anda benar-benar merasakan bahwa mereka mulai serius dengan perubahan yang signifikan.
Taiwan jelas telah belajar dari apa yang terjadi di Ukraina.
Pada hari pertama perang di Ukraina, pasukan Rusia merebut bandara di dekat Kyiv dan memanfaatkannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang ibu kota Ukraina. Upaya itu gagal.
Jadi Taiwan pun kini fokus pada titik paling rentannya, area yang harus dikuasai China apabila mereka ingin berhasil menyerang pulau itu.
Area paling rentan itu termasuk pantai-pantai di utara Taiwan, juga bandara internasional dan pelabuhan utamanya.
Tentara Taiwan dalam simulasi menghadapi invasi China. (BBC)
Profesor Patalano juga mengatakan bahwa apa yang terjadi di Ukraina menunjukkan hal krusial lainnya. Peristiwa itu telah mematahkan keyakinan bahwa China tidak akan pernah menyerang pulau itu.
"Perang di Ukraina menghancurkan asumsi mendasar bahwa perang adalah masa lalu. Bahwa perang tidak akan terjadi lagi. Dan begitu asumsi semacam itu patah, maka segala sesuatunya dievaluasi kembali.
Presiden China Xi Jinping selama bertahun-tahun telah memperjelas bahwa menyerang Taiwan adalah sebuah pilihan.
China kini membangun angkatan udara dan angkatan laut mereka untuk mewujudkannya.
Presiden Xi memiliki kerangka waktu yang jelas. Pada 2027, China harus memiliki kapasitas untuk melawan dan memenangkan konflik regional.
Pada 2035, negara ini harus menjadi kekuatan militer kelas dunia. Lalu pada 2049, pemulihan ibu pertiwi harus selesai.
Sementara bagi Taiwan, waktu terus berdetak.
"Jadi kita tahu bahwa ada tenggat waktu itu, kata Patalano.
"Namun, penggunaan kekuatan bukanlah pilihan pertama. Itu menjadi pilihan yang diambil hanya jika semua [rencana] gagal. Tujuannya bukan untuk mengerahkan kekuatan, tetapi membuat Taiwan menyerah dan menyadari bahwa kembali ke rumah tidak bisa dihindari.
Strategi ini disebut sebagai diplomasi koersif, dan tujuannya adalah meyakinkan rakyat serta pemerintah Taiwan bahwa perlawanan mereka sia-sia.
Upaya itu sudah dimulai. Pada semester pertama tahun ini, jumlah serbuan pesawat militer China ke wilayah udara Taiwan telah meningkat lebih dari 60% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Beijing terus mendorong batasan yang ada, hingga menciptakan "normal baru.
Taiwan memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
Taiwan meresponsnya menambah durasi wajib militer mereka dari empat bulan menjadi satu tahun. Negara ini juga sedang memperbaiki strategi militernya demi meningkatkan ketahanan terhadap serangan siber dan serangan di dunia nyata.
Taiwan mengikuti jejak Ukraina dengan membeli banyak sistem rudal lebih kecil, namun mobilitasnya lebih fleksibel yang dapat digunakan untuk melawan tank, kapal dan pesawat terbang.
Mereka juga akan meluncurkan kapal selam pertama buatan sendiri.
Tetapi banyak dari prajurit wajib militernya masih kurang terlatih, dan sistem persenjataan serta doktrin militernya sudah ketinggalan zaman.
Ada satu hal yang tampak sangat mencolok. Terlepas dari skala kekuatan ekonomi dan militer China yang sangat tidak proporsional, tekanan psikologis terhadap masyarakat Taiwan tampaknya tidak berhasil.
Lebih dari 70% masyarakat Taiwan menyatakan mereka akan berjuang mempertahankan tanah air mereka. Sejauh ini, mereka tidak percaya bahwa perlawanan akan sia-sia.
Simak Video: Detik-detik Gedung Bertingkat di Moskow Runtuh Akibat Drone Ukraina