Krisis di Rumah Sakit Afghanistan, Bayi-bayi Meninggal Dunia

Krisis di Rumah Sakit Afghanistan, Bayi-bayi Meninggal Dunia

BBC Indonesia - detikNews
Jumat, 05 Mei 2023 21:19 WIB
Krisis di rumah sakit Afghanistan (BBC)
Jakarta -

Tayabullah yang baru berusia tiga bulan diam tak bergerak. Ibunya, Nigar, melepaskan pipa oksigen dari hidungnya dan meletakkan jari di bawah lubang hidungnya untuk mengecek apakah ia masih bernapas.

Perempuan itu mulai menangis ketika ia menyadari bahwa putranya semakin meredup. Di rumah sakit Afghanistan ini, tidak ada satu pun ventilator yang berfungsi.

Para ibu memegang tabung oksigen di dekat hidung bayi mereka karena tidak ada masker yang dirancang agar muat dengan wajah anak kecil, dan perempuan-perempuan itu berusaha melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh staf terlatih atau peralatan medis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiap hari, 167 anak meninggal di Afghanistan akibat penyakit yang dapat dicegah, menurut organisasi Unicef penyakit yang bisa, dan seharusnya, disembuhkan dengan obat yang tepat.

Ini adalah angka yang mengejutkan. Tetapi baru perkiraan.

ADVERTISEMENT

Dan ketika Anda masuk ke bangsal khusus anak-anak di rumah sakit terbesar di Provinsi Ghor, Afghanistan barat, Anda akan bertanya-tanya apakah perkiraan itu terlalu rendah.

Beberapa kamar penuh dengan anak-anak yang sakit, sedikitnya dua anak di setiap tempat tidur, tubuh kecil mereka dirusak oleh pneumonia. Hanya ada dua perawat yang merawat 60 anak.

Di satu ruangan, kami melihat setidaknya puluhan bayi yang tampaknya dalam kondisi serius. Anak-anak seharusnya terus dipantau dalam perawatan kritis hal yang mustahil di rumah sakit ini.

Namun, bagi jutaan orang yang tinggal di Ghor, fasilitas dasar ini masih menjadi rumah sakit umum dengan perlengkapan terbaik yang dapat mereka akses.

Ibu dan bayi mereka di rumah sakitBBCPara ibu kebingungan di rumah sakit Afghanistan ini, tempat banyak anak meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah atau disembuhkan.

Layanan kesehatan publik di Afghanistan memang tidak pernah memadai, dan dana asing yang membiayai hampir seluruhnya dibekukan pada Agustus 2021 ketika Taliban merebut kekuasaan. Selama 20 bulan terakhir, kami telah mengunjungi rumah sakit dan klinik di seluruh negeri ini, dan menyaksikan mereka kolaps.

Sekarang, larangan Taliban baru-baru ini terhadap perempuan yang bekerja untuk LSM berarti lembaga kemanusiaan semakin sulit untuk beroperasi, menempatkan lebih banyak anak dan bayi dalam bahaya.

Perawat Edima SultaniBBC

Sudah disulitkan oleh kurangnya sumber daya, para tenaga kesehatan (nakes) di rumah sakit Ghor menggunakan sedikit sumber daya yang mereka punya untuk berusaha membangkitkan kembali Tayabullah.

Dr Ahmad Samadi dipanggil untuk memeriksa kondisi sang bayi, letih dan stres tampak jelas di wajahnya. Ia meletakkan stetoskop ke dada Tayabullah - ada detak jantung yang samar.

Perawat Edima Sultani bergegas masuk dengan pompa oksigen. Ia meletakkannya di atas mulut Tayabullah, meniupkan udara ke dalamnya. Kemudian Dr Samadi menggunakan ibu jarinya untuk melakukan kompresi pada dada mungil bocah itu.

Kakek Tayabullah, Ghawsaddin, menyaksikan semua itu. Ia memberi tahu kami bahwa cucunya menderita pneumonia dan kekurangan gizi.

"Butuh delapan jam melalui jalanan tak beraspal untuk membawanya ke sini dari distrik kami Charsadda," kata Ghawsaddin. Keluarga itu, yang hanya mampu makan roti kering untuk menyambung hidup, mengumpulkan sedikit uang yang mereka punya untuk ongkos perjalanan.

Baca juga:

Selama setengah jam, upaya untuk membangkitkan kembali cucunya terus berlanjut. Perawat Sultani kemudian berbalik ke arah Nigar dan mengatakan kepadanya bahwa Tayabullah telah meninggal.

Keheningan tiba-tiba yang menyelimuti ruangan itu dipecahkan oleh isak tangis Nigar. Bayi laki-lakinya dibungkus dengan selimut dan diserahkan kepada Ghawsaddin. Keluarga itu membawanya pulang.

Tayabullah seharusnya masih hidup setiap penyakit yang ia derita dapat disembuhkan.

"Saya juga seorang ibu dan ketika saya melihat bayi itu meninggal, rasanya seperti kehilangan anak saya sendiri. Ketika saya melihat ibunya menangis, hati saya hancur. Hati nurani saya sakit," kata perawat Sultani, yang sering bekerja dengan sif 24 jam.

"Kami tidak punya peralatan dan kekurangan staf terlatih, terutama staf perempuan. Ketika kita merawat begitu banyak orang dalam kondisi serius, anak mana yang harus kita periksa terlebih dahulu? Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menyaksikan bayi-bayi mati."

anak dengan selang oksigenBBCTidak ada masker oksigen yang cukup kecil untuk wajah bayi di rumah sakit.

Beberapa menit kemudian, di kamar sebelah, kami melihat anak lain yang sedang dalam kesulitan parah, dengan masker oksigen di wajahnya, berjuang untuk bernapas.

Gulbadan yang berusia dua tahun lahir dengan cacat jantung, suatu kondisi yang disebut patent ductus arteriosus. Ia didiagnosis enam bulan lalu di rumah sakit ini.

Dokter memberi tahu kami bahwa kondisi ini bukan kondisi yang jarang atau sulit diobati. Tetapi rumah sakit terbesar di Ghor tidak punya perlengkapan untuk melakukan operasi rutin yang dapat menyembuhkannya. Mereka juga tidak memiliki obat-obatan yang dia butuhkan.

Nenek Gulbadan, Afwa Gul, menahan lengan kecil gadis kecil itu, untuk mencegahnya menurunkan masker oksigennya.

"Kami meminjam uang untuk membawanya ke Kabul, tetapi kami tidak mampu membayar untuk operasi, jadi kami harus membawanya pulang," katanya. Mereka telah meminta bantuan keuangan ke sebuah LSM. Data mereka dicatat tetapi tidak ada tanggapan sejak saat itu.

Ayah Gulbadan, Nawroze, membelai dahi putrinya, mencoba menenangkan anak perempuan itu yang meringis dengan setiap napas yang diambilnya. Stres terukir di wajahnya, dia menghela napas pasrah.

Dia memberi tahu kami bahwa Gulbadan baru saja mulai berbicara, mengucapkan kata-kata pertamanya, memanggil nama ayahnya dan anggota keluarga mereka yang lain.

Anak kecil dengan masker oksigen di wajahnyaBBCRumah sakit di Ghor tidak punya peralatan yang cukup untuk merawat Gulbadan yang berusia dua tahun.

"Saya seorang pekerja kasar. Saya tidak punya penghasilan tetap. Kalau saya punya uang, dia tidak akan pernah menderita seperti ini. Saat ini, saya bahkan tidak mampu membeli secangkir teh," katanya.

Saya bertanya kepada Dr Samadi berapa banyak oksigen yang dibutuhkan Gulbadan.

"Dua liter setiap menit," katanya. "Ketika silinder ini kosong, jika kita tidak menemukan yang lain, dia akan mati."

Ketika kami kembali lagi di kemudian waktu untuk mengecek kondisi Gulbadan, kami diberi tahu bahwa itulah yang terjadi. Tabung oksigen sudah habis, dan dia meninggal.

Unit produksi oksigen di rumah sakit tidak bisa menghasilkan oksigen yang cukup karena hanya bisa dinyalakan di malam hari, dan tidak ada pasokan bahan baku yang tetap.

Dr. Ahmad SamadiBBC

Baca juga:

Dalam hitungan beberapa jam, dua anak lagi meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah atau disembuhkan. Ini adalah pukulan telak tetapi terlalu sering bagi Dr Samadi dan rekan-rekannya.

"Saya merasa lelah dan tersiksa. Setiap hari kami kehilangan satu atau dua anak di Ghor. Kami hampir sudah terbiasa sekarang," katanya.

Berjalan di sekitar kamar, kami melihat begitu banyak anak-anak dalam kesulitan. Napas Sajad yang berusia satu tahun terengah-engah. Dia menderita pneumonia dan meningitis.

Di tempat tidur lain adalah Irfan. Ketika napasnya menjadi semakin berat, ibunya Zia-rah diberi pipa oksigen lain untuk ditahan di dekat hidungnya.

Menyeka air mata yang mengalir di pipinya dengan lengan atasnya, dia dengan hati-hati memegang kedua pipa sestabil yang dia bisa. Dia berkata kepada kami bahwa dia akan membawa Irfan ke rumah sakit setidaknya empat atau lima hari lebih awal seandainya jalanan tidak terhalang oleh salju.

Begitu banyak yang pergi ke rumah sakit saja tidak bisa, dan yang lain memutuskan untuk pulang kembali begitu mereka sampai di sana.

"Sepuluh hari yang lalu seorang anak dibawa ke sini dalam kondisi yang sangat kritis," kata Perawat Sultani. "Kami memberinya suntikan, tetapi kami tidak punya obat untuk menyembuhkannya.

"Jadi ayahnya memutuskan untuk membawanya pulang. 'Kalau dia harus mati, biarkan dia mati di rumah'," katanya kepada saya.

Para ibu dengan anak-anak mereka di ranjang rumah sakitBBCPara ibu duduk di samping anak-anak mereka dengan silinder oksigen tetapi rumah sakit tidak mampu menyediakan jumlah yang cukup.

Pemandangan yang kita lihat di Ghor menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana bisa fasilitas kesehatan publik di Afghanistan kolaps begitu cepat, padahal miliaran dolar dicurahkan untuk itu oleh masyarakat internasional selama 20 tahun sampai 2021.

Ke mana perginya semua uang itu, kalau rumah sakit provinsi saja tidak punya satu pun ventilator untuk pasiennya?

Saat ini ada pengaturan sementara. Karena uang tidak bisa diberikan langsung kepada pemerintahan Taliban yang tidak diakui secara internasional, lembaga-lembaga kemanusiaan turun tangan untuk membayar gaji staf medis dan ongkos obat-obatan dan makanan, yang sekadar menjaga rumah sakit seperti yang ada di Ghor tetap buka.

Sekarang, pendanaan itu, yang sudah sangat tidak efisien, juga terancam dicabut. Lembaga-lembaga bantuan memperingatkan bahwa donor mereka bisa mengurangi sokongan karena berbagai pembatasan Taliban pada perempuan, termasuk larangan bekerja untuk PBB dan LSM, melanggar hukum internasional.

Hanya 5% dari permintaan bantuan PBB untuk Afghanistan yang sudah didanai sejauh ini.

Tumpukan batu menandai kuburanBBC

Kami berkendara ke atas salah satu bukit dekat rumah sakit Ghor menuju tempat pemakaman. Tidak ada catatan atau register di sini, bahkan tidak ada penjaga kuburan, jadi tidak mungkin untuk mengetahui siapa saja yang dikubur di situ. Tetapi mudah untuk membedakan kuburan besar dari yang kecil.

Dari pengamatan kami, jumlah yang tidak proporsional - setidaknya setengah - dari kuburan baru adalah kuburan anak-anak.

Seorang pria yang tinggal di sebuah rumah di dekat situ juga memberi tahu kami bahwa sebagian besar dari mereka yang mereka kuburkan akhir-akhir ini adalah anak-anak.

Mungkin tidak ada cara untuk menghitung berapa banyak anak yang meninggal, tetapi ada bukti di mana-mana tentang skala krisis ini.

Laporan tambahan oleh Imogen Anderson dan Sanjay Ganguly

(haf/haf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads