Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin (kanan) berada di Filipina. (Getty Images)
Pemerintah Amerika Serikat telah bersepakat dengan pemerintah Filipina untuk menempati empat pangkalan militer di Filipina. Bagi AS, keempat pangkalan militer tersebut merupakan bagian dari lokasi-lokasi penting untuk memantau pergerakan China di Laut China Selatan dan sekitar Taiwan.
Melalui kesepakatan ini, Washington telah mengamankan posisi aliansi yang membentang dari Korea Selatan dan Jepang di utara hingga Australia di selatan.
Selama ini mata rantai yang hilang adalah Filipina, yang berbatasan dengan dua titik potensi konflik, yaitu Taiwan dan Laut China Selatan atau Laut Filipina Barat dari sudut pandang Manila.
Sebelumnya, AS telah memiliki akses terbatas ke lima lokasi di bawah Kesepakatan Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA).
Penambahan lokasi dan perluasan akses, menurut pernyataan dari Washington, akan "memungkinkan dukungan yang lebih cepat untuk bencana terkait kemanusiaan dan iklim di Filipina, dan merespons tantangan bersama lainnya". Kalimat itu kemungkinan merujuk China di wilayah tersebut.
Pernyataan itu mengemuka setelah Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, bertemu dengan Presiden Filipina, Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr, di Manila pada Kamis (02/02).
AS belum mengungkap letak pangkalan baru itu, tetapi tiga di antaranya mungkin berada di Pulau Luzon, satu-satunya daratan besar yang dekat dengan Taiwan - jika China dikecualikan.
Kesepakatan tersebut bukanlah hal sepele.
"Tidak ada rencana di Laut China Selatan yang tidak membutuhkan akses ke Filipina," kata Gregory B Poling, direktur program Asia Tenggara di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington.
"AS tidak mencari pangkalan permanen. Ini tentang lokasi, bukan pangkalan."
Menurutnya, AS mencari akses ke berbagai lokasi yang memungkinkan mereka bisa menjalankan operasi "ringan dan fleksibel" dengan perbekalan dan pengawasan sesuai kebutuhan, alih-alih pangkalan militer yang menempatkan pasukan dalam jumlah besar.
BBC
Dengan kata lain, langkah ini bukanlah mengembalikan posisi AS seperti pada era 1980-an, ketika Filipina menjadi lokasi penempatan 15.000 tentara AS dan dua pangkalan militer AS terbesar di Asia, yaitu Pangkalan Clark dan Teluk Subic.
Dua pangkalan ini dihentikan pada 1991 sesuai permintaan pemerintah Filipina. Kala itu, rakyat Filipina baru saja menggulingkan kediktatoran Ferdinand Marcos yang dibenci sehingga mengirim pulang negara penjajah akan semakin memperkuat demokrasi dan kemerdekaan.
Kala itu, Perang Vietnam telah lama berakhir, Perang Dingin mereda, dan China masih lemah secara militer. Jadi, pada 1992, tentara Amerika pulang - atau setidaknya sebagian besar dari mereka.
Baca juga:
- Menolak lupa satu dekade penyiksaan pada masa darurat militer Filipina
- Apa makna kebangkitan dinasti Marcos untuk Filipina?
- Mengapa keluarga Marcos kontroversial di Filipina?
Selang 30-an tahun kemudian, putra Ferdinand Marcos muncul sebagai presiden dan menguasai Istana Malacanang.
Kali ini, China bukanlah negara yang militernya lemah. Lebih dari itu, China menghadirkan tantangan di kawasan sekitar Filipina.
Manila telah menyaksikan - ngeri tetapi tidak berdaya untuk campur tangan - saat Beijing mulai menggambar ulang peta Laut China Selatan. Sejak 2014 China telah membangun 10 pangkalan di pulau buatan, termasuk satu di Mischief Reef, di dalam zona ekonomi eksklusif atau ZEE Filipina.
Sebelum itu terjadi, hubungan antara Manila dan Beijing bebas dari masalah besar, kata Herman Kraft, profesor ilmu politik di Universitas Filipina.
"Kami membiarkan kehidupan berjalan di Laut China Selatan. Namun pada tahun 2012 mereka mencoba untuk menguasai Dangkalan Scarborough. Kemudian pada 2014 mereka mulai membangun pulau-pulau itu. Perampasan tanah oleh China mengubah hubungan tersebut."
"Kami memiliki kemampuan yang sangat terbatas melawan ancaman dari China," kata mantan Duta Besar Filipina untuk AS, Jose Cuisia Jr.
Menurutnya, China telah berulang kali mengingkari janji untuk tidak memiliterisasi pangkalan baru mereka di Laut China Selatan.
