Kisah Sedih Warga Suriah dan Palestina Terperangkap Perang di Ukraina

Kisah Sedih Warga Suriah dan Palestina Terperangkap Perang di Ukraina

BBC Indonesia - detikNews
Senin, 07 Mar 2022 18:46 WIB
Jakarta -

Saat itu pukul lima pagi, Omar terbangun karena suara letusan tembakan dan ledakan dekat rumahnya di Kyiv, beberapa minggu lalu.

Suara yang sangat akrab di telinganya: "dj vu" yang kejam saat hidup bertahun-tahun di Suriah - negara kelahirannya.

Omar adalah satu dari tujuh warga Suriah yang meninggalkan negara itu karena dilanda perang saudara selama 11 tahun, untuk mencari kehidupan yang damai di negara lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia sudah tinggal selama empat bulan di ibu kota Ukraina bersama istrinya, Irina.

Saat hidupnya mulai makmur lewat usaha bisnis disain interior yang akhirnya mendapat pelanggan tetap, pasangan ini malah terlempar kembali ke zona perang dalam waktu semalam.

ADVERTISEMENT

"Delapan ledakan kuat menggetarkan pintu dan jendela rumah kami," kata Omar kepada BBC.

Itu baru awal dari serangan mematikan yang diluncurkan oleh pasukan Rusia melalui udara, darat dan laut di pelbagai wilayah Ukraina.

Omar memutuskan, inilah waktunya untuk mempraktikan langkah-langkah darurat yang pernah ia pelajari selama perang di Suriah.

Omar and his wife setting up a bomb shelter in the basement of their houseBBCOmar dan istrinya di rubanah yang mereka disain untuk berlindung dari serangan bom.

"Kami menunggu satu jam setelah mendengar ledakan bom, kemudian kami keluar untuk mengisi tangki mobil dengan bensin.

"Itu berlangsung sekitar dua jam, karena antrean di SPBU. Kemudian kami pergi ke supermarket, dan kemudian mengantre sekitar tiga jam hingga kami dapat membeli kebutuhan cadangan."

Makanan, baterai, dan lampu bohlam merupakan sebagian perbekalan dasar yang mereka cari.

Mengubah rubanah menjadi ruang berlindung dari bom

Tembok dingin, atap rendah yang mengelilingi materi bangunan, kantong plastik dan barang-barang berdebu di rubanah, menjadi satu-satunya andalan mereka berlindung dari pasukan Rusia yang makin mendekat ke jantung ibu kota Kyiv setiap hari.

Di sebuah sudut rubanah tua, sekarang sudah diubah menjadi lokasi berlindung dari bom. Seprai, selimut dan bantal dibentuk sedemikian rupa menjadi tempat.

Sementara itu, meja kecil, buah apel segar, dan teh menjadi harapan pasangan ini menghadapi musim dingin, ketika temperatur udara bisa mencapai minus enam derajat Celsius.

Ada satu titik rawan di tempat yang miskin sirkulasi udara ini yaitu pencahayaan. Namun, hal ini akan dibantu dengan cahaya redup dari bohlam bertenaga baterai yang mereka sudah beli.

Waktu bergerak lambat, sembilan belas langkah di bawah lantai, dan pasangan ini mencoba yang terbaik untuk mengatasi rasa takut.

Rasa takut yang meningkat setelah melihat pemberitaan dari stasiun media lokal sebelum memutuskan untuk bersembunyi di bawah tanah.

"(Kami takut) karena kami melihat apa yang terjadi di Kharkiv dan kota-kota yang telah dibumihanguskan oleh Rusia.

"Kami melihat Rusia mengebom sebuah stasiun televisi dan ini membuktikan bahwa target mereka bukan hanya instalasi militer.

"Kami melihat bagaimana kematian dari warga sipil," kata Omar.

A man carries two bottles of water into the damaged building of the Kharkiv Regional State Administration after a missile launched by Russian invaders hit nearby in Svobody (Freedom) Square)

Rudal dan roket Rusia menghancurkan jantung budaya kota terbesar kedua Ukraina pada 1 Maret, Kharkiv. (Getty Images)

Kota terbesar di Ukraina setelah Kyiv adalah Kharkiv, yang menjadi target pertama bom pasukan Rusia setelah invasi dimulai pada 24 Februari lalu.

Pada hari keenam invasi, kota yang berada di timur laut ini menjadi berita utama dunia setelah rudal dan roket Rusia menghancurkan jantung budaya kota ini.

