Universitas-universitas di Afghanistan sudah mulai dibuka kembali setelah libur musim dingin, namun semester baru ini kembali mengingatkan perempuan betapa dunia mereka semakin mengecil.
Kementerian pendidikan tinggi mengumumkan pada akhir tahun lalu bahwa mahasiswa perempuan akan dilarang kembali ke kelas, membatalkan kebijakan yang membolehkan mereka untuk melanjutkan studi setelah pemerintahan Taliban mengambil alih kekuasaan di Kabul pada 2021.
"Sekarang saya bukan siapa-siapa," kata seorang mahasiswi tingkat empat di jurusan ilmu komputer.
"Rencana saya awalnya adalah lulus kuliah, ambil S2, kemudian S3. Saya ingin bekerja dan mengabdi kepada bangsa, rakyat, dan negara. Saya tidak bisa melakukannya sekarang."
Baru beberapa bulan sebelumnya, ia dan kawan-kawannya bercakap-cakap tentang persiapan kelulusan.
Sekarang, beberapa perempuan muda yang bicara kepada BBC mengatakan mereka menangis ketika mereka mengenang masa-masa yang indah dan penuh harapan dan ketika mereka melihat para saudara dan sepupu laki-laki mereka kembali belajar tanpa mereka.
Baca juga:
- Keputusan Taliban batalkan anak perempuan bersekolah karena seragam merusak masa depan Afghanistan
- Kisah frustrasi para pelajar perempuan Afghanistan yang dilarang bersekolah oleh Taliban
- Dilarang Taliban, warga dirikan 'sekolah rahasia' untuk anak-anak perempuan
Atefa, satu-satunya yang bersedia nama depannya digunakan untuk artikel ini, adalah seorang mahasiswi jurusan ilmu komputer berusia 19 tahun di Herat yang bahkan tidak mendapat kesempatan untuk membuat kenangan itu.
Gadis itu baru saja lulus ujian masuk universitas dan berencana untuk menjadi pengembang website, tetapi "semuanya sekarang sia-sia", ujarnya.
"Saya dan kawan-kawan saya bekerja sangat keras untuk lulus ujian [tetapi] cita-cita saya tidak bisa terwujud... itu sudah berakhir."
Larangan kuliah bagi perempuan yang diumumkan pada Desember 2022 memicu aksi protes. (Reuters)
Ada banyak akhir bagi perempuan di Afghanistan seiring Taliban kembali membatasi hak dan kebebasan mereka satu per satu, mengucilkan mereka dari ruang publik.
Anak-anak perempuan sudah dilarang menghadiri sekolah menengah tahun lalu sebelum pemerintah memberlakukan larangan yang sama pada mahasiswi.
Beberapa pejabat Taliban berkata larangan ini sementara. Mereka menjabarkan berbagai dalih dari tuduhan pelanggaran kode berpakaian yang ketat, kekurangan biaya, hingga keperluan untuk mengubah model silabus agar lebih sesuai dengan ajaran Islam.
Baca juga:
- 'Apakah Islam mengajarkan untuk menyakiti perempuan seperti ini?' - Kisah murid perempuan Afghanistan batal sekolah
- Taliban larang mahasiswi belajar di ruangan yang sama dengan mahasiswa di kampus
- Ratu Soraya mengangkat hak perempuan, isu kerudung dan anti-poligami di Afghanistan pada 1920an
Namun ada bukti ketidaksepakatan di dalam jajaran Taliban, dengan para ulama yang menjadi penasihat pemimpin tertinggi organisasi itu Hibatulla Akhundzada sangat menentang perempuan bekerja dan mendapatkan pendidikan.
Kenyataannya ialah kebanyakan universitas sudah menerapkan langkah-langkah untuk memisahkan laki-laki dan perempuan.
"Kalau mereka menyuruh kami mengenakan hijab, kami dengan senang hati melakukannya," kata seorang mahasiswa tingkat dua jurusan teater di Universitas Kabul. "Kalau harus ada pemisah di kelas, kami juga dengan senang hati menerimanya, tapi setidaknya biarkan kami belajar."
Larangan ini juga traumatik bagi para mahasiswa pria.
Kembali ke kelas rasanya seperti menghadiri pemakaman, kata seorang mahasiswa di timur Afghanistan.
"Rasanya seperti ada yang meninggal di universitas kami," ujarnya. "Semua orang sangat marah. Saya tahu alasannya... tapi saya takut bicara karena saya pikir pemerintahan Taliban akan menangkap saya."
Anak-anak perempuan masih boleh pergi ke sekolah dasar di Afghanistan tetapi mereka dilarang mendapatkan pendidikan di atas itu. (EPA)
"Anda tidak bisa membangun negara hanya dengan laki-laki," kata seorang pria muda lain di provinsi Parwan. "Kita butuh perempuan untuk bekerja sama bahu-membahu."
Ia berkata kepada BBC bahwa meskipun perempuan yang telah dilarang, "kami merasa ada batasan untuk kami juga".
Suara-suara protes telah dibungkam. Taliban memisahkan demonstrasi kecil-kecilan di luar kantor PBB pada hari Selasa (07/03). Media sosial juga menunjukkan beberapa mahasiswa perempuan duduk-duduk di pinggir jalan di luar Universitas Kabul sambil membaca buku.
Beberapa perempuan mengeluarkan pernyataan bersama yang meminta mahasiswa pria memboikot kelas sampai universitas dibuka untuk semua. Namun sejauh ini itu belum terjadi.
Seorang mahasiswa tingkat dua jurusan bahasa mengatakan boikot hanya akan buang-buang waktu karena tidak ada yang akan berubah.
Namun, ia menantang Taliban untuk "tunjukkan kepada saya satu ayat Al-Qur'an yang mengatakan perempuan tidak boleh sekolah".
"Jika saya benar dan tidak ada ayat seperti itu, maka perempuan harus diizinkan untuk belajar di sekolah dan universitas," ujarnya. "Kita perlu ... karyawan perempuan karena laki-laki tidak bisa melakukan semua pekerjaan sendirian."
Perlakuan Taliban terhadap perempuan telah membuat geram komunitas internasional, dan semakin mengisolasi Afghanistan pada saat ekonominya kolaps. Laporan PBB yang dirilis pekan ini menyebut larangan ini dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam wawancara dengan BBC Pashto, Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi mengakui bahwa masih ada "beberapa kekurangan" dalam hal pekerjaan dan pendidikan bagi perempuan.
Namun "itu tidak sepenuhnya tertutup," ujarnya, menekankan bahwa puluhan ribu perempuan masih bekerja di kementerian pemerintah.
"Kami berharap masalah-masalah ini akan selesai perlahan-lahan," imbuhnya tanpa menjelaskan lebih lanjut. "Dunia mesti sabar dalam hal ini."
Beberapa mahasiswa perempuan masih berharap pada rumor bahwa larangan pendidikan akan dicabut pada 23 Maret. Tanggal tersebut adalah awal formal tahun akademik universitas telah dibuka lebih awal supaya mahasiswa dapat mengejar pelajaran yang mereka lewatkan tahun lalu.
Tetapi itu adalah harapan putus asa yang lahir dari rasa kehilangan dan nelangsa yang amat sangat.
"Biarkan kami menyelesaikan pendidikan kami," kata si mahasiswa jurusan teater, "supaya kami dapat melakukan sesuatu untuk masa depan kami."
Lihat juga Video 'Penampakan Maneken Tanpa Wajah di Afghanistan':