Para pencari suaka di pusat tahanan imigrasi di Inggris melakukan aksi mogok makan begitu diberitahu bahwa mereka akan dideportasi ke Rwanda, sebuah negara di Afrika tengah.
Sebanyak tujuh belas pencari suaka di Brook House, pusat tahanan imigrasi yang berlokasi di Sussex bercerita kepada BBC bahwa mereka tertekan dan putus asa.
April lalu pemerintah Inggris mengumumkan rencana untuk mengirim para pencari suaka ke Rwanda. Walau menghadapi penolakan, Kementerian Dalam Negeri Inggris menyebut kesejahteraan para pencari suaka merupakan "yang terpenting" dalam pengambilan kebijakan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga:
- 'Saya mulai gila, tidak ada yang bisa hidup tanpa keluarga' - Kesedihan ayah yang kehilangan anak dan istri dalam tragedi di Selat Inggris
- Anak pengungsi luar negeri masuk sekolah formal di Indonesia: 'Di dunia ini setiap orang berhak mendapat pendidikan'
- 'Haruskah saya membawa keluarga dari satu perang ke perang lainnya?' Kisah warga Suriah dan Palestina yang terperangkap perang di Ukraina
Para pencari suaka menunjukkan kepada BBC rincian terkait pemberitahuan dan rencana deportasi yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris.
Salah satu dokumen tertanggal 1 Juni 2022 menyebut bahwa seorang pencari suaka yang ditahan di Brooke House akan segera dipindahkan ke ibu kota Rwanda, Kigali. Dalam berkas itu juga dikatakan bahwa pencari suaka itu tidak bisa mengajukan banding atas keputusan ini.
Menteri Dalam Negeri Inggris, Priti Patel, menuturkan bahwa penerbangan gelombang pertama para pencari suaka yang masuk ke Inggris secara ilegal itu akan berangkat pada 14 Juni mendatang, atau satu pekan lebih lambat dibanding saat pertama kali diumumkan.
Setelah Undang-Undang tentang Kebangsaan dan Perbatasan disahkan April lalu, pemerintah Inggris mengalihkan tanggung jawab untuk memberi suaka kepada "negara ketiga yang aman", dalam hal ini Rwanda.
Kebijakan tersebut berlaku untuk para pencari suaka yang datang ke Inggris melalui jalur ilegal, seperti menyeberang dari Perancis menggunakan perahu.
Upaya menerbangkan para pencari suaka ke Rwanda ini merupakan bagian dari kesepakatan senilai Pound 120 juta (Rp2,1 triliun) antara Inggris dengan negara Afrika tengah itu.
Menteri Dalam Negeri Inggris, Priti Patel berkunjung ke Rwanda untuk menandatangani kesepakatan senilai Rp2,1 triliun untuk memindahkan para pencari suaka. (Reuters)
Kepada BBC, seorang pencari suaka bernama Ali mengatakan dia adalah satu dari 17 orang yang mengakhiri aksi mogok makan pada Rabu malam lalu. Dia sempat menolak makan selama lima hari.
Mogok makan itu berakhir setelah petugas tahanan berhenti memberikan gula yang biasanya mereka campur dengan air minum selama mogok makan.
Ali mengaku memiliki keluarga di Inggris. Dia bercerita bahwa hal terakhir yang dikatakan petugas imigrasi kepadanya adalah imbauan agar mereka mengakhiri mogok makan.
"Hal terakhir yang mereka katakan kepada saya adalah 'makan agar Anda bisa naik pesawat dalam keadaan sehat'."
Seorang pencari suaka lainnya yang juga mogok makan berasal dari Mesir. Dia juga termasuk satu dari sekitar 100 pencari suaka yang akan dideportasi ke Rwanda.
Kesepakatan untuk mengirim pencari suaka ke Rwanda menuai kritik dari oposisi, badan amal, hingga pemuka agama. (BBC)
Para tahanan mengatakan bahwa petugas di pusat tahanan imigrasi Brook House melarang mereka menggunakan ponsel berkamera. Petugas imigrasi disebut menyita telepon pintar, dan hanya memberikan ponsel tanpa akses internet.
Namun BBC berhasil mendapat salinan lengkap terkait pemberitahuan pemindahan yang merinci situasi mereka.
Dokumen sebanyak 20 halaman itu diterbitkan dalam bahasa Inggris. Pada salah satu catatannya, tertulis bahwa seorang penerjemah telah hadir menjelaskan isi surat itu kepada para pencari kuasa. Namun dokumen itu berulang kali salah mengeja nama pria tersebut.
Dua pencari suaka secara terpisah bertanya kepada reporter BBC mengenai isi dokumen yang memerlukan tanda tangan mereka itu. Alasannya, mereka tidak memahami bahasa Inggris.
Kementerian Dalam Negeri Inggris belum mengonfirmasi berapa banyak pencari suaka yang mereka masukkan ke dalam daftar deportasi.
Meski begitu, badan amal Care4Calais memperkirakan ada sekitar 100 pencari suaka yang tiba di Inggris dalam sebulan terakhir. Mereka telah diperingatkan untuk segera keluar dari Inggris
Care4Calais telah mengidentifikasi dan menawarkan dukungan kepada lebih dari 60 pencari suaka.
Seorang pencari suaka asal Suriah, yang dicari-cari untuk dinas militer di negara asalnya, mengatakan kepada BBC bahwa dia "siap mati, tetapi tidak untuk dipindahkan ke Rwanda".
"Ketika saya mendengar kabar bahwa kami akan dideportasi ke Rwanda dan akan menerima izin tinggal lima tahun di sana, saya memukuli diri saya sendiri," katanya.
Baca juga:
- Cerita perempuan yang 'tidur di jalanan London ketika hamil tujuh bulan'
- Dari pengungsi jadi penerima beasiswa pascasarjana di Universitas Oxford
- 'Generasi yang hilang' di Eropa: Gelombang pengungsi muda
Menanggapi pertanyaan tentang aksi mogok makan di pusat tahanan imigrasi, seorang juru bicara Kementerian Dalam Negeri Inggris mengatakan, "Kesehatan dan kesejahteraan mereka yang berada di tahanan imigrasi adalah yang terpenting."
"Kami mengambil setiap langkah untuk mencegah mereka melukai diri sendiri atau bunuh diri, termasuk menugaskan tim kesejahteraan khusus di setiap pusat pemindahan imigrasi, yang bertanggung jawab mengidentifikasi individu yang rentan dan memberikan bantuan untuk kebutuhan mereka."
Seorang pria asal Mesir mengatakan kepada BBC bahwa dia termasuk di antara 17 orang yang mogok makan.
"Saya tidak bisa bertemu dengan Kementerian Dalam Negeri Inggris tanpa melakukan mogok makan dua kali," katanya.
"Saya harus meninggalkan negara saya karena perselisihan keluarga. Saya memiliki masalah kesehatan mental dari apa yang saya saksikan di Libya dalam perjalanan ke sini."
Sementara itu, Mendagri Inggris, Priti Patel, mengaku mengetahui akan ada upaya untuk menggagalkan dan menunda rencana deportasi ini.
"Itu tidak akan menghalangi saya dan saya tetap berkomitmen penuh melakukan apa yang diharapkan masyarakat Inggris," ujar Patel.
Steven Galliver-Andrew, seorang pengacara di bidang hukum imigrasi, mengatakan kepada BBC bahwa dia yakin pemerintah akan sulit melaksanakan penerbangan deportasi pertama pada 14 Juni.
"Undang-undang yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan ini tampaknya belum berlaku sampai 28 Juni 2022".
---
"Apa yang mereka lakukan bisa dan akan ditentang, mereka [pemerintah] sadar dan telah menduga bahwa itu akan terjadi."
Laporan tambahan oleh Daisy Walsh, Ahisha Ghafoo & Ziad Qattan
Simak juga Video: Ratu Elizabeth Pemimpin Monarki Inggris Terlama