Sebuah rumah opera, ruang konser, dan gedung pemerintahan dihancurkan di Freedom Square di pusat kota.

Sedikitnya 10 orang tewas dan 35 lainnya mengalami luka, menurut laporan otoritas setempat saat itu.

'Rusia lagi, Rusia lagi'

Dj vu Omar tentang perang di Ukraina ini juga merupakan pertemuan kembali dengan pasukan Rusia, yang pernah melakukan serangan udara dan operasi militer dalam perang saudara di Suriah sejak September 2015.

Bersama dengan pasukan Hezbollah Lebanon, dan Iran, Rusia merupakan pendukung jangka panjang Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang menggantikan peran ayahnya, Hafez setelah meninggal pada 2000.

Members of the Syrian Civil Defence, known as the White Helmets, search for victims amid the rubble of a destroyed building following reported air strikes in the rebel-held Qatarji neighbourhood of the northern city of Aleppo, on October 17, 2016.Getty ImagesSerangan udara Rusia memainkan peran penting dalam membantu pasukan pemerintah Suriah untuk merebut kembali kota Aleppo yand dikuasai pemberontak.

Rusia punya basis militer di Suriah sebelum perang dimulai. Ketika pemerintah Rusia mengatakan serangan militernya hanya menargetkan "kelompok teroris", namun para aktivis mengatakan mereka secara berkala membunuh pemberontak arus utama dan warga sipil.

"Saya tahu, kekejaman dan kekerasan dari agresi Rusia," kata Omar kepada BBC.

Hampir 12.000 anak-anak tewas atau mengalami luka karena perang Suriah, menurut Unicef, badan PBB yang menangani anak-anak.

Kelompok pengawas dari Violations Documentation Centre yang mendapat informasi dari aktivis di seluruh Suriah, mencatat apa yang disebut mempertimbangkan pelanggaran hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia, termasuk serangan terhadap warga sipil.

Kelompok ini mendokumentasikan 226,374 korban jiwa akibat perang, termasuk 135,634 warga sipil pada Desember 2020.

'Haruskah saya membawa keluarga saya dari satu perang ke perang lainnya?'

Ashraf alongside members of his family in a park in Kryvyi RihBBC ArabicAshraf bersama keluarganya di sebuah taman di Kryvyi Rih.

Ashraf Rosh, seorang warga Palestina yang lahir di jalur Gaza sudah tinggal di Kryvyi Rih sejak 2009 bersama dengan istri dan dua anaknya, termasuk ayah tiri, dan kakak tiri.

Dia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik di Kyiv.

Anaknya baru memasuki tahun pertama kuliah di Universitas Kharkiv, di mana dia mempelajari tentang mesin pesawat jet.

"Dia sangat senang, sampai semester pertamanya di kampus," katanya kepada BBC.

"Semester kedua, semestinya dimulai Senin. Sekarang dia sedih karena dia merasa bahwa dia sudah kehilangan masa depan, dan kampusnya karena serangan ini."

Sama seperti Omar, perang bukanlah sesuatu yang baru bagi Ashraf.

Dia meyakini, bagaimanapun, bahwa konflik ini mungkin akan lebih berbahaya dari apa yang pernah ia alami saat di Gaza.

"Sejak saya menjadi seorang warga Palestina, ini bukan pertama kali saya menyaksikan perang. Tapi perang ini, jika ini makin meluas, maka ini tidak akan menjadi sesuatu yang biasa," katanya, merujuk pada persenjataan nuklir Rusia.

Lebih dari 1,5 juta orang meninggalkan Ukraina, menurut laporan PBB.

Namun, Uni Eropa memperkirakan kemungkinan lebih dari empat juta orang yang meninggalkan Ukraina karena invasi Rusia.

Masa depan masih belum jelas bagi Ashraf, keluarganya dan pengungsi perang lainnya di Ukraina. Tetapi, pergi kembali ke tanah kelahiran mereka bukanlah sebuah pilihan.

"Sebagai seorang Palestina dan, berasal dari jalur Gaza, saya tak punya pilihan. Pilihan saya adalah kekhawatiran, keterbatasan, dan ketidakjelasan. Haruskah saya membawa keluarga dari satu perang ke perang lainnya?"

Simak video 'Selamatkan Diri dari Perang, Anak-anak Ukraina Tak Makan 3 Hari':

[Gambas:Video 20detik]



(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads