Dilarang AS, TikTok Dituduh Memata-matai dan Jadi Alat 'Cuci Otak'

ADVERTISEMENT

Dilarang AS, TikTok Dituduh Memata-matai dan Jadi Alat 'Cuci Otak'

BBC Indonesia - detikNews
Kamis, 02 Mar 2023 16:56 WIB
TikTok telah diunduh sekitar 3,5 miliar di seluruh dunia. (Getty Images)
Washington DC -

China menuduh Amerika Serikat berlebihan soal larangan pemakaian TikTok setelah media sosial itu dituduh mengancam keamanan nasional.

Seluruh staf instansi pemerintah AS sudah diperintahkan menghapus aplikasi perusahaan China dari semua perangkat digital mereka dalam waktu 30 hari, karena kekhawatiran terhadap keamanan nasional.

Langkah serupa telah diambil oleh Kanada dan Uni Eropa.

Tindakan tersebut membuat ketar-ketir para eksekutif TikTok.

Pada 2020, di bawah pemerintahan Donald Trump, aplikasi tersebut lolos dari larangan pemakaian di AS walau menghadapi serangan pertanyaan setiap hari soal risiko keamanan siber.

Perdebatan tersebut sebagian besar reda - dan akhirnya tenggelam pada 2021, ketika Presiden Joe Biden membatalkan kebijakan Donald Trump.

Sejumlah petinggi, baik dari TikTok maupun jutaan influencer yang mengandalkan media sosial untuk mencari nafkah merasa lega atas keputusan Biden.

Tapi kini, TikTok menghadapi ancaman serupa. Sekarang taruhannya lebih besar.

Pada era pemerintahan Donald Trump tiga tahun lalu, TikTok telah diunduh sekitar 800 juta kali di seluruh dunia. Saat ini jumlahnya 3,5 miliar unduhan, menurut perusahaan analis aplikasi Sensor Tower.

Donald Trump mencoba melarang TikTok di AS pada 2020.

Donald Trump mencoba melarang TikTok di AS pada 2020. (Getty Images)

Ketika ketegangan geopolitik antara China dan negara-negara Barat meningkat, jelas masa depan TikTok lebih genting dari sebelumnya.

Jadi apa saja tiga masalah keamanan siber TikTok yang terus muncul, dan bagaimana perusahaan itu meresponsnya?

1. TikTok mengambil data pengguna secara berlebihan

Seorang juru bicara TikTok mengatakan kepada BBC bahwa pengumpulan data aplikasi "sejalan dengan praktik industri".

TikTok kerap dituduh memanen data dalam jumlah besar dari pengguna.

Laporan keamanan siber yang diterbitkan pada Juli 2022 oleh para peneliti di Internet 2.0, sebuah perusahaan siber Australia, sering dikutip sebagai bukti.

Peneliti mempelajari kode sumber aplikasi dan melaporkan bahwa TikTok melakukan "pengambilan data yang berlebihan".

Sejumlah analis mengatakan TikTok mengumpulkan informasi detil seperti lokasi pengguna, perangkat spesifik apa yang digunakan, dan aplikasi lain apa yang ada di perangkat digital pengguna.

Namun, tes serupa yang dilakukan oleh Citizen Lab menyimpulkan bahwa: "dibandingkan dengan platform media sosial populer lainnya, TikTok mengumpulkan jenis data serupa untuk melacak perilaku pengguna".

Demikian pula laporan baru-baru ini dari Georgia Institute of Technology pada Januari lalu yang menyatakan: "fakta utama di sini adalah sebagian besar media sosial dan aplikasi seluler lainnya melakukan hal yang sama".

2. TikTok bisa digunakan oleh pemerintah China untuk mematai-matai pengguna

Juru bicara TikTok mengatakan kepada BBC bahwa perusahaan itu sepenuhnya independen dan "belum memberikan data pengguna kepada pemerintah China, serta tidak akan melakukannya jika diminta".

Meskipun pernyataan itu membuat jengkel pakar privasi, sebagian besar dari kita menerima bahwa menyerahkan sebagian besar data pribadi adalah kesepakatan yang kita buat dengan jejaring media sosial.

Sebagai imbalan karena memberi kita layanan secara gratis, perusahaan-perusahaan itu mengumpulkan data tentang kita dan menggunakannya untuk menjual iklan di platform mereka, atau menjual data kita ke perusahaan lain yang mencoba membanjiri kita dengan iklan di tempat lain di internet.

Masalah yang temukan para kritikus soal TikTok adalah aplikasi ini dimiliki oleh raksasa teknologi ByteDance yang berbasis di Beijing. Menjadi 'unik' karena TikTok menjadi aplikasi mainstream non-Amerika.

Facebook, Instagram, Snapchat, dan YouTube misalnya, semuanya mengumpulkan jumlah data yang sama. Tetapi seluruh aplikasi tersebut adalah perusahaan yang didirikan di AS.

Selama bertahun-tahun, anggota parlemen AS, bersama dengan sebagian besar negara lain di dunia, telah memiliki tingkat kepercayaan: bahwa data yang diambil oleh platform itu tidak akan digunakan untuk tujuan jahat yang bisa membahayakan keamanan nasional.

Perintah eksekutif Donald Trump pada 2020 menuduh pengumpulan data oleh TikTok berpotensi memungkinkan China untuk "melacak lokasi karyawan federal dan kontraktor, membuat berkas informasi pribadi untuk pemerasan, dan melakukan spionase perusahaan".

Sejauh ini, bukti menunjukkan sangkaan itu hanya risiko teoritis - tetapi ketakutan kian dipicu oleh undang-undang China yang tidak jelas pada 2017.

Raksasa teknologi Shanghai, ByteDance, memiliki TikTok dan aplikasi kembarannya, Douyin.

Raksasa teknologi Shanghai, ByteDance, memiliki TikTok dan aplikasi kembarannya, Douyin. (Getty Images)

Pasal tujuh Undang-Undang Intelijen Nasional China menyebutkan semua organisasi dan warga negara China harus "mendukung, membantu, dan bekerja sama" dengan upaya intelijen China.

Kalimat itu sering dikutip oleh orang-orang yang curiga bukan hanya pada TikTok, namun semua perusahaan China.

Akan tetapi peneliti dari Institut Teknologi Georgia berpendapat kalimat itu dipakai di luar konteks, serta menegaskan bahwa undang-undang tersebut juga mencakup peringatan yang melindungi hak pengguna dan perusahaan swasta.

Sejak 2020, eksekutif TikTok telah berulang kali mencoba meyakinkan orang kalau staf mereka di China tidak bisa mengakses data pengguna yang non-China.

Tapi pada Desember, ByteDance mengakui beberapa karyawannya yang berbasis di Beijing mengakses data setidaknya dua jurnalis AS dan "sejumlah kecil" lainnya, untuk melacak lokasi mereka dan untuk memeriksa apakah mereka bertemu dengan karyawan TikTok yang diduga membocorkan informasi ke media.

Juru bicara TikTok berkata pekerja yang mengakses data sudah diberhentikan pada Desember silam.

Perusahaan juga menegaskan data pengguna disimpan di AS dan Singapura, serta tidak pernah disimpan di China.

Mereka pun mengatakan sedang dalam proses membuat penyimpanan data di tempat lain, misalnya di Irlandia --di mana lokasi itu akan memproses semua data yang ada di Inggris dan Uni Eropa pada 2024.

3. TikTok dapat digunakan sebagai alat 'cuci otak'

Juru bicara TikTok berkata: "Pedoman Komunitas kami melarang misinformasi yang bisa membahayakan komunitas kami atau publik lebih luas, termasuk terlibat dalam perilaku tidak autentik yang terkoordinasi".

Pada November 2022, Christopher Wray, Direktur Biro Investigasi Federal (FBI), memberi tahu anggota parlemen AS: "Pemerintah China bisa... mengontrol algoritma rekomendasi, yang bisa digunakan untuk memengaruhi operasi."

Kekhawatiran itu semakin diperparah oleh fakta bahwa aplikasi saudara kembar TikTok yakni Douyin - yang hanya tersedia di China - disensor secara ketat dan dilaporkan dibuat untuk mendorong materi pendidikan dan hampir semua isi kontennya menjadi viral.

Semua jejaring media sosial harus melewati penyensoran di China dengan pasukan polisi internet bertugas menghapus konten yang mengkritik pemerintah atau memicu kerusuhan politik.

TikTok versi Cina, yang disebut Douyin, berbagi format dan kode teknik dasar yang sama.

TikTok versi China, yang disebut Douyin, berbagi format dan kode teknik dasar yang sama. (Getty Images)

Pada waktu kebangkitan TikTok, ada kasus penyensoran yang menyangkut peristiwa besar di aplikasi itu: sebuah akun pengguna di AS ditangguhkan karena membahas perlakuan Beijing terhadap Muslim di Xinjiang; setelah reaksi publik yang sengit, TikTok meminta maaf dan memulihkan akun tersebut.

Sejak itu hanya ada sedikit kasus penyensoran, selain keputusan moderasi kontroversial yang harus dihadapi semua platform.

Para peneliti di Citizen Lab melakukan perbandingan antara TikTok dan Douyin. Mereka menyimpulkan TikTok tidak menggunakan kebijakan penyensoran politik yang sama.

"Platform tidak menerapkan kebijakan penyensoran ulang," kata peneliti.

Analis Institut Teknologi Georgia juga menelusuri topik seperti kemerdekaan Taiwan atau lelucon tentang Perdana Menteri China Xi Jinping, dan menyimpulkan: "Video di semua kategori ini bisa dengan mudah ditemukan di TikTok. Banyak yang populer dan di bagian secara luas."

Risiko teoritis

Gambaran keseluruhannya adalah salah satu ketakutan teoritis - dan risiko teoritis.

Kritikus berpendapat TikTok adalah "kuda troya" - meskipun terlihat tidak berbahaya, TikTok bisa menjadi senjata ampuh selama masa konflik, misalnya.

Aplikasi tersebut telah dilarang di India, yang mengambil tindakan pada tahun 2020 terhadap aplikasi tersebut dan puluhan platform China lainnya.

Tetapi larangan AS atas TikTok bisa berdampak besar pada platform tersebut, karena biasanya sekutu AS sering kali sejalan dengan keputusan semacam itu.

Ini terlihat ketika AS berhasil memimpin seruan untuk memblokir raksasa telekomunikasi China, Huwai, agar tidak digunakan dalam infrastruktur 5G - sekali lagi, berdasarkan risiko teoritis.

Perlu dicatat, tentu saja, bahwa risiko ini adalah jalur satu arah. China tidak perlu khawatir dengan aplikasi AS karena akses untuk warga China telah diblokir selama bertahun-tahun.

Simak Video 'China Sindir AS Takut dengan TikTok':

[Gambas:Video 20detik]



(nvc/nvc)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT