Kisah Chuck Wepner, 'Rocky' di Dunia Nyata yang Pernah Jatuhkan Muhammad Ali

ADVERTISEMENT

Kisah Chuck Wepner, 'Rocky' di Dunia Nyata yang Pernah Jatuhkan Muhammad Ali

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 06 Mar 2023 17:41 WIB
Wepner menjadi orang keempat yang pernah mengkanvaskan petinju legendaris Muhammad Ali selama kariernya. (BBC Sport)
Jakarta -

Chuck Wepner kini berusia 83 tahun dengan tinggi badan 195 cm. Bahu mantan petinju itu lebar dan tangannya kaku; kapalan di jemarinya merupakan sisa-sisa dari kehidupannya yang penuh dengan berkelahi.

Pekerjaannya sebagai petinju profesional juga mencederai bagian-bagian tubuhnya yang lain.

"Saya dulu sering berdarah-darah. Sepanjang karier, saya mendapat 328 jahitan. Hidung saya sudah patah sembilan kali dalam 16 tahun terakhir. Dan itu tidak pernah mengganggu saya," kata Wepner dengan ringan kepada BBC Sport.

Bahkan, karena mukanya seringkali terluka saat bertarung dalam area tinju, ia mendapatkan julukan yang berawal dari ejekan.

Wepner dijuluki Bayonne Bleeder (orang berdarah dari Bayonne) karena ia berasal dari Kota Bayonne di New Jersey yang masih ia sebut kampung halamannya. Sebagai petinju, julukan itu juga sangat pas dengan dirinya.

Sebab pertarungan paling legendaris dalam hidupnya pun berlumuran darah.

"Tony Perez adalah wasit dalam pertarungan saya dengan Muhammad Ali," kata Wepner, mengingat kembali pertarungan pada 1975 itu.

"Setelah saya jatuh tersungkur, ia mengatakan kepada saya: 'Chuck, kamu terlalu banyak mengeluarkan darah.'

"Saya bilang, 'Tidak mungkin, berikan saya ronde ini. Biarkan saya menyelesaikan pertarungan, saya baik-baik saja.'

"Jadi Tony berkata: 'Ok Chuck, berapa banyak jari saya?'

"Saya melihat tangannya dan bertanya: 'Saya mendapatkan berapa kesempatan?'"

Terlepas dari protes Wepner dan kekecewaan 15.000 penonton yang memenuhi Richfield Coliseum di Ohio, sang wasit memberhentikan pertarungan itu hanya 19 detik sebelum ronde 15 berakhir.

Wepner memerlukan 23 jahitan setelah perkelahian itu dan membawa pulang hanya seperlimabelas dari bayaran yang diterima Ali.

Meski begitu, seperti kebanyakan momen dalam hidup Wepner, ia merasa jika ia hanya berfokus pada luka-lukanya ia akan kehilangan momen hebat yang telah dicapainya.

Sebagai petinju berat purnawaktu berusia 36 tahun dari daerah 'tak karuan' seperti New Jersey, Wepner dianggap sebagai orang luar dengan peluang 10 banding 1 sebelum bertarung dengan Ali.

Ia belum pernah berlatih di bawah bimbingan pelatih berdedikasi. Tetapi ia mampu melampaui ekspektasi orang-orang dengan aksinya.

Chuck Wepner berpose di kota asalnya, Bayonne pada 2006Getty ImagesChuck Wepner berpose di kota asalnya, Bayonne, pada 2006.

Wepner tak hanya mampu bertahan sepanjang pertarungan melawan juara dunia yang merupakan salah satu sosok terhebat di dunia tinju, dia juga menjadi orang keempat dalam sejarah yang mengkanvaskan Ali.

Salah satu penonton pertarungan legendaris itu yang menonton lewat tayangan televisi dari bioskop di Los Angeles sangat terinspirasi oleh kisah Wepner dan momen ketika ia menjatuhkan Ali.

Si penonton ini bergegas pulang dan menciptakan karakter baru untuk naskah film yang muncul di benak pikirannya.

Setelah banyak naskah lamanya terbuang, penulis itu menulis kisah seorang petinju yang sudah melampaui masa kejayaannya. Naskah tersebut dia selesaikan dalam kurun waktu tiga setengah hari.

Film yang diadaptasi dari naskahnya akhirnya menjadi film paling laris pada 1976, memenangkan tiga piala Oscar pada 1977, meluncurkan karier Sylvester Stallone, dan menjadi salah satu kisah paling terkenal di era modern.

Ya, Chuck Wepner adalah sosok nyata yang yang menginspirasi karakter petinju fiktif Rocky Balboa. Bagi Wepner, itu hanyalah awal dari babak baru.

Awal mula karier tinju Chuck Wepner

Di Taman Dennis P Collins, sebuah taman bermain sempit di tepi Newark Bay yang berseberangan dengan New York, wali kota setempat berbicara kepada khalayak umum saat hendak meresmikan patung perunggu seberat 1.113 kilogram.

"Ada tokoh-tokoh dari Jersey yang sangat terkenal sampai kami mengenal mereka dengan nama depannya: ada Frank, ada Bruce, dan ada Chuck."

Saat nama terakhir disebut dalam deretan Sinatra dan Springsteen, sekitar 400 orang yang hadir di taman itu bersorak dan bertepuk tangan untuk pahlawan lokal yang hadir di tengah-tengah mereka.

Chuck Wepner datang mengenakan pakaian olahraga dan topi kuning, tersenyum dan mengangguk dari tempat ia berdiri bersama petinju hebat Larry Holmes dan Gerry Cooney. Mereka hadir untuk menghormati teman mereka.

"Sebenarnya saya lahir di New York," ungkap Wepner, "Saya pindah ke [New] Jersey saat saya baru berusia satu setengah tahun setelah orang tua saya bercerai. Ibu saya membesarkan kami di sini setelah itu."

Di jalan Kota Bayonne, hanya selangkah dari Collins Park di tempat buruh pelabuhan, kaum mafia, dan pekerja kilang minyak berkumpul, Wepner mulai mengasah kemampuan tinju.

"Di tempat saya dibesarkan, selalu ada dua atau tiga geng," kata dia. "Dan biasanya Anda harus ke sana dan mengalahkan pria paling kuat untuk bertahan hidup, itu sudah saya lakukan. Saya dulu berkelahi hampir setiap minggu."

Ia tidak hanya bertarung di jalanan. Wepner juga merupakan atlet yang menjanjikan. Ia bermain untuk tim basket sekolahnya di turnamen-turnamen lokal.

Namun, ketika ia menyadari bahwa 'ada bayaran lebih besar yang bisa ia dapat dari memukuli orang', ia berkomitmen untuk menekuni tinju.

Perkembangannya sempat terjeda karena Wepner bergabung dengan marinir.

Wepner mendaftarkan diri secara ilegal pada usia 15 tahun setelah menonton film Battle Cry dan membujuk ibunya untuk menandatangani dokumen-dokumen palsunya.

Tetapi setelah ia masuk ke dalam turnamen tinju tingkat amatir New York Golden Gloves saat ia berusia 18 tahun, ia lebih menyukai itu ketimbang menjadi marinir.

"Saya menembus orang-orang itu seperti mentega, mereka belum pernah melihat apa pun seperti gaya berkelahi saya," kata Wepner.

Baca juga:

Di Madison Square Garden, Wepner mematahkan hidung petinju setempat yang bernama Bob the Pistol dan mengalahkan James Sullivan, jagoan kepolisian Pulau Staten, saat ia hendak meraih gelar juara pada 1964.

Tak lama kemudian, ia berhasil menjadi petinju profesional. Ia berpartisipasi dalam 52 pertarungan sepanjang kariernya.

Dari 52 pertarungan itu, ia menang 36 babak. Beberapa di antaranya menghadapkan Wepner dengan tokoh-tokoh tinju terkenal seperti Buster Mathis, George Foreman, Joe Bugner, Ernie Terrell dan Muhammad Ali.

Tetapi, menurut Wepner, pertarungan pertengahan kariernya dengan Sonny Liston pada 1970 merupakan titik balik kariernya.

"Saya pikir saya akan mengambil jalan pintas," ujar Wepner. "Tapi ternyata itu tidak bisa disebut jalan pintas juga karena Sonny badannya terlalu besar dan terlalu kuat."

"Ia mematahkan hidung saya, saya butuh 71 jahitan dan rahang saya retak. Saya masih mencoba mengejarnya pada ronde ke-10 tetapi dokter memberhentikan ronde karena saya mengeluarkan terlalu banyak darah."

Selain tulang-tulang patah, setiap jahitan yang pernah ia dapat selama kariernya hanya diobati dengan es untuk menghilangkan rasa sakit.

"[Luka-luka] itu sakit," tambahnya. "Tetapi saya mempersiapkan mental untuk itu. Dalam nyaris setiap pertarungan, saya tahu saya pasti akan terluka. Delapan atau 10 jahitan? Itu hanya sebuah torehan!"

Bersedia meninggal dalam arena tinju, ungkap Wepner, juga menjadi sebuah bagian kunci dalam perisai pertahanannya.

"Ya Tuhan, pastinya. Saya masuk ke arena siap mati," kata Wepner. "Bahkan, setelah pertarungan dengan Liston, saya sempat nyaris koma dan saya sampai syok. Dokter saya memberitahu ibu saya bahwa saya lumayan terpukul berat.

"Saya benar-benar memikirkan apakah saya ingin terus saja. Tapi kemudian saya berpikir, saya harus mencoba, saya harus mencoba lagi. Saya harus mencobanya sekali lagi."

Pertarungan legendaris dengan Muhammad Ali

Pertarungan Ali lawan Wepner muncul usai kemenangannya melawan Joe Frazier dan George Foreman dalam dua perlawanan sebelumnya.Getty ImagesPertarungan Ali lawan Wepner muncul usai kemenangannya melawan Joe Frazier dan George Foreman dalam dua perlawanan sebelumnya.

Chuck Wepner kembali ke arena dan, setelah dua kemenangan dan tiga kekalahan, dia meraih delapan kemenangan beruntun antara 1972 hingga 1974.

Prestasi ini membuatnya menarik perhatian Don King, seorang promotor tinju terkenal di AS.

King menyebut pertarungan antara Wepner dan Ali, di Richfield Coliseum, sebagai pertarungan yang memberi kesempatan bagi orang kulit putih.

Dalam era kejayaan ketika olahraga tinju kelas berat didominasi oleh pria kulit hitam, King dengan sinis merasa bahwa dia akan menarik audiens lebih besar jika Ali diadu melawan petinju kulit putih asal Amerika untuk pertarungan pertama dalam mempertahankan gelar juara dunia barunya.

Namun harapan King untuk mendapatkan pertarungan sengit antara kedua ras itu, betolak belakang dengan kekaguman Wepner pada Ali.

"Saya sangat senang dan merasa terhormat berada di atas ring bersama Muhammad Ali. Pria paling terkenal yang pernah ada! Saya sangat bangga," kata Wepner.

"Semalam sebelum pertarungan, pemilik Coliseum mengundang saya dan Ali ke kotak pribadinya untuk makan malam. Ada meja besar dan saya duduk tepat di sebelah Ali.

"Selama beberapa jam kami duduk dan berbicara bersama, dia menunjukkanku beberapa trik sulap. Saya menyukainya. Saya menyukai Ali. Kami menjadi teman baik."

Baca juga:

Esok harinya, setelah James Brown merusak lagu kebangsaan AS dengan melupakan banyak lirik dan mengubah akhir lagu itu sebagai sahut-sahutan dengan para penonton, Wepner mengesampingkan pertemanannya dengan Ali dan mulai menyusun rencana untuk menang.

"Siasat saya adalah untuk menekan dia, membuat dia lelah, dalam paling tidak empat dari lima ronde, mungkin melawannya dalam ronde-ronde berikutnya."

"Jadi saya mendesaknya, saya melempar pukulan badan. Saya seharusnya bisa menang tiga atau empat dari ronde itu. Tetapi bagi juri, jika berhadapan dengan Ali, Anda harus bisa mengkanvaskannya untuk mengalahkannya."

Para penonton, yang sebelumnya mengharapkan kekalahan dari penantang, mulai memperhatikan tipu muslihat Wepner yang tak terduga.

Alih-alih bersorak "Ali! Ali!" mereka mulai mendukung sang underdog dengan teriakan "Chuck! Chuck!" yang bergema sekitar arena.

Terdorong oleh dukungan para penonton, Wepner mampu menemukan celah dalam pertahanan Ali. Pada ronde kesembilan, ia segera mengambil kesempatan untuk mengeksploitasinya.

Wepner menyelinap di bawah jab kiri sang juara untuk mendaratkan pukulan ke tubuh dengan tangan kanannya yang membuat Ali terhuyung-huyung ke atas kanvas.

Para pendukung Ali kemudian berargumen bahwa Wepner menjatuhkan jagoan mereka sehingga Ali kehilangan pijakannya, tetapi Wepner tetap bersikukuh.

"Sumpah demi hidupku, saya menjatuhkannya," katanya.

"Saya memukulnya dengan tonjokan itu dan Anda bisa mendengarnya di tayangan ulang, saya merasakan pukulan itu sampai ke bahu saya. Dia kehilangan keseimbangan dan saya menjatuhkannya dan dia tahu itu."

Melihat Ali bangkit dari posisinya di sudut netral, Wepner melihat sebuah perubahan.

Dia bilang: "Saya bisa melihat dalam tatapannya dan saya berpikir: Saya benar-benar membuatnya marah sekarang! Itulah ketika dia mulai membalas pukulan dan menyumpahiku."

Merasa kesal karena dijatuhkan, Ali terus menyerang Wepner tanpa henti. Para penonton berteriak agar penantang dari kelas bawah itu terus berjuang hingga semakin jauh.

Aksi balas dendam dari Ali membuat Wepner hanya bertahan kurang 19 detik dari batas waktu ronde.

Kelanjutan hidupnya setelah kalah melawan Ali

Ketenaran yang datang setelah kekalahannya melawan Muhammad Ali dan kaitannya dengan film Rocky membantu Wepner menempuh jalan hidup baru.

Dalam upayanya untuk meraup untung lebih, King mengatur agar Wepner bertarung dengan pegulat legendaris Andre Rene Roussimoff, atau yang lebih dikenal dengan sebutan 'Andre Si Raksasa'.

Perlawanan tersebut diselenggarakan sebagai program pendukung atau undercard pertandingan Ali di Shea Stadium di New York. Wepner, meski pertandingan tersebut bertahap, kalah setelah hitungan habis.

Pertandingan tersebut jauh dari lawannya yang paling tidak biasa.

Belakangan dalam kariernya, Wepner sudah dua kali melawan seekor beruang bernama Victor dalam pertandingan gulat di bar New Jersey.

Wepner terlempar ke ujung ring setelah membuat hewan itu gelisah dengan tinjuan berulang kali ke kepala.

Ia juga melakukan pekerjaan-pekerjaan lain, di samping profesinya sebagai petinju.

Untuk mendongkrak pekerjaannya sebagai penjual di bar-bar untuk minuman keras merek Allied Liquor, dia juga "menyelesaikan masalah" dalam bentuk orang-orang yang telat bayar utang.

"Katakanlah, saya memberi bantuan kepada beberapa teman saya," kata Wepner.

"Saya biasa berkeliling dan bertanya kepada orang-orang dengan sopan [tentang uang yang mereka utang] dan kemudian mungkin saya harus menampar wajah mereka atau semacamnya."

Tetapi setelah ia pensiun dari dunia tinju pada 1979, keadaan mulai memburuk. Wepner sering berpesta dan mengonsumsi banyak kokain.

Kombinasi kedua hal ini membuatnya gagal dalam audisi untuk tampil di film Rocky II bersama Stallone yang sekarang menjadi bintang terkenal.

Pada 1985, ia ditemukan bersalah karena menyimpan narkoba dan divonis 10 tahun penjara. Hukuman ini mengirimnya ke Penjara Northern State di Newark.

Banyak pria yang menganggap penjara akan menjadi tantang sulit untuk bertahan hidup, tetapi tidak bagi Wepner.

"Itu semua baik-baik saja," katanya. "Ke mana pun saya pergi, orang-orang bernyanyi: 'Champ, Champ!' Dan berkata kepadaku: 'Bagaimana kabarmu, Chuck?'

"Anda bisa bilang saya bersama orang-orang yang tepat [di penjara]. Saya akhirnya berada di satu unit dengan beberapa orang dari lingkungan itu. Saya mengenal mereka, mereka mengenal saya."

Setelah Wepner secara sukarela membimbing tim tinju di penjara, sebuah usaha yang berujung gagal akibat kurang personel, Wepner diberi pembebasan bersyarat selama tiga tahun.