"China telah memiliterisasi tempat-tempat itu dan itu membuat lebih banyak ancaman terhadap wilayah. Hanya AS yang memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Filipina tidak dapat melakukannya sendiri."
Akan tetapi, kali ini tidak akan ada ribuan marinir dan pilot AS yang memenuhi distrik lampu merah Olongapo atau Kota Angeles lagi.
Olongapo, yang dekat dengan pangkalan Angkatan Laut AS di Filipina, menjadi pusat prostitusi ilegal. (Getty Images)
Riwayat kekerasan dan pelecehan yang dilakukan pasukan AS di Filipina masih menjadi topik sensitif. Diperkirakan ada 15.000 anak yang ditinggalkan para serdadu AS di Filipina.
"Kami memiliki sejarah panjang ketidaksetaraan dalam hubungan kami," kata Renato Reyes, sekretaris jenderal Aliansi Patriotik Baru, sebuah kelompok sayap kiri.
"Filipina terpaksa menanggung biaya sosial. Ada sejarah pemerkosaan, pelecehan anak, dan limbah beracun."
Kembalinya AS ke Filipina ditentang keras oleh kelompok sayap kiri negara itu.
Baca juga:
- Seaglider tiga kali ditemukan di perairan Indonesia dalam dua tahun terakhir 'bukti ketiadaan alat deteksi'
- Apa dampak putusan hukum Laut Cina Selatan terhadap RI?
- Nelayan di Natuna merasa 'lebih aman' sejak kapal perang Indonesia ditambah
Meskipun tidak akan ada banyak pasukan seperti sebelumnya, Washington sekarang meminta akses ke beberapa lokasi baru, beberapa di antaranya menghadap ke Laut China Selatan dan lainnya menghadap ke utara menuju Taiwan.
Laporan tidak resmi menunjukkan opsi lokasi di Cagayan, Zambales, Palawan, dan Isabela.
Lokasi pertama menghadap Taiwan, yang kedua Dangkalan Scarborough, dan yang ketiga Kepulauan Spratly. Setiap fasilitas baru AS akan berada di dalam pangkalan militer Filipina. Pasukan AS akan datang dalam kelompok kecil dan bergilir.
Tujuannya, kata Gregory B Poling, direktur program Asia Tenggara di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, adalah untuk mencegah ekspansi teritorial China di Laut China Selatan sekaligus menyediakan tempat bagi AS untuk mengawasi pergerakan militer China di sekitar Taiwan.
"Di luar aliansi [dengan AS], Filipina tidak memiliki cara untuk menghalangi China," katanya.
"Filipina membeli rudal BrahMos dari India. AS ingin mengerahkan rudal jelajah Tomahawk. Bersama-sama mereka dapat menahan kapal China."
Seiring dengan meningkatnya kekhawatiran munculnya konflik di Taiwan, Filipina dapat menawarkan "area akses belakang" untuk operasi militer AS atau bahkan menjadi tempat untuk mengevakuasi pengungsi.
"Orang-orang lupa ada antara 150.000-200.000 orang Filipina yang tinggal di Taiwan," kata Poling.
Kelompok sayap kiri berdemonstrasi di Quezon City menentang keberadaan militer AS di Filipina. (Getty Images)
Akan tetapi, Manila tidak menjadi anggota aliansi Amerika untuk menantang atau menolak kebangkitan China, Profesor Kraft memperingatkan.
"Filipina tidak melakukan hal-hal seperti Australia dan Jepang, yang secara langsung menantang kepentingan China di Laut China Selatan atau Laut China Timur. Presiden Marcos menginginkan hubungan baik dengan AS. Tapi dia juga menginginkan hubungan baik dengan China demi keuntungan ekonomi."
Beijing juga telah mengindikasikan bahwa pihaknya tidak bermaksud menjadikan perjanjian pangkalan baru antara Manila dan Washington sebagai ganjalan dalam relasinya dengan Filipina.
Dalam editorial yang diterbitkan bertepatan dengan kedatangan menteri pertahanan AS di Manila, surat kabar Global Times milik pemerintah China menuduh AS "memasang jebakan untuk Filipina" dan "mencoba mendorong Filipina ke garis depan konfrontasi dengan China".
"Kami sekali lagi terjebak di tengah-tengah," kata Reyes, yang percaya China adalah kekuatan imperialis kapitalis seperti halnya AS.
"Filipina masih memiliki mentalitas negara jajahan - memandang Amerika Serikat sebagai kakak laki-lakinya."
Simak juga 'Gedung Putih soal Rumah Biden Digeledah: Presiden Sepenuhnya Kooperatif':