Berbagai rekaman video dan foto yang belakangan ini beredar memperlihatkan kekacauan saat ribuan orang berebut meninggalkan Afghanistan.
Itu terjadi satu hari setelah pasukan Taliban menguasai Ibu Kota Kabul dan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, melarikan diri dari negara tersebut.
Mahbouba Seraj tidak termasuk yang berusaha keluar dari Afganistan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- Taliban kuasai Afghanistan dan 'euforia' Jemaah Islamiyah, patutkah Indonesia khawatir?
- Akankah Taliban membawa Afghanistan ke masa lalu?
- Siapakah Taliban? Sejarah kelompok yang kini menguasai kembali Afghanistan
Aktivis hak-hak perempuan dan anak-anak itu adalah pimpinan Pusat Pengembangan Keterampilan Wanita Afghanistan. Ini adalah organisasi yang berupaya memberdayakan perempuan, baik dewasa maupun anak. Mereka ingin mengatasi persoalan buta huruf dan kekerasan dalam rumah tangga.
Dua minggu yang lalu Seraj berada di Amerika Serikat, tapi kemudian dia memutuskan untuk kembali ke Afghanistan.
"Untuk semua perempuan dewasa dan muda, untuk seluruh orang yang saya pimpin, saya harus ada untuk keselamatan mereka," ujarnya kepada BBC.
"Saya tidak bisa begitu saja meninggalkan mereka dan kabur dari negara ini," kata Seraj yang menggeluti advokasi perempuan sejak bertahun-tahun itu.
Seraj kini ingin menjajaki kerja sama dengan Taliban terkait kebijakan terhadap para perempuan Afganistan.
"Yang benar-benar saya harapkan, setidaknya kami bisa berbicara dengan Taliban. Seandainya kami bisa duduk satu meja dan benar-benar berbicara dengan orang-orang ini."
"Mereka mungkin orang yang pintar dan paham sumber daya seperti apa yang mereka miliki dari para perempuan Afghanistan," ujar Seraj.
'Mimpi kami hancur'
Taliban terakhir kali menguasai Afghanistan pada periode 1996 hingga 2001, sebelum Amerika Serikat dan sejumlah negara sekutunya menginvasi negara tersebut.
Selama lima tahun kekuasaan Taliban itu, perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa hidup di bawah aturan ketat.
Perempuan saat itu tidak diberi hak bersekolah dan maupun hak untuk bekerja. Mereka tidak diizinkan meninggalkan rumah tanpa pendamping laki-laki.
Penutup wajah ketika itu wajib dikenakan para perempuan. Pencambukan dan eksekusi di depan umum, termasuk rajam akibat tuduhan perzinahan, dilakukan di stadion.
Sejarah itu membuat para perempuan Afganistan cemas menghadapi masa-masa baru di bawah kekuasaan Taliban.
Taliban menguasai Kabul sejak 15 Agustus lalu. (Reuters)
Anggota parlemen Afghanistan, Farzana Kochai, yang juga warga di Kota Kabul, khawatir dengan kembalinya Taliban ke kekuasaan. "Saya tidak tahu bagaimana mengukur ancaman, ketakutan yang warga rasakan di hati mereka," ujarnya.
"Mereka menghadapi situasi yang mereka tidak percaya sedang terjadi dan mereka berpikir, 'Ke mana kita pergi? Apa yang harus dilakukan'," kata Kochai kepada BBC.
Seorang perempuan Afganistan yang lain, yang bekerja sebagai penulis dan meminta namanya tidak disebutkan, mengaku "hancur" dengan kembalinya Taliban.
"Saya tidak yakin apakah saya akan dapat bekerja atau melakukan semua yang saya ingin lakukan. Ada begitu banyak perempuan muda seperti saya. Impian kami hancur dan harapan tentang masa depan yang lebih baik memudar dengan cepat," tuturnya.
'Tidak ada waktu untuk panik'
Namun Seraj yakin ada solusi untuk bekerja sama dengan pemerintahan baru demi kondisi yang lebih baik bagi perempuan dan anak.
"Sebelum ini, sebelum era Taliban, baik dunia maupun orang-orang di negara ini tidak benar-benar melihat kekuatan perempuan Afghanistan," ucapnya.
"Mereka tidak pernah memaksimalkan potensi perempuan, mereka tidak pernah melibatkan kami sebagaimana mestinya. Jadi semoga orang-orang Taliban melakukannya.
"Jika mereka melakukannya, maka kami akan baik-baik saja. Jika tidak, asalkan keamanan mereka terjamin, para perempuan muda akan baik-baik saja, maka saya akan baik-baik saja," kata Seraj.
Seraj sejak bertahun-tahun sudah mengadvokasi hak perempuan di Afghanistan. (Mahbouba Seraj/Twitter)
Seraj berkata dia tidak takut pada Taliban dan tidak boleh menyerah saat ini.
"Tidak ada waktu untuk panik. Tidak ada waktu untuk kasihan. Tidak ada waktu untuk drama," tuturnya,
Namun dia menggambarkan kemarahan dan kekecewaannya terhadap pemerintah AS dan negara Barat lainnya. Menurutnya, negara-negara itu pergi begitu saja dan menyerahkan warga Afganistan ke tangan Taliban.
"Saya tidak bisa memberi tahu Anda betapa marahnya saya saat itu. Saya tidak bisa memberi tahu Anda betapa kecewanya saya pada dunia internasional, kami ditinggalkan pada saat-saat terakhir," kata Seraj.
Ditanya apakah dia takut dianiaya karena bekerja dengan lembaga internasional dan mewakili 'campur tangan asing' selama 20 tahun terakhir, Seraj berkata, "tidak sama sekali".
"Apa yang saya wakili adalah Afghanistan yang sebenarnya. Saya selalu melakukan itu. Selalu. Saya pikir beberapa dari mereka [Taliban], setidaknya, tahu itu," ucapnya.
Beberapa orang mungkin menganggap keputusan Seraj sangat berani. Tapi dia tidak setuju.
"Saya bukan seorang martir. Saya bukan perempuan yang sangat berani. Namun pada saat yang sama, saya percaya pada tanggung jawab dan saya memiliki tanggung jawab untuk orang-orang saya.
"Saya seorang perempuan Afghanistan dan saya ingin tinggal di negara saya dan berada di sini, tepat di sebelah mereka."
(ita/ita)