Empat bulan setelah Pertemuan Pemimpin ASEAN di Jakarta berlalu, para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk menunjuk menteri luar negeri kedua Brunei Darussalam, Erywan Yusof, sebagai utusan khusus ke Myanmar.
Penunjukan Yusof ini dituangkan ke dalam pernyataan gabungan Pertemuan Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM), yang salinannya diterima BBC News Indonesia pada Rabu (04/08).
"Kami menyambut penunjukan Menteri Luar Kedua Brunei Darussalam sebagai Utusan Khusus ketua ASEAN untuk Myanmar, yang akan memulai pekerjaannya di Myanmar, termasuk membangun kepercayaan dan keyakinan dengan akses penuh ke semua pihak serta menyediakan lini masa yang jelas bagi penerapan Lima Butir Konsensus sebelum Pertemuan Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN," sebut pernyataan gabungan AMM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penunjukan Yusof sebagai utusan khusus untuk Myanmar adalah bagian dari lima poin kesepakatan yang ditandatangani dalam Pertemuan Pemimpin ASEAN yang berakhir 24 April lalu.
Baca juga:
- Bisakah konsensus ASEAN atasi krisis politik di Myanmar?
- Apa yang bisa diharapkan dari pertemuan ASEAN tentang Myanmar?
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Sidharto R. Suryodipuro, mengatakan pernyataan gabungan ini didorong Indonesia.
Menurutnya, "pembahasan cukup alot" tapi semua negara anggota kompak memberi "dukungan kepada Datok Erywan" dan dalam memandang pelaksanaan konsensus lima poin adalah hal "mendesak".
"Kami menghendaki special envoy ini akan sukses. Myanmar harus bekerja sama, karena bagaimanapun juga kesuksesan special envoy (utusan khusus) adalah keberhasilan Myanmar untuk keluar dari krisis yang sudah berlapis-lapis, situasi politik, ekonomi, ditambah Covid-19," kata Sidharto dalam jumpa pers, pada Rabu (04/08).
Meski demikian, Sidharto menegaskan keterlibatan Indonesia dalam AMM ini "tidak bisa dilihat sebagai pengakuan pada junta militer Myanmar".
"Sejak kudeta 1 Februari lalu, setiap dokumen resmi, bukan dimulai dengan 'we the minister' tapi 'the meeting'," paparnya.
Pertemuan Pemimpin ASEAN di Jakarta, April lalu, menghasilkan lima poin konsensus.
"Pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya," demikian kesepakatan pada poin pertama.
Kedua, ASEAN juga meminta dimulainya dialog konstruktif antara semua pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat negara itu.
Para pemimpin ASEAN juga bersepakat adanya utusan khusus untuk memfasilitasi dialog tersebut dengan bantuan sekretaris jenderal ASEAN.
Dan, keempat, mereka kemudian sepakat untuk menyediakan bantuan kemanusiaan ke Myanmar.
Terakhir, pemimpin ASEAN sepakat adanya utusan khusus dan tim delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu semua pihak yang berkepentingan.
Apa yang dikatakan Presiden Jokowi?
Para minggu terakhir April lalu, Presiden Joko Widodo meminta militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan memulai proses dialog yang inklusif dalam Pertemuan Pemimpin ASEAN di Jakarta.
Berbicara setelah pertemuan rampung, Presiden Jokowi menegaskan "kekerasan harus dihentikan dan demokrasi, stabilitas, dan perdamaian di Myanmar harus segera dikembalikan".
Baca juga:
- Mengapa Indonesia diharapkan membantu mengatasi kudeta militer Myanmar?
- Apakah Indonesia dan Asia bisa membantu krisis politik di Myanmar?
Selain itu, tambah Jokowi, Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing diminta memberi komitmen atas beberapa hal, termasuk memulai proses dialog yang influsif serta pembebasan tahanan politik.
"Perlu dibentuk special envoy ASEAN yaitu Sekjen dan Ketua ASEAN untuk mendorong dialog dengan semua pihak di Myanmar," ujarnya.
Yang ketiga, adalah pembukaan akses bantuan kemanusiaan dari ASEAN, yang dikoordinir oleh Sekjen ASEAN dan AHA center.
"Indonesia berkomitmen untuk mengawal terus tindak lanjut komitmen agar krisis politik Myanmar dapat segera diatasi."
"Kita bersyukur apa yang disampaikan Indonesia ternyata sejalan apa yang disampaikan pemimpin ASEAN. sehingga dapat dikatakan pemimpin ASEAN telah mencapai konsensus," papar Jokowi.
Min Aung Hlaing, pemimpin militer yang berada di balik kudeta Myanmar, tiba di Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu (24/04), pukul 11.00 WIB untuk menghadiri pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta, pertemuan pertama sejak kudeta Februari lalu.
Kedatangan Min Aung Hlaing direkam oleh Sekretariat Presiden RI. Sang jenderal, yang mengenakan masker, disambut oleh Duta Besar Myanmar untuk Republik Indonesia Ei Ei Khin Aye dan Kepala Protokol Negara (KPN) Andy Rachmianto dengan mengatupkan kedua telapak tangan pada dada.
Jenderal Min Aung Hlaing dan delegasi terlebih dahulu menjalani PCR swab test dan penapisan kesehatan sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan dan selanjutnya bergerak meninggalkan Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju lokasi ASEAN Leaders' Meeting {ALM) di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta.
Sekitar satu kilometer dari Gedung Sekretariat ASEAN, sejumlah orang melancarkan protes terhadap kedatangan Jenderal Min Aung Hlaing.
Beberapa media melaporkan bahwa aksi demonstrasi dibubarkan polisi dan setidaknya tiga orang dibawa ke mobil polisi.
Aksi protes di Jakarta ini disambut ribuan komentar netizen Myanmar yang berterima kasih atas solidaritas warga Indonesia.
Kehadiran Hlaing sebelumnya banyak ditentang oleh para aktivis dan politisi pro-demokrasi yang membentuk pemerintahan bersatu, National Unity Government (NUG), April ini.
NUG mendesak negara-negara tetangga untuk tidak mengakui junta dan meminta perundingan sebaiknya dengan pihak mereka.
Di antara aktivis yang menentang kehadiran sang jendral, termasuk Kyaw Win, direktur badan HAM yang berkantor di London, Burma Human Rights Network (BHRN).
"Apakah Presiden Jokowi akan berjabat tangan dengan Min Aung Hlaing yang melakukan genosida Rohingya dan membunuh 700 orang Burma lainnya," cuit Kyaw Win. "Undanglah pemerintahan NUG."
Indria Fernida dari Bike for Democracy, yang menggelar demonstrasi di dekat Gedung Sekretariat ASEAN, juga menentang kehadiran Min Aung Hlaing di Jakarta.
"Kami menuntut agar militer Myanmar menghentikan segala bentuk kekerasan, penangkapan sewenang-wenang kepada masyarakat sipil, termasuk pembela HAM dan membebaskan mereka tanpa syarat. Kemudian membuka akses kemanusiaan dan memberikan jaminan dasar hidup bagi rakyat Myamar. Serta mengembalikan demokrasi di Myanmar sesuai Pemilu tahun 2020," tegasnya.
Jenderal Min Aung Hlaing - pemimpin militer yang melakukan kudeta Februari lalu - dalam parade militer pada 27 Maret lalu. (Reuters)
Kekerasan di Myanmar masih terus terjadi dan ASEAN sendiri terpecah dalam mencapai konsensus untuk membantu mencari jalan menangani krisis di Myanmar.
Sejauh ini, kepala negara yang hadir termasuk Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, dan PM Vietnam, Pham Minh Chinh. Adapun PM Thailand, Prayuth Chan-ocha mengatakan akan diwakili Don Pramudwinai, yang juga menteri luar negeri.
Dinna Prapto Raharja selaku pengamat hubungan internasional sekaligus mantan Utusan Indonesia Untuk Komisi HAM ASEAN, mengaku menyesali ketidakhadiran sejumlah kepala negara.
"Dalam dunia diplomasi, ini tanda bahwa mereka tidak menginginkan ada konsensus terjadi dalam pertemuan ASEAN Summit ini, tapi mereka harus tahu bahwa konsensus bukan segala-galanya untuk menyelesaikan masalah."
"Justru negara-negara yang tidak hadir mengirimkan kepala negaranya akan mendapatkan sorotan internasional karena tidak menyambut baik uluran tangan Indonesia untuk membicarakan masalah ini," papar Dinna kepada BBC Indonesia.
Dalam beberapa pekan terakhir, militer Myanmar telah menggunakan granat lontar atas warga sipil dan jet-jet tempur dalam melawan kaum pemberontak di sejumlah daerah.
Banyak pengamat yakin bahwa negara ini berada di ambang status "negara gagal".
Karena yakin bahwa rangkaian sanksi ekonomi yang telah diterapkan hanya akan berdampak terbatas bagi pimpinan militer Myanmar, pemerintah negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur telah mengimbau mitra-mitra mereka di Asia Tenggara untuk memimpin upaya mengatasi krisis.
Sekilas mereka tampaknya punya banyak alasan untuk melakukannya: situasi Myanmar merupakan ancaman terbesar bagi keamanan Asia Tenggara sejak bentrokan antara Thailand dan Kamboja satu dekade lalu.
Sikap ASEAN terpecah
Terlepas dari risiko arus pengungsi besar-besaran atau bahkan perang saudara, kesepuluh anggota ASEAN berselisih soal apakah akan mengadakan pertemuan. Ada tanda-tanda jelas perpecahan antara pemerintah yang ingin mengambil tindakan dan yang tidak.
Empat negara secara khusus telah mendesak adanya intervensi. Pada 31 Maret, menteri luar negeri Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina mengunjungi China, yang diyakini membahas Myanmar. Sebagai ketua ASEAN saat ini, Brunei Darussalam juga aktif dalam menyusun pernyataan bersama yang menyatakan keprihatinan.
Malaysia telah menolak untuk mengakui junta militer sebagai pemerintah yang sah. Dalam pernyataannya, Malaysia mengacu pada "otoritas militer di Myanmar" dan terus menyerukan pembebasan atas "Penasihat Negara Aung San Suu Kyi" mengacu pada gelar resminya sebelum dikudeta.
Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menyebut penindasan militer terhadap aksi-aksi protes merupakan langkah yang "tidak dapat diterima".
Tetapi muncul pertanyaan soal sikap negara-negara tetangga lainnya: Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam.
Secara khusus perhatian difokuskan pada Thailand dan Vietnam. Seorang analis Asia Tenggara mengatakan diplomat dari negaranya menyalahkan Bangkok dan Hanoi atas penundaan dalam mencapai posisi bersama di ASEAN.
Masih belum jelas apakah Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha, akan hadir dalam KTT nanti. Menurut pengamat Thailand dari Universitas Chulalongkorn, Thitinan Pongsudhirak, "Pemerintahan Prayuth relatif diam" atas isu Myanmar.
Menurut dia, ada dua faktor di balik sikap pemimpin Thailand itu. Salah satunya, Prayuth sendiri adalah mantan jenderal yang berkuasa lewat kudeta militer.
Faktor lain adalah "Thailand punya kepentingan nyata yang dipertaruhkan, tidak terkecuali impor gas alam yang menyediakan sekitar 30% bagi listrik Thailand."
Kritik lain soal pemerintah Thailand datang dari Pavin Chachavalpongpun dari Universitas Kyoto di Jepang. "Thailand dan Myanmar ibarat kembar yang dipisahkan saat lahir," ujarnya.
"Militernya saling memperhatikan satu sama lain dan meniru cara memperkuat diri dalam perpolitikan. Saya melihat mereka mencoba membuat aliansi iliberalisme di kawasan ini."
Vietnam pun setali tiga uang. Pimpinan di Vietnam berhubungan erat dengan mitranya di Myanmar. Perusahaan telekomunikasi milik militer, Viettel, punya sejumlah kerja sama besar dengan militer Myanmar, nilainya lebih dari US$ 1 miliar.
Duta Besar Vietnam untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, yang kini memimpin Dewan Keamanan PBB, Dang Dinh Quy, sudah mengatakan bahwa negaranya menentang penggunaan sanksi internasional atas junta militer, sembari mengatakan "kita perlu melibatkan semua pihak yang berkepentingan di Myanmar, jadi kita akan membuat siapapun merasa dikucilkan."
Baik Vietnam dan Thailand, bersama Laos, China, India, Bangladesh, Rusia, dan Pakistan mengirim pejabat senior militer untuk menghadiri perayaan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar pada 27 Maret lalu, walaupun pada hari yang sama puluhan pemrotes ditembak mati di berbagai kota.
Dianggap peluang ganda
Bagi pemerintah yang sering dikritik oleh masyarakat internasional soal situasi hak asasi manusia di negara mereka, krisis Myanmar dipandang sebagai peluang ganda.
Pertama, krisis ini menjadi momen untuk menegaskan prinsip ASEAN, yaitu "non intervensi' atas masalah dalam negeri salah satu anggotanya.
Kedua, hal itu juga merupakan momen saat perhatian internasional biasanya tengah berkutat pada, contohnya, Kamboja sehingga fokusnya kini teralihkan.
PM Kamboja Hun Sen (Getty Images)
Pemerintahan Hun Sen mungkin tengah menikmati berkurangnya sorotan saat para diplomat Eropa kini justru mendorong tindakannya terhadap junta Myanmar.
Sikap ASEAN tampaknya terbelah dua: antara negara-negara 'daratan', yang secara geografis lebih dekat ke China dan menentang intervensi di Myanmar, serta negara-negara 'maritim' - yang posisinya jauh dari China dan memilih mengambil tindakan.
Dari negara-negara maritim itu, Indonesia telah berupaya keras menggalang respons kolektif atas krisis di Myanmar.
Presiden Joko Widodo telah mengimbau sesama pemimpin untuk menyepakati kerangka kerja ASEAN dalam mengakhiri kekerasan, mengirim bantuan kemanusiaan, dan memulai kembali dialog di antara pihak-pihak yang bertikai.
Skenario terbaik dan terburuk
Evan Laksmana dari Centre for Strategic and International Studies di Jakarta mengatakan bahwa 'skenario terbaik' adalah 'membentuk suatu gugus tugas untuk mendukung dan memfasilitasi proses tersebut.'
Sedangkan 'skenario terburuk', menurutnya, adalah "memberikan legitimasi kepada rezim yang melakukan kudeta dengan mengundang Jenderal Senior untuk datang namun tidak mendapatkan komitmen yang bisa dijalankan demi mengakhiri kekerasan dan memulai kembali dialog."
Bagi Indonesia dan pemerintah lainnya yang menginginkan proses rekonsiliasi dimotori ASEAN di Myanmar, pembicaraan KTT nanti akan krusial. Menurut seorang diplomat utama dari suatu negara ASEAN, "Kami hanya berharap ASEAN bisa menjadikan KTT ini bukan sebagai undangan bagi kepala pemerintah, namun sebagai semacam panggilan."
Dalam kata lain, pengaturan foto bersama antar-pemimpin memang penting, tapi penting juga mengupayakan kesepakatan di atas kertas. Diplomat itu yakin Jenderal Min Aung Hlaing akan sangat sedikit setuju.
Demonstran Myanmar memegang foto menentang rezim militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing yang melancarkan kudeta dalam aksi unjuk rasa di Bangkok, Thailand, pada 2 Februari 2021. (Getty Images)
"Beliau akan menyampaikan pidato, menguraikan jadwalnya, menawarkan visa kunjungan yang diatur" dan berharap bisa menghindari tindakan lebih lanjut.
ASEAN selama ini bangga akan kemampuannya untuk membujuk ketimbang memaksa, namun kemampuan itu jadi sangat lemah bila organisasi itu tidak kompak.
Membujuk sembilan Negara anggota lain untuk mengambil sikap yang solid akan sama menantangnya dengan membujuk junta Myanmar untuk meredakan krisis.
Bill Hayton, peneliti lembaga kajian Chatham House, London, turut berkontribusi dalam artikel ini.
(nvc/nvc)