Kemudian muncul gugatan terhadap Stallone.

Wepner (kanan) mengumumkan gugatannya terhadap Stallone pada konferensi pers tahun 2003, berpose di depan foto dirinya dengan bintang film tersebutGetty ImagesWepner (kanan) mengumumkan gugatannya terhadap Stallone pada konferensi pers pada 2003, berpose di depan foto dirinya dengan bintang film tersebut.

Wepner, yang sebelumnya tidak tercantum namanya, menggugat karena meminta kompensasi atas peran dia dalam menginspirasi waralaba film Rocky.

Kasus gugatan itu diselesaikan dengan jumlah bayaran yang tak dibuka ke publik pada 2006.

Hasil sidang itu memberikan Wepner kewenangan untuk mengatakan secara resmi bahwa ia adalah sosok yang menginspirasi film itu, serta itu memberinya kesempatan untuk membuat film tentang kisah hidupnya tanpa permasalahan hukum.

Sebuah film tentang hidupnya dirilis pada 2016.

"Hal yang paling menarik tentang cerita Chuck bukanlah bagian tentang film Rocky, tetapi bagaimana dia menghadapi segala rintangan yang muncul dalam hidupnya," kata aktor Liev Schreiber, yang berperan sebagai Wepner dalam film Chuck.

"Dia melawan iblis-iblisnya sendiri yang lebih susah dikalahkan daripada petinju kelas berat mana pun yang pernah ia lawan. Dan dia menang karena keuletan dan hatinya.

"Setiap kali Ali memukul mulutnya dengan pukulan hebat itu, ia terlihat semakin senang. Anda tidak bisa membunuh pria seperti itu. Itulah semangat tak terkalahkan milik Chuck.

"Itu kisah yang menyentuh bagi saya, dan itu mengapa saya ingin membuat film ini."

Baca juga:

Meski dirinya sudah terpapar pada layar lebar, Wepner membutuhkan waktu lebih lama untuk diabadikan dalam perunggu.

Wepner memiliki seorang teman lama bernama Bruce Dillin, pemilik Dillin Tires di Bayonne, sebuah garasi mobil dengan ruang tunggu berantakan yang berfungsi sebagai museum tidak resmi Chuck Wepner.

Ia adalah salah satu dari segelintir orang yang ingin mempertahankan namanya.

Di bawah potret-potret yang memperlihatkan Wepner alias the Bayonne Bleeder, potongan koran dan celana tinju yang dibingkai yang Dillin akui Wepner belum pernah pakai, pemilik garasi itu membicarakan ide patung yang berawal dari guyonan.

"Chuck memberikan saya penghargaan komunitas di depan banyak orang-orang penting setempat. Dan saya tahu pasti dia akan bercanda tentang saya jadi saya mengejeknya balik," kata dia.

"Saya bilang: 'Bayonne hari ini mengumumkan pemasangan patung Chuck Wepner di depan Balai Kota untuk mengenang perannya sebagai Rocky di kehidupan nyata.'

"Jadi orang-orang berdiri dan mulai bertepuk tangan. Kemudian semua orang mendatangi saya dan berkata: 'Apakah benar akan ada patung itu, benarkah?'"

Saat itu, Dillin sadar bahwa sebuah patung untuk mengabadikan temannya tidak hanya mendapat dukungan luas, tetapi juga sudah lama tertunda.

Sebab, sebuah patung karakter Rocky yang diperankan Sylverster Stallone sudah berdiri tegak di depan tangga Museum Seni di Philadelphia sejak 1980.

Setelah lebih dari dua dekade dan banyak penggalangan dana, akhirnya sosok nyata yang menginspirasi Rocky diabadikan dengan cara yang sama seperti karakter film itu.

Tetapi Wepner tidak merasa jengkel.

"Saya bangga dengan fakta bahwa mereka memasang patung Sylvester. Dia pantas mendapatkannya. Dan itu adalah patung yang indah. Maksud saya, patung saya besar, tapi patung dia? Itu membuat patung saya terlihat kerdil," katanya.

"Saya dengar mereka membayar US$ 350.000 [Rp5,3 miliar] untuk patung Rocky. Yang ini harganya jauh lebih murah, tapi sama bagusnya menurut saya."

(ita/ita)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT