Cerita 3 Perempuan Pembelot Korut Mulai Hidup Baru di Korsel

Cerita 3 Perempuan Pembelot Korut Mulai Hidup Baru di Korsel

BBC Indonesia - detikNews
Rabu, 12 Jul 2023 10:27 WIB
bbc
Fasilitas Hanawon di Korea Selatan menawarkan kelas untuk pengungsi Korea Utara, salah satunya memasak
Jakarta -

Di wilayah pedesaan yang berbukit dan bersawah, sekitar dua jam berkendara dari ibu kota Korea Selatan, Seoul, terdapat kompleks bangunan yang tampak berbeda.

Bangunan bertingkat itu menjulang tinggi dibanding sekitarnya, dikelilingi pagar tinggi dan gerbang yang dijaga petugas. Kompleks ini terisolasi, aman, dan privat.

Bangunan itu adalah pusat pelatihan, fasilitas medis, hingga pusat pendidikan ulang, di mana para pembelot Korea Utara ditempatkan selama tiga bulan setelah mereka tiba di Korea Selatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nama dari bangunan itu adalah Hanawon, atau lengkapnya, Pusat Dukungan Pemukiman untuk Pengungsi Korea Utara.

Selama beberapa tahun terakhir, jumlah warga Korea Utara yang menempuh perjalanan berbahaya ke Korea Selatan bahkan mempertaruhkan nyawa apabila tertangkap demi keluar dari kemiskinan dan penindasan telah menurun signifikan.

ADVERTISEMENT

Satu dekade yang lalu, ada hampir 3.000 orang setiap tahunnya yang tiba di Korea Selatan. Jumlah itu menurun menjadi 1.000 orang pada tahun-tahun berikutnya, hingga sampai di bawah 100 orang selama pandemi ketika Korea Utara menutup perbatasannya.

Meskipun demikian, Korea Selatan telah menegaskan kembali komitmennya agar Hanawon tetap buka, bahkan memperluas fasilitasnya.

Pemerintah Korea Selatan meyakini bahwa begitu pembatasan Covid dilonggarkan di Korea Utara, memungkinkan lebih banyak penduduknya untuk melarikan diri. Jika itu terjadi, Hanawon akan terisi kembali.

Menteri Unifikasi Kwon Young-se mengatakan bahwa Korea Selatan perlu bersiap menyambut para pendatang baru ini.

"Kita perlu memikirkan para pembelot bukan sebagai orang asing, tapi sebagai tetangga yang kampung halamannya ada di Utara, kata dia.

Dengan pagar tanaman, bunga-bunga, dan pohon-pohon yang terawat, Hanawon terlihat bersahabat di bawah pancaran sinar matahari musim panas pada Senin, ketika pemerintah Korea Selatan menunjukkan isi fasilitas ini kepada para jurnalis dalam kesempatan yang langka.

Kami diajak mengelilingi pusat pelatihan, di mana para pembelot Korea Utara ditawarkan 22 kursus mulai dari kursus kecantikan, menata rambut, membuat kue, hingga membuat pakaian.

Salah satu ruangan didesain seperti salon, di mana para pembelot mempelajari seni manikur. Mereka menggunakan tangan-tangan model untuk berlatih mengikis kuku hingga memasang kuteks.

Aroma kue yang lezat memenuhi udara, menyeruak dari kelas memasak di ruangan sebelah.

Kursus-kursus lainnya ditujukan untuk membantu warga Korea Utara beradaptasi dengan kehidupan di negara dengan teknologi yang berkembang jauh lebih pesat dibandingkan tempat asal mereka.

Salah satu ruang kelas didesain serupa toko yang menjual dan memajang gawai berteknologi tinggi seperti tablet, telepon pintar, dan komputer.

Sedangkan lantai lainnya, terlihat seperti rumah sakit modern. Ada bangsal kecil, ruang konsultasi, dan dokter yang lalu lalang mengenakan jas medis putih.

Bukan hanya kebutuhan fisik orang Korea Utara yang perlu dipenuhi; banyak yang datang dengan masalah psikologis akut yang butuh ditangani segera.

Baca juga:

Dr Jeon Jin-yong adalah seorang psikiater yang pernah bekerja di Hanawon. Dia mendengar kisah-kisah traumatis yang mengerikan dari warga Korea Utara di fasilitas tersebut.

Dia mengatakan bahwa para pembelot ini harus mengatasi stres dari pengalaman mereka melarikan diri, juga ketakutan terus menerus bahwa mereka akan ditangkap dan dikirim kembali sebelum berhasil sampai ke Korea Selatan.

Banyak yang merasa bersalah karena meninggalkan kerabat mereka di Korea Utara yang mungkin tidak akan pernah mereka temui lagi.

Beberapa orang menghadapi stigma di Korea Selatan dan memilih menyembunyikan fakta bahwa mereka berasal dari Utara.

"Salah satu pasien saya pernah makan siang di sebuah restoran ketika muncul berita di televisi bahwa Korea Utara meluncurkan rudal," kata Dr Jeon.

"Dia merasa sangat tidak nyaman, jadi dia cepat-cepat menghabiskan makanannya dan meninggalkan restoran. Dia khawatir tentang apa yang orang pikirkan jika mereka tahu dia berasal dari Utara."

Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, tiga pembelot perempuan yang berada di Hanawon menceritakan kesulitan yang mereka coba hadapi.

Mereka khawatir mengungkapkan nama mereka sehingga diperkenalkan sebagai A, B dan C. Salah satunya bahkan berbicara dari balik layar.

Ketiganya tiba di Korea Selatan setelah melarikan diri dari China, di mana kehidupan mereka lebih baik dibandingkan di Korea Utara, meski mereka tetap diliputi kecemasan dan bahaya.

Perempuan B mengatakan bahwa dia tidak bisa mendapatkan kartu identitas China, sehingga dia tidak bisa berobat ke rumah sakit, memiliki kartu perbankan, atau bahkan bepergian dengan kereta api.

Perempuan C bercerita bahwa dia dibayar lebih rendah, setengah dari upah pekerja China karena dia tidak bisa menegosiasi lebih lanjut.

Mereka juga menggambarkan bertambah ketatnya pengawasan China sehingga memaksa mereka mencari perlindungan di Korea Selatan.

"Ketika saya pertama kali memutuskan membelot, saya tidak takut pada apa pun karena saya sendirian, kata perempuan A.

"Tetapi kemudian saya memiliki anak di China dan di situ saya menyadari bahwa saya tidak memiliki status hukum.

Ketiga perempuan itu membahas harapan dan kegelisahan mereka pada masa depan. Salah satu dari mereka bahkan khawatir soal kewajiban membayar pajak.

Kim Sunghui memahami apa yang dialami oleh tiga perempuan itu, mengingat dia juga telah lulus dari Hanawon lebih dari satu dekade lalu dan sekarang menjalankan bisnis arak beras yang populer di Korea Utara.

Di Korea Utara, Kim diberi tahu bahwa orang Korea Selatan awalnya akan menyambutnya, tetapi mereka kemudian akan disiksa dan dibunuh.

"Baru setelah saya lulus dari Hanawon, saya akhirnya menyadari bahwa saya aman, kata dia.

Kim menuturkan bahwa pendidikan sebenarnya bagi para pembelot justru dimulai setelah mereka meninggalkan fasilitas Hanawon.

"Malam pertama di luar [Hanawon] adalah kenangan yang tak terlupakan bagi semua pembelot. Saya merasa sangat lega karena saya akhirnya berada di Korea Selatan. Saya memeluk putri saya dan mulai menangis, bukan karena sedih atau kesepian, tapi karena kami selamat, kata pria berusia 49 tahun itu.

Dalam beberapa minggu pertama, Kim masih ingat kebaikan para sukarelawan Korea Selatan yang membantunya menyesuaikan diri.

Mereka menyambutnya ketika dia masuk ke rumah barunya, mereka mengajaknya berkeliling ke toko-toko lokal, bahkan membayarkan ongkos taksi pertamanya. Dia masih berkomunikasi dengan beberapa dari mereka.

Para pembelot yang masih di Hanawon pun mengharapkan kesuksesan serupa.

(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads