Kisah Keluarga Tercerai Berai Akibat Perang Sipil di Myanmar

ADVERTISEMENT

Kisah Keluarga Tercerai Berai Akibat Perang Sipil di Myanmar

BBC Indonesia - detikNews
Rabu, 01 Feb 2023 16:34 WIB
Jakarta -

"Aku yakin kau akan kubunuh - kalau aku bisa menembak duluan," cetus sang ayah.

Peringatan itu dia sampaikan melalui telepon kepada putranya, yang bertugas sebagai tentara Myanmar.

Sang ayah bernama Bo Kyar Yine. Dia bergabung dengan pasukan oposisi setelah kudeta militer menggulingkan pemerintahan Myanmar yang dipilih secara demokratis pada Februari 2021.

Perang sipil brutal berlangsung tak lama kemudian dan keluarga Bo pun tercerai berai. Bo kini bertempur melawan junta militer yang dibela putranya.

"Kau mungkin akan memberiku kesempatan karena aku bapakmu, tapi aku tidak akan mengampuni kau," kata Bo Kyar Yine kepada putranya, Nyi Nyi, sambil duduk di bawah sebuah pohon beringin di hutan.

"Kami mengkhawatirkanmu," sambung Bo.

"Iya, saya juga mengkhawatirkan ayah," putranya menjawab. "Ayah mendorong saya untuk menjadi tentara."

Dua putra Bo Kyar Yine menjadi tentara. Anaknya yang sulung tidak lagi berbicara kepadanya.

Baca juga:

"Tentara menghancurkan rumah, membakarnya," kata Bo Kyar Yine seraya memohon anaknya untuk keluar dari militer. "Mereka bunuh orang-orang, membunuh pengunjuk rasa secara tidak adil, membunuh anak-anak tanpa alasan, memerkosa perempuan. Kamu mungkin tidak tahu itu."

"Itu pandangan ayah. Kami tidak melihatnya begitu," jawab Nyi Nyi dengan hormat. Kendati dibantah, kekejian militer Myanmar telah tersebar luas dan terdokumentasi dengan baik.

Setelah menutup telepon, Bo Kyar Yine mengatakan ia sudah berusaha meyakinkan kedua putranya untuk membelot ke pasukan perlawanan. "Mereka tidak mau dengar, jadi saya serahkan kepada takdir bila kami bertemu di pertempuran".

"Dalam segenggam kacang, ada dua atau tiga yang keras. Begitu juga dalam keluarga," ujarnya. "Mungkin saja ada yang tidak bagus."

Bo Kyar Yine dan istrinya, Yin Yin Myint, punya delapan anak. Ketika dua putra mereka jadi tentara, mereka merasa bangga. Bo menyimpan foto kedua anaknya saat mereka lulus akademi militer sebagai kenang-kenangan. Kedua putranya kini menjadi perwira.

Sebelum kudeta militer, punya anak-anak yang jadi tentara merupakan kehormatan besar, kata Bo Kyar Yine. Pada masa itu, orang-orang di desanya menyambut tentara dengan karangan bunga.

Yin Yin Myint mengaku seluruh keluarganya bekerja di ladang demi mendapatkan uang supaya dua anaknya bisa mengenyam pendidikan dan bergabung dengan militer.

Sebelum perang sipil, menjadi anggota Tatmadaw - sebutan untuk angkatan bersenjata Myanmar - akan memberi status ekonomi dan sosial yang lebih tinggi bagi keluarga.

Namun kudeta tahun lalu mengubah semuanya.

Ketika Bo Kyar Yine menyaksikan militer dengan kejam menindak para pengunjuk rasa pro-demokrasi, ia tidak bisa lagi mendukung militer dan meminta para putranya untuk meninggalkan Tatmadaw.

"Kenapa mereka menembak dan membunuh orang-orang yang berunjuk rasa? Kenapa mereka menyiksa? Kenapa mereka membunuhi orang tanpa alasan?" ia bertanya, sambil mengunyah biji pinang di markasnya di tengah hutan.

Menurutnya, hatinya hancur karena ini semua.

Baca juga:

Sebelum kudeta militer, Bo Kyar Yine adalah petani yang tidak pernah memegang senjata api. Sekarang, dia memimpin sebuah unit milisi sipil.

Mereka adalah bagian dari jejaring Pasukan Pertahanan Rakyat (PPR) yang berperang untuk mengembalikan demokrasi melawan militer yang lebih besar dan memiliki persenjataan lebih baik.

Ia sekarang memanggil para tentara dengan sebutan "anjing", hinaan yang sangat kasar di Myanmar.

"Ketika kumpulan anjing datang [ke sebuah desa], mereka memerkosa perempuan, mereka membakar rumah, dan menjarah properti... Kami harus melawan mereka," ujarnya.

Bo Kyar Yine memimpin unit beranggotakan sekitar 70 pejuang pro-demokrasi yang menyebut diri mereka Harimau Liar. Mereka cuma punya tiga senapan otomatis.

Empat putranya yang lain ikut berjuang di sampingnya. Sementara dua putranya yang tentara ditempatkan hanya 50km dari markas pasukan pemberontak.

"Kami pikir kami dapat mengandalkan anak-anak kami yang tentara," kata Yin Yin Myint dengan sedih. "Tetapi sekarang mereka membuat kami khawatir."

'Suara senapan terdengar seperti hujan'

Pada pukul tiga pagi di akhir Februari, unit PPR yang dipimpin Bo Kyar Yine mendapat panggilan telepon dari desa terdekat. Militer sedang menyerbu desa tersebut.

"Kami butuh bantuan, para anjing [tentara] telah masuk desa kami, datanglah dan bantu kami. Kirimkan bala bantuan," demikian pesan itu.

Min Aung, putra kedua Bo, langsung bersiap-siap untuk berangkat. Ibunya, tahu dia tidak bisa menghentikannya, berdoa supaya dia bisa pulang dengan selamat.

Harimau Liar berangkat dalam konvoi sepeda motor. Bo Kyar Yine mengemudi di depan bersama Min Aung, memimpin unitnya seperti biasa.

Mereka sedang berjalan di sepanjang rute yang dikenal aman tatkala mereka disergap.

"Tidak ada tempat berlindung, tidak ada pohon besar atau apapun," kata Min Naing, anak laki-laki Bo.

"Mereka menembaki kami seperti meletuskan popcorn," katanya. "Kami dibantai habis. Senjata kami tidak sebanding dengan senjata mereka."

Bo Kyar Yine memerintahkan mereka untuk mundur. Mereka berlindung di balik pematang sawah.

"Seseorang di antara mereka sepertinya mengenal saya," kata Bo Kyar Yine.

Baca juga:

Dia merasa menjadi fokus serangan militer.

"Saya menembak mereka ketika saya mulai berlari dan kemudian terus menembak sambil berlari."

Yin Yin Myint menunggu dengan cemas di kamp dan bisa mendengar apa yang sedang terjadi.

"Tembakan itu begitu konstan sehingga terdengar seperti hujan," katanya sambil menangis.

Yin Yin Myint berlutut di depan pagoda.BBCYin Yin Myint mendoakan almarhum putranya yang semasa hidup suka membantunya di rumah.

Beberapa jam setelah penyergapan itu, militer mengunggah foto-foto jenazah di Facebook. Mereka membual bahwa mereka telah membunuh 15 orang.

Pada saat itulah Yin Yin Myint menyadari dia telah kehilangan Min Aung, anaknya yang paling dekat dengannya.

"Putra saya sangat sayang pada saya," katanya. "Dia suka membersihkan dapur untuk saya. Dia mencuci pakaian saya. Dia mengangkat sarung saya dari tali jemuran. Dia sangat baik pada saya."

Pada bulan Juni, tentara membakar habis rumah keluarga Bo Kyar Yine dan semua harta benda mereka bersama dengan 150 rumah lainnya di desa mereka. Ada serangan pembakaran oleh tentara di seluruh negeri, terutama di Myanmar tengah.

Tampaknya militer mengetahui peran Bo Kyar Yine dalam perlawanan - tetapi belum jelas apakah mereka tahu dia punya anak laki-laki yang menjadi tentara.

Desanya hancur

Tidak banyak yang tersisa dari desa tempat Bo Kyar Yine dahulu hidup bahagia dengan keluarganya. (BBC)

Yin Yin Myint masih kesulitan untuk menerima semua kehilangannya.

"Rumah saya dibakar dan saya kehilangan putra saya. Saya benar-benar tidak tahan. Pikiran saya seakan tidak berada di tubuh saya, seperti saya gila," katanya.

Sejak militer merebut kekuasaan, lebih dari 1,1 juta orang di seluruh Myanmar telah mengungsi dan setidaknya 30.000 rumah telah dibakar.

Lebih dari 2.500 orang telah dikonfirmasi tewas oleh aparat keamanan sejak kudeta, kata Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Angka total korban di kedua belah pihak diperkirakan 10 kali lebih tinggi, menurut data dari kelompok pemantau konflik Acled. Militer mengakui beberapa kekalahan di medan perang, tetapi tidak menjelaskan secara detail.

Baca juga:

Keluarga Bo Kyar Yine berusaha selama dua hari untuk membawa jenazah Min Aung tetapi itu tidak mungkin karena banyak tentara menjaga daerah tersebut.

"Saya bahkan tidak bisa mengambil tulangnya," kata ibunya. "Saya marah. Saya ingin pergi dan bertempur tetapi mereka tidak mau membawa saya karena saya seorang perempuan di atas 50 tahun."

'Aku tidak akan mengampuni kau, atau siapa pun'

Bo Kyar Yine percaya pemberontakan ini akan menang dan dia akan membangun kembali rumah keluarganya.

Rumah keluarga Bo Kyar Yine sekarang sudah menjadi abu.BBCRumah keluarga Bo Kyar Yine sekarang sudah menjadi abu.

Tetapi seiring perang sipil semakin memanas, harapan itu tampaknya masih jauh dari jangkauan.

Karena kedua putra tengahnya telah menolak untuk meninggalkan militer, keluarga tersebut masih terpecah, yang mencerminkan perpecahan rakyat Myanmar.

"Kami tidak melawan militer karena kami ingin," kata Bo Kyar Yine kepada putranya yang jadi tentara.

"Itu karena pemimpin anjingmu tidak adil jadi kami harus berperang. Karena kalian, kakakmu mati."

Nyi Nyi menjawab bahwa dia tahu kakaknya sudah meninggal.

"Datang dan lihatlah desamu sendiri. Semuanya sudah menjadi abu sekarang," kata ayahnya dengan marah.

"Kami bahkan tidak bisa menyimpan fotomu. Betapa sakit hatiku."

Bo Kyar Yine kemudian memperingatkan putranya.

"Kalau kau datang ke daerahku dan memulai pertempuran, aku tidak akan mengampuni kau atau siapa pun. Aku hanya akan membela rakyat - aku tidak bisa membela kau," katanya, sebelum menutup telepon.

*Semua nama dalam laporan ini dan detail lokasi dirahasiakan untuk melindungi identitas narasumber.

(ita/ita)